Jaka Tingkir dan Akhir Demak: Munculnya Pajang
Kesultanan Demak runtuh akibat konflik internal, digantikan oleh Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir.
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Cakrawala Demak muram. Mangkatnya Sultan Trenggana dalam sebuah ekspedisi militer ke Panarukan pada tahun 1546 M bukan sekadar akhir dari sebuah riwayat, melainkan terbukanya kotak Pandora yang melepaskan pusaran takhta berdarah. Kekuasaan besar yang dibangun di atas reruntuhan Majapahit itu kini limbung, digerogoti dari dalam oleh ambisi, dendam, dan pertarungan antarkeluarga yang tak terhindarkan. Di tengah kekacauan itulah, dari pedalaman Jawa Tengah, seorang pemuda bernama Jaka Tingkir muncul—bukan sekadar sebagai pewaris, tetapi sebagai pendiri sebuah tatanan baru: Kesultanan Pajang.
Konflik Internal Pasca Pati Unus
Benih-benih perpecahan di jantung Demak sebenarnya telah lama tersemai. Setelah wafatnya Sultan Demak pertama (Raden Patah), takhta diwariskan kepada putranya, Pangeran Sabrang Lor (Pati Unus), yang juga mangkat dalam waktu singkat. Takhta kemudian jatuh ke tangan Raden Trenggana, yang berhasil memperluas wilayah kekuasaan Demak hingga ke timur. Namun, di balik kejayaan itu, api dalam sekam terus menyala di antara para pangeran.
Prahara meledak sepeninggal Sultan Trenggana. Putranya, Sunan Prawata, naik takhta sebagai penguasa keempat. Namun, pemerintahannya dibayangi oleh dosa masa lalu. Pamannya sendiri, Pangeran Seda Lepen (saudara Sultan Trenggana), tewas terbunuh, dan tudingan mengarah pada perintah Sunan Prawata. Peristiwa ini menyulut bara dendam di hati putra Pangeran Seda Lepen, Arya Penangsang, Adipati Jipang yang dikenal perkasa.
Merasa hak ayahnya atas takhta telah dirampas, Arya Penangsang melancarkan pembalasan brutal. Atas perintahnya, Sunan Prawata beserta istrinya tewas dibunuh. Kekejaman tidak berhenti di situ. Pangeran Kalinyamat, suami dari Ratu Kalinyamat (putri Sultan Trenggana), juga menjadi korban. Pusaran konflik ini praktis melumpuhkan pusat kekuasaan Demak, menciptakan kekosongan kepemimpinan yang membuka jalan bagi kekuatan baru untuk bangkit.
Jaka Tingkir Mendirikan Kesultanan Pajang
Di tengah kemelut itu, muncullah sosok Jaka Tingkir. Ia bukanlah orang asing dalam lingkaran kekuasaan Demak. Terlahir dengan nama Mas Karebet, ia adalah putra dari Ki Ageng Pengging (Kebo Kenanga), seorang bangsawan yang pernah menjadi korban politik Demak karena dicurigai akan memberontak dan dieksekusi atas perintah Sunan Kudus. Setelah orang tuanya wafat, Mas Karebet diasuh oleh Nyai Ageng Tingkir dan sejak itu dikenal sebagai Jaka Tingkir.
Ramalan akan kebesarannya sudah terdengar sejak lama. Konon, Sunan Kalijaga pernah menubuatkan bahwa ia akan menjadi penguasa Tanah Jawa. Berbekal ramalan itu, ia mengabdi di keraton Demak. Kecerdasan dan kesaktiannya segera menarik perhatian Sultan, seperti saat ia melompati kolam keraton untuk menghindari Sultan dan membuatnya terkesan. Ia kemudian diangkat menjadi kepala prajurit Tamtama, sebuah korps elite kerajaan. Namun, kariernya sempat terganjal saat ia membunuh seorang penantang bernama Dadungawuk, yang membuatnya diusir dari istana.
Dalam pengasingannya, ia berguru kepada para pertapa sakti seperti Ki Buyut Banyu Biru, menimba ilmu pemerintahan dan kesaktian. Takdir membawanya kembali ke Demak dengan cara yang spektakuler: menaklukkan seekor kerbau liar (kebo danu) yang mengamuk dan tak terkalahkan. Atas jasanya itu, ia diampuni oleh Sultan, bahkan diangkat menjadi menantu dengan menikahi salah seorang putri Sultan Trenggana dan diberi kedudukan sebagai Adipati di Pajang.
Ketika Arya Penangsang merajalela, Sultan Hadiwijaya (gelar Jaka Tingkir di Pajang) tampil sebagai penantang utama. Dengan dukungan para pengikut setianya seperti Ki Ageng Pamanahan dan Ki Penjawi, ia berhasil mengalahkan dan menewaskan Arya Penangsang dalam pertempuran sengit. Kemenangan ini menjadi titik balik. Dengan runtuhnya kekuatan Jipang dan Demak yang sudah tak memiliki pemimpin, Pajang pun muncul sebagai pusat kekuasaan baru. Langkah paling simbolis adalah pemindahan pusaka kebesaran Demak ke Pajang, yang secara resmi menandai berakhirnya era Kesultanan Demak dan lahirnya Kesultanan Pajang.
Pusat Kekuasaan Bergeser ke Pedalaman
Berdirinya Kesultanan Pajang bukan sekadar pergantian dinasti, melainkan sebuah pergeseran geopolitik dan kebudayaan yang fundamental dalam sejarah Jawa. Pusat kekuasaan yang selama era Demak berpusat di Pesisir Utara—sebuah wilayah maritim yang sibuk dengan perdagangan dan terbuka pada pengaruh internasional—kini berpindah ke pedalaman, ke Pajang, sebuah wilayah agraris di jantung Jawa Tengah.
Menurut sejarawan De Graaf dan Pigeaud, pergeseran dari Demak ke Pajang ini adalah momen krusial yang menandai kembalinya dominasi kerajaan-kerajaan pedalaman, sebuah pola yang akan dilanjutkan dan mencapai puncaknya di bawah kekuasaan Mataram. Demak, yang pernah menjadi "kaisar" di Jawa, kini statusnya diturunkan menjadi kadipaten di bawah kekuasaan Pajang.
Sultan Hadiwijaya kemudian menata pemerintahannya dengan mengangkat para pengikut setianya, seperti Mas Manca, sebagai pejabat tinggi. Pajang pun dibangun menjadi ibu kota baru yang makmur. Meskipun berumur pendek, Kesultanan Pajang telah meletakkan fondasi penting. Ia menjadi jembatan sejarah antara era kerajaan maritim Islam Pesisir (Demak) dan bangkitnya kembali hegemoni kerajaan agraris pedalaman yang kelak akan diwujudkan secara gilang-gemilang oleh Mataram, sebuah kerajaan yang notabene didirikan oleh para pengikut setia Jaka Tingkir sendiri.
Daftar Pustaka
Arimurti, K., Amanah, S., & Sadewa, T. C. (2023). Alih Aksara Serat Babad Demak. Perpusnas PRESS.
De Graaf, H. J., & Pigeaud, T. G. T. (1985). Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Grafiti Pers.
Kasri, M. K., & Semedi, P. (2008). Sejarah Demak: Matahari Terbit di Glagah Wangi. Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Demak.
Sastradiwirya. (1988). Babad Majapahit dan Para Wali 1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sastronaryatmo, M. (2011). Babad Jaka Tingkir (Babad Pajang). Perpustakaan Nasional, Balai Pustaka.
Posting Komentar