Kelahiran seorang anak dalam tradisi Jawa disambut dengan serangkaian ritual penuh makna, dari pemotongan tali pusar dengan welat hingga upacara brokohan. Selami filosofi di balik penyambutan sang jabang bayi.
![]() |
| Ilustrasi brokohan, menyambut kelahiran bayi dalam budaya Jawa. (Generatif Gemini) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Jerit pertama bayi yang menguak kesepian adalah pertanda dimulainya sebuah kehidupan baru. Namun, bagi masyarakat Jawa, momen sakral itu juga menjadi awal dari serangkaian upacara yang tak kalah pentingnya. Jauh sebelum azan dibisikkan di telinga kanan dan mantra di telinga kiri, sebuah ritual pertama harus segera dilaksanakan: pemotongan tali pusar.
Proses ini bukanlah tindakan medis semata. Ia adalah gerbang pertama sang bayi menuju dunia, sebuah prosesi yang sarat dengan simbol, harapan, dan doa untuk menghindarkannya dari segala marabahaya. Dari naskah kuno Serat Tata Cara hingga catatan adat yang terdokumentasi, kita bisa melihat betapa luhurnya masyarakat Jawa memuliakan setiap jengkal proses kelahiran.
"Sadulur Tunggal Welat": Ritual Pemotongan dan Pemuliaan Ari-ari
Dalam kepercayaan Jawa, ari-ari (plasenta) bukanlah sekadar sisa proses kelahiran. Ia dianggap sebagai "saudara kembar" atau sadulur spiritual sang bayi yang menemaninya selama di dalam kandungan. Oleh karena itu, perlakuan terhadapnya pun harus istimewa.
Proses pemotongan tali pusar tidak dilakukan sembarangan. Ia menggunakan bilah bambu tajam yang disebut welat, dengan landasan kunyit. Darah yang tersisa dari proses pemotongan itu bahkan dipercaya memiliki tuah; jika diusapkan ke bibir bayi, kelak bibirnya akan menjadi merah merekah. Dari sinilah lahir peribahasa sadulur tunggal welat, yang melambangkan ikatan persaudaraan sejati, seakan berasal dari satu proses pemotongan ari-ari yang sama.
Setelah terpisah, ari-ari dibersihkan dan ditempatkan di dalam sebuah periuk tanah atau kendhil baru. Isinya bukan sembarangan, melainkan serangkaian benda simbolik yang mewakili doa dan harapan:
• Alas: Daun keladi (senthe) sebagai alas di dalam kendhil.
• Ubarampe: Bunga boreh, minyak wangi, garam, jarum, benang, dan ikan asin (gereh pethek).
• Simbol Harapan: Kemiri sebagai harapan agar tidak ada yang iri hati, sirih gulung (gantal), serta tulisan aksara Jawa dan Arab dengan harapan agar kelak sang anak pandai membaca dan mengaji.
• Tindih: Sekeping uang logam (segobang) sebagai "pemberat" atau pelengkap.
Kendhil tersebut kemudian ditutup dengan kain mori putih sebagai lambang kesucian. Proses penguburannya pun menjadi tugas sakral bagi sang ayah. Ia harus mengenakan pakaian yang baik, lengkap dengan keris terselip di pinggang, lalu menguburkan kendhil tersebut di tempat yang telah ditentukan, sering kali di bawah pohon kemuning atau bunga kalak di halaman rumah. Setiap hari kelahiran (neton) sang anak, di atas kuburan ari-ari itu akan diberi bunga tiga rupa (kembang telon).
Brokohan: Pesta Selamatan Pertama untuk Sang Bayi
Untuk menyambut kehadiran manusia baru, keluarga akan menggelar selamatan pertama yang disebut brokohan. Upacara ini lebih dari sekadar pesta, ia adalah permohonan tulus agar sang bayi dianugerahi keselamatan dan dijauhkan dari segala rintangan (nir sambekala).
Sajian utama dalam brokohan adalah sega asah, yakni nasi yang disajikan dalam tampah besar (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978, hlm. 16; Sumarno & Mumfangati, 2016, hlm. 50). Lauknya pun penuh makna:
• Daging Kerbau: Disajikan secara simbolis "satu kerbau", yang terdiri dari sedikit daging, aneka jeroan, dan satu buah mata kerbau.
• Pecel Ayam dan Sayur Menir: Sebagai pelengkap lauk pauk yang melambangkan kesederhanaan dan kesuburan.
• Telur Mentah: Jumlahnya disesuaikan dengan naptu (nilai hari dan pasaran) kelahiran sang bayi. Telur ini melambangkan jiwa si anak yang masih murni, namun juga "mentah" sebagai manusia.
Selain itu, hidangan seperti dawet juga disajikan sebagai harapan agar kehidupan sang anak kelak senantiasa selamat.
Menghalau Bahaya Gaib: Ritual Perlindungan hingga Puput Puser
Menurut kepercayaan kuno, bayi yang baru lahir sangat rentan terhadap gangguan gaib yang disebut sarap sawan atau godaan dari para dewa seperti Batara Kala. Puncak kerentanan ini terjadi hingga tali pusarnya lepas, sebuah momen yang disebut puput puser.
Pada malam puput puser, sebuah ritual unik dilakukan untuk mengelabui roh-roh jahat. Di tempat tidur bayi, diletakkan sebuah "bayi palsu" yang terbuat dari gandik (alat penumbuk jamu dari batu), dicoreti kapur sirih hingga menyerupai wajah, lalu dibedung dan ditidurkan di dalam tampah beralaskan daun keladi. Sementara itu, bayi yang asli akan dipangku semalaman penuh oleh para orang tua atau sesepuh hingga fajar tiba, saat para roh jahat diyakini telah pergi.
Pada malam inilah, setelah segala ancaman gaib berhasil "dik täelabui", sang bayi secara resmi diberi nama. Serangkaian prosesi ini menunjukkan betapa dalam masyarakat Jawa memandang kelahiran bukan hanya sebagai peristiwa fisik, tetapi juga sebagai pertarungan spiritual untuk melindungi dan menyambut jiwa baru ke dunia.
Daftar Pustaka
• Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. (1978). Adat-istiadat daerah Jawa Tengah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
• Sumarno, S., & Mumfangati, T. (2016). Potret pengasuhan anak sejak dalam kandungan hingga remaja pada masyarakat Jawa: Kajian Serat Tata Cara. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pelestarian Nilai Budaya D.I. Yogyakarta.
