Filosofi Atap Tajug: Bangunan Suci dalam Arsitektur Jawa
Pahami mengapa atap Tajug yang berbentuk runcing sering dipakai untuk bangunan sakral seperti masjid dan makam di Jawa. Menyelami filosofi Ketuhanan di balik konstruksinya.
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Jika arsitektur Joglo dan Limasan lazim mencerminkan strata sosial dan kemegahan duniawi bagi kaum ningrat, bentuk arsitektur Tajug hadir sebagai penanda dimensi spiritual dan kesakralan. Dalam klasifikasi lima bentuk pokok arsitektur Jawa tradisional (Panggangpe, Kampung, Limasan, Joglo, dan Tajug), Tajug adalah kategori bangunan yang berbeda karena penggunaannya yang hampir eksklusif pada bangunan suci.
Atap Tajug biasanya dijumpai pada bangunan peribadatan seperti masjid, langgar, dan cungkup makam tokoh-tokoh yang dihormati. Bentuknya yang khas, yaitu runcing di bagian puncak dengan empat bidang atap yang bertemu di satu titik, bukanlah kebetulan. Pertemuan di satu titik puncak ini merupakan simbol yang merepresentasikan Ketuhanan yang maha tinggi.
Secara struktural, bangunan berbentuk Tajug memiliki denah bujur sangkar dan ditopang oleh tiang utama, serta memiliki lantai yang selalu datar. Bentuknya yang tumpang (bersusun) pada atap diduga merupakan hasil akulturasi atau pengaruh dari bentuk Meru, bangunan suci dalam agama Hindu. Fungsi Tajug yang menonjolkan ketinggian menyiratkan dimensi transendental yang selalu dihubungkan dengan unsur keilahian.
Di Keraton Surakarta, kompleksnya dibangun dari kumpulan berbagai bentuk (Joglo, Limasan, Kampung), tetapi fungsi sakral tetap dipegang oleh bangunan khusus. Meskipun demikian, bangunan Pendapa Kabupaten Banyumas di Purwokerto yang berbentuk Tajug juga diakui dan dianggap keramat oleh masyarakat setempat.
Variasi Tajug: Adaptasi untuk Masjid dan Makam
Sama seperti bentuk Kampung dan Limasan yang memiliki variasi, bentuk Tajug pun dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan fungsional dan konstruksi yang berbeda. Bentuk dasar dari bangunan ini adalah Tajug Pokok, yang terdiri dari empat tiang utama, denah bujur sangkar, dan atap runcing.
Beberapa variasi Tajug yang didokumentasikan dalam arsitektur tradisional Jawa Tengah meliputi:
1. Tajug Lawakan: Merupakan pengembangan dari Tajug pokok dengan penambahan emper keliling, memberikan ruang sirkulasi tambahan di sekeliling bangunan suci.
2. Tajug Lambang Teplok: Bangunan Tajug yang memiliki serambi yang menempel langsung pada saka-guru (tiang utama).
3. Tajug Lambangsari: Variasi ini ditandai dengan konstruksi yang tidak menggunakan ander (tiang penopang balok paling atas atau molo). Sebagai gantinya, balok-balok yang disebut Lambangsari digunakan untuk menghubungkan atau menggantungkan brunjung (atap utama) dan atap penanggap (atap kedua).
4. Tajug Semar Tinandu: Dalam bentuk ini, saka guru (tiang utama) tidak langsung menopang hingga ke pondasi, melainkan bertumpu pada pengeret penanggap atau brunjung yang diangkat oleh tiang-tiang di pinggir.
Adaptasi lokal yang lebih spesifik bahkan melahirkan bentuk arsitektur baru. Contohnya adalah Tajug Semar Sinongsong Lambang Gantung yang digunakan pada Masjid Soko Tunggal di Wangon, Banyumas. Bangunan ini merupakan ciptaan baru dari campuran gaya arsitektur Pejajaran dan Sultan Agungan, yang hanya bertiang satu (saka tunggal) dengan bahu danyang.
Tajug dalam Akulturasi Arsitektur Islam Jawa
Penggunaan Tajug pada masjid-masjid tua di Indonesia merupakan contoh nyata dari proses akulturasi budaya lokal dengan unsur non-lokal (Islam). Hal ini sesuai dengan konsep integrasi akulturasi, di mana identitas budaya asli dipertahankan sambil berinteraksi dengan budaya lain.
Masjid-masjid yang didirikan pada masa awal perkembangan Islam di Jawa, seperti Masjid Sunan Ampel, secara konsisten mengadopsi bentuk Tajug yang bertumpang dua, tiga, atau lebih. Bentuk ini menopang dimensi lokal (Jawa) dan spiritual.
Pada kasus Masjid Sunan Ampel (bangunan selatan), percampuran bentuk arsitektur terjadi melalui proses adaptasi. Bentuk atap Tajug tumpang dua (sebagai pelingkup atas) mendominasi, baik dari segi visual maupun ketinggian. Ketinggian atap tajug bisa mencapai sekitar 14 meter, sementara dinding tebal (sebagai pelingkup samping) hanya sekitar 5 meter.
Bentuk atap Tajug tumpang dua ini mewakili bentuk arsitektur lokal. Di sisi lain, dinding tebal dengan pintu dan jendela besar yang menjadi pelingkup samping dipengaruhi oleh bentuk dinding gereja kolonial (arsitektur non lokal).
Dominasi bentuk atap Tajug (unsur lokal) terhadap dinding (unsur non-lokal) dalam arsitektur Masjid Sunan Ampel memperlihatkan bahwa percampuran bentuk terjadi secara adaptasi, dengan dominasi unsur lokal (budaya setempat) yang lebih kuat. Hal ini menunjukkan simbol sikap toleran masyarakat Jawa terhadap agama Islam yang datang, di mana unsur-unsur lokal (seperti memolo pada puncak atap) dianggap sebagai titik penghubung yang sempurna antara manusia dan Tuhannya.
Dengan demikian, bentuk Tajug tidak hanya sekadar penutup bangunan, tetapi juga menjadi penegasan filosofis dan simbolis dari spiritualitas Jawa yang mampu menyerap dan mengadaptasi unsur-unsur asing tanpa kehilangan kepribadiannya.
Daftar Pustaka
Ashadi. (2018). Kearifan lokal dalam arsitektur. Arsitektur UMJ Press.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1985). Arsitektur tradisional daerah Jawa Tengah (Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Jawa Tengah Tahun Anggaran 1981/1982, Cetak Ulang 1985-1986). Proyek IDKD Jawa Tengah.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1985b). Isi dan kelengkapan rumah tangga tradisional menurut tujuan, fungsi dan kegunaannya daerah Jawa Tengah (Hasil Penelitian Tahun 1982/1983). Proyek IDKD Jawa Tengah.
Ismunandar K., R. (1990). Joglo: Arsitektur rumah tradisional Jawa. Dahara Prize. (Dialihfungsikan dari kutipan sumber sebelumnya yang membahas Joglo, Limasan, dan konteks arsitektur Jawa).