Jaka Tingkir dan Penaklukan Raja Buaya Baurekso di Bengawan Solo: Ujian Kesaktian di Tengah Arus Deras
Kisah Jaka Tingkir menyusuri Bengawan Solo menggunakan rakit bambu, menaklukkan Raja Buaya Baurekso, yang kemudian bersedia mengawalnya menuju Demak.
![]() |
Ilustrasi Jaka Tingkir melawan Raja Buaya Baurekso. (Generatif Gemini) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Setelah diusir dari Demak dan menjalani masa pengasingan yang penuh ratap tangis, Jaka Tingkir (Mas Karebet) telah menyelesaikan pembekalan spiritualnya di Padepokan Banyubiru di bawah bimbingan pamannya, Ki Ageng Banyubiru (Ki Kebo Kanigara). Kejatuhan Jaka Tingkir dari Lurah Tamtama Demak memberinya pelajaran penting: kekuasaan politik harus dilandasi oleh kekuatan spiritual yang tak tertandingi.
Berbekal segumpal "tanah dagan" sakti dan ramalan bahwa ia kelak akan menjadi raja Jawa, Jaka Tingkir memulai perjalanan kembali menuju Demak. Namun, perjalanan ini tidak dapat ditempuh dengan cara biasa. Ia harus membuktikan kelayakan dan kesaktian barunya dengan menghadapi ujian alam liar yang ekstrem. Ujian terbesar menanti di perairan Bengawan Solo, yang dikenal sebagai sarang makhluk buas sekaligus pintu gerbang menuju kekuasaan di Jawa Tengah. Kisah ini, yang diabadikan dalam Babad Jaka Tingkir dan Serat Babad Demak, menjadi narasi epik tentang bagaimana Jaka Tingkir memperoleh kesetiaan makhluk mitos dan menegaskan kewibawaannya sebagai calon raja.
Perjalanan Menantang Maut dengan Rakit Bambu
Tujuan Jaka Tingkir setelah meninggalkan Jatingarang Sarehan adalah Gunung Prawata, tempat Sultan Trenggana saat itu sedang bercengkerama. Untuk mencapai Prawata, ia memilih jalur air.
Jaka Tingkir ditemani oleh tiga sahabat seperguruan yang setia, yaitu Mas Manca, Wila, dan Wuragil. Mereka memilih menaiki rakit yang terbuat dari bambu dan menyusuri Sungai Dengkeng menuju Sungai Bengawan Solo. Perjalanan menyusuri sungai ini dipenuhi rintangan yang kemudian menjadi toponimi desa di sekitarnya, seperti Tosaji, Krendetan (karena rakit tersendat-sendat), Pengkol (karena rakit oleng), dan Dungaron atau Kedung Pengaron (pusaran air melingkar).
Setelah singgah dan menerima wejangan dari Ki Ageng Majasto, rombongan Jaka Tingkir melanjutkan perjalanan ke Bengawan Solo.
Pertempuran Melawan Raja Buaya Baurekso
Ujian sejati Jaka Tingkir datang ketika rakitnya sampai di Kedung Srengenge. Tempat ini tidak disadari oleh rombongan sebagai sarang buaya, yang dipimpin oleh raja buaya yang sangat berkuasa, Baurekso, dan patihnya Jalumampang.
Tiba-tiba, cuaca berubah drastis. Hujan yang sangat deras bercampur angin kencang melanda, menciptakan suasana mencekam. Sang raja buaya, Baurekso, mengerahkan seluruh prajuritnya untuk menyerang rakit bambu Jaka Tingkir.
Maka, terjadilah perang tanding yang sangat sengit (sangat sengit) antara rombongan Jaka Tingkir melawan kawanan buaya. Ini bukan hanya pertarungan fisik, tetapi demonstrasi dari ilmu jaya-kawijayan dan wididya-kawididyan yang baru diperoleh Jaka Tingkir dari Ki Ageng Banyubiru.
Penaklukan dan Janji Pengabdian Abadi
Berkat kesaktian Jaka Tingkir, Raja Buaya Baurekso dan seluruh prajuritnya berhasil dikalahkan. Kemenangan ini memiliki konsekuensi yang jauh lebih besar daripada sekadar selamat. Baurekso dan pasukannya tidak hanya takluk, tetapi mereka mengaku takluk kepada Jaka Tingkir dan bersedia mengantar serta mengawal perjalanan rombongan Jaka Tingkir di sepanjang Sungai Bengawan Solo menuju daerah Butuh.
Selain kesetiaan, Serat Babad Demak juga mencatat detail transaksi spiritual dan politik yang terjadi antara Jaka Tingkir dan Raja Buaya. Jaka Tingkir, yang disebut Rahaden, meminta upeti tahunan (pajĕg) berupa satu ekor buaya (bajul sawiji).
“Rahaden alon ngandika/ ingsun mundhut pajÄ•g bajul sawiji/ iya iku sabÄ•n taun/”. (Rahaden perlahan berkata/ aku meminta upeti satu ekor buaya/ yaitu setiap tahun).
Baurekso langsung menyatakan kesediaan penuh: “langkung karsa sumangga karsa Sang Prabu” (sangat bersedia, terserah kehendak Sang Prabu). Setelah diizinkan kembali ke tempatnya, Raja Buaya Baurekso kembali datang menghadap Jaka Tingkir dengan membawa empat puluh buaya (kawandasa ngatÄ•rna) untuk mengawal rakitnya (ing gethek pamiliripun).
Setelah menghabiskan tiga hari di istana buaya (mungging kayanganing baya), Jaka Tingkir melanjutkan perjalanannya. Penaklukan Baurekso ini adalah penanda penting: Jaka Tingkir tidak hanya menguasai manusia, tetapi juga kekuatan alam dan entitas spiritual yang kelak menjadi bagian dari legitimasi kekuasaannya sebagai Sultan Hadiwijaya.
Daftar Pustaka
Graaf, H. J. de, & Pigeaud, Th. G. Th. (1985). Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Grafiti Pers.
Kasri, M. K., & Semedi, P. (2008). Sejarah Demak: Matahari Terbit di Glagahwangi.
Moelyono Sastronaryatmo. (2011). Babad Jaka Tingkir (Babad Pajang). Perpustakaan Nasional.
Muljana, S. (2005). Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan Majapahit). LKiS.
Serat Babad Demak (Alih Aksara). (2023). Krisna Arimurti, Siti Amanah, Tio Cahya Sadewa.
Tim Penyusun. (2001). Legenda Ki Ageng Banyubiru dan Joko Tingkir: Ds. Jatingarang. Sub Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Sukoharjo.