Filosofi Tiga Alam Semesta (Triloka) dalam Arsitektur Candi Borobudur: Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu
Borobudur merepresentasikan Triloka Buddha (Kamadhatu, Rupadhatu, Arupadhatu) sebagai tahapan spiritual menuju nirwana. Pahami makna 10 tingkat arsitektur candi ini.
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Candi Borobudur, warisan budaya dunia terbesar di Indonesia, diperkirakan dibangun sekitar abad ke-8 hingga ke-9 Masehi pada masa Dinasti Syailendra. Monumen Buddha Mahayana ini tidak hanya menakjubkan dari segi teknik konstruksi—tersusun dari 2 juta blok batu andesit dengan sistem saling mengunci (interlock) tanpa perekat—tetapi juga kaya akan makna filosofis.
Candi Borobudur memiliki 10 tingkat (6 tingkat di bawah berbentuk bujur sangkar dan 3 teras di atas berbentuk lingkaran, serta stupa induk). Kesepuluh tingkat ini merupakan perwujudan dari konsepsi alam semesta dalam kosmologi Buddha, yang dikenal sebagai Triloka. Triloka Borobudur melambangkan tahap-tahap hidup yang harus dilalui manusia untuk mencapai nirwana atau moksha.
Borobudur, dengan ketinggian aslinya 42 meter (kini sekitar 35,4 meter), membagi strukturnya menjadi tiga ranah spiritual: Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu, yang merefleksikan ajaran Buddha tentang kehidupan, bentuk, dan ketidakberwujudan.
1. Kamadhatu: Dunia Nafsu di Kaki Candi
Kamadhatu adalah bagian kaki candi, atau tingkat terbawah dari sepuluh tingkatan Borobudur. Secara harfiah, Kamadhatu adalah dunia yang penuh nafsu ketamakan, penderitaan, dan kesengsaraan.
• Makna Spiritual: Tingkat ini melambangkan tahap kehidupan manusia yang masih dikuasai oleh hasrat atau kama. Dalam Buddhisme, penderitaan (dukha) ada disebabkan oleh penurutan terhadap kama.
• Relief yang Tersembunyi: Kamadhatu diwakili oleh relief Mahakarmmavibhangga yang terukir di kaki candi yang tertutup. Relief ini menggambarkan kebenaran hidup Buddhis, yaitu bahwa hidup adalah dukha, dan menampilkan hukum sebab akibat (karma) yang berkaitan dengan nafsu.
• Struktur Penutup (Hidden Foot): Kaki candi yang semula terbuka ini ditutup susunan batu yang disebut selasar atau encasement (kaki tambahan). Relief Mahakarmmavibhangga menjadi tidak tampak seluruhnya karena tertutup oleh kaki candi kedua yang lebar. Hanya relief pada sisi tenggara yang dibuka sedikit untuk dilihat oleh pengunjung.
• Tujuan Penutupan: Penutupan ini diduga memiliki dua kemungkinan tujuan: secara teknis, susunan batu tambahan ini berfungsi sebagai fondasi kedua untuk menahan melesaknya candi karena adanya proses tanah melorot. Secara filosofis, penutup ini mungkin dimaksudkan untuk menutup gambaran nafsu keduniawian yang dapat mengganggu konsentrasi peziarah yang sedang menjalani 10 jalan Bodhisattwa.
2. Rupadhatu: Dunia Bentuk di Tubuh Candi
Tingkat di atas Kamadhatu adalah Rupadhatu, yang merupakan bagian tubuh candi. Rupadhatu terdiri dari lima teras berbentuk bujur sangkar (lorong 1–4).
• Makna Spiritual: Rupadhatu melambangkan kondisi manusia yang sudah mulai meninggalkan hasrat duniawi, tetapi masih terikat pada nama dan bentuk (unsur berwujud). Ini adalah tahap di mana manusia sudah mulai berperilaku benar dan bersamadhi dengan benar.
• Fungsi Pembelajaran: Para peziarah masa lampau mempelajari nilai-nilai dan ajaran Buddha dari relief-relief yang terpahat pada dinding-dinding lorong Rupadhatu.
• Relief Carita (Kisah): Dinding lorong pertama pada tingkat ini menggambarkan cerita-cerita suci seperti Lalitavistara (riwayat Sang Buddha), Jataka, Awadana, dan Gandawyuha. Panjang keseluruhan relief ini mencapai tidak kurang dari tiga kilometer.
• Arca Buddha: Di tingkat ini, terdapat arca-arca Buddha yang ditempatkan pada relung-relung. Arca-arca ini diidentifikasi sebagai tokoh Jina dalam mandala Vairocana.
3. Arupadhatu: Dunia Tanpa Bentuk di Puncak Candi
Arupadhatu adalah bagian teratas Candi Borobudur. Bagian ini terdiri dari tiga teras berundak berbentuk lingkaran dan diakhiri dengan stupa induk di pusatnya.
• Makna Spiritual: Arupadhatu (atau formless) merupakan dunia tanpa bentuk. Ini adalah tahap tertinggi di mana manusia memasuki keadaan suci (moksha) menuju nirwana. Pada tahap ini, manusia sudah tidak lagi terikat pada hasrat dan bentuk.
• Simbolisme: Tingkatan ini melukiskan dunia atas tempat tinggal para dewa. Posisi Buddha di puncak Borobudur, yang digambarkan duduk hening bersamadhi dalam posisi lotus, adalah ekspresi tak berwujud atau polos, seakan sudah menirwana.
• Stupa dan Arca: Tiga teras bundar ini dihiasi oleh 72 stupa kecil berterawang. Arca-arca Buddha yang berada di dalam stupa berterawang di tingkat 7, 8, dan 9 (Arupadhatu) semuanya memiliki satu mudra (sikap tangan) yang sama, yaitu dharmacakramudrā. Arca Buddha di puncak Borobudur digambarkan duduk hening.
• Filosofi Teratai: Posisi lotus (teratai) melambangkan "mekarnya teratai di atas telaga dunia yang kotor berlumpur dukha".
Pembagian arsitektural Borobudur secara vertikal menjadi Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu menunjukkan konsep pemikiran yang berpusat pada pemahaman konsep Buddhis yang diselaraskan dengan budaya asli Indonesia. Konsep bangunan bertingkat-tingkat ini merupakan perpaduan antara ide asli pemujaan masyarakat Jawa masa lalu (punden berundak) dengan konsep agama Buddha dalam mencapai kesempurnaan. Dengan demikian, Borobudur merupakan monumen untuk belajar menuju pencerahan, sebuah perjalanan spiritual bertahap dari dunia hasrat menuju moksha tanpa bentuk, yang dirancang oleh arsitek-arsitek jenius Jawa Kuno.
Daftar Pustaka
Anonim. (1974). Reports and Documents of the Consultative Committee for Safeguarding of Borobudur. Proyek Pelita Pemugaran Candi Borobudur.
Balai Konservasi Borobudur. (2012). 100 Tahun Pascapemugaran Candi Borobudur Candi Borobudur dalam Multiaspek (Trilogi III). Balai Konservasi Borobudur.
Balai Konservasi Borobudur. (2012). 100 Tahun Pascapemugaran Candi Borobudur Dekonstruksi dan Rekonstruksi Candi Borobudur (Trilogi II). Balai Konservasi Borobudur.
Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman. (2013). Candi Indonesia Seri Jawa. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Joesoef, D. (n.d.). Merintis Kampanye Penyelamatan Candi Borobudur. Dalam Balai Konservasi Borobudur, 100 Tahun Pascapemugaran Candi Borobudur Menyelamatkan Kembali Candi Borobudur (Trilogi I).
Kabul Basah Suryolelono. (n.d.). Struktur Tanah Fondasi dan Stabilitas Bangunan Candi Borobudur. Dalam Balai Konservasi Borobudur, 100 Tahun Pascapemugaran Candi Borobudur Dekonstruksi dan Rekonstruksi Candi Borobudur (Trilogi II).
Kempers, A.J. Bernet dan Soekmono. (1974). Candi Mendut, Pawon dan Borobudur. GANACO NV. Bandung-Jakarta.
Mudji Sutrisno SJ. (n.d.). Borobudur dan Saya. Dalam Balai Konservasi Borobudur, 100 Tahun Pascapemugaran Candi Borobudur Candi Borobudur dalam Multiaspek (Trilogi III).
Nahar Cahyandaru. (n.d.). Kesadaran-Kesadaran yang Bersumber dari Borobudur. Dalam Balai Konservasi Borobudur, 100 Tahun Pascapemugaran Candi Borobudur Menyelamatkan Kembali Candi Borobudur (Trilogi I).
Soekmono, R. (1972). Riwajat Usaha Penjelamatan Tjandi Borobudur (Sampai achir 1971). Jakarta: Projek PELITA Restorasi Tjandi Borobudur.
Tekno Arkeologi Pemugaran Candi Borobudur. (n.d.). Dalam Balai Konservasi Borobudur, 100 Tahun Pascapemugaran Candi Borobudur Dekonstruksi dan Rekonstruksi Candi Borobudur (Trilogi II).
Wiwit Kasiyati. (n.d.). Peran Arkeologi Publik dalam Pelestarian Kawasan Borobudur. Dalam Balai Konservasi Borobudur, 100 Tahun Pascapemugaran Candi Borobudur Candi Borobudur dalam Multiaspek (Trilogi III).