Jejak Palembang dan Tiongkok: Mengungkap Silsilah Misterius Raden Patah, Sultan Demak Pertama
Telusuri silsilah rumit Raden Patah, putra Brawijaya V dan seorang putri Tiongkok yang lahir di Palembang. Antara babad Jawa dan kronik Tiongkok.
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Di persimpangan takdir Majapahit, lahirnya Kesultanan Demak ditandai oleh sebuah misteri asal-usul yang berkelindan antara Jawa, Palembang, dan daratan Tiongkok. Raden Patah, sang pendiri imperium Islam pertama di Jawa, bukanlah sosok yang lahir dari satu rahim peradaban. Dalam darahnya mengalir narasi ganda: seorang pangeran Majapahit dari garis ayah, sekaligus putra seorang perempuan Tiongkok yang terasing, yang takdirnya membawanya lahir di Palembang. Menelusuri jejak silsilahnya adalah upaya membentangkan benang kusut yang menghubungkan babad-babad Jawa, catatan para saudagar Tiongkok, hingga analisis sejarawan modern. Kisahnya adalah potret kompleks tentang bagaimana identitas campuran menjadi fondasi sebuah dinasti baru.
Kisah Putri Tiongkok dan Prabu Brawijaya V: Permaisuri yang Terasing
Hampir semua babad Jawa sepakat pada satu titik pangkal: ibu Raden Patah adalah seorang perempuan berdarah Tiongkok. Menurut Babad Majapahit dan Para Wali serta Serat Babad Demak, ia adalah permaisuri dari Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit. Namun, takdir berkata lain. Saat sang putri sedang mengandung, ia diserahkan kepada Adipati Palembang, Arya Damar (dalam beberapa naskah disebut Raden Dilah). Alasan penyerahan ini beragam. Beberapa tradisi menyebutnya sebagai hadiah bagi sang adipati, sementara yang lain mengisyaratkan adanya intrik istana.
Menariknya, Serat Kandha memberikan detail berbeda, menyebut sang putri bukan keturunan bangsawan, melainkan anak dari seorang saudagar Tiongkok bernama Babah Bantong (atau Ban Hong). Varian lain bahkan menyebutnya berasal dari Campa (Vietnam), bukan Tiongkok. Perbedaan ini menunjukkan kompleksitas narasi lisan yang beredar, yang masing-masing mencoba memberi legitimasi atau penjelasan berbeda atas asal-usul asing dari ibu sang sultan pertama Demak. Apa pun versinya, benang merahnya tetap sama: seorang perempuan dari seberang yang mengandung benih raja Jawa diasingkan ke Palembang.
Kelahiran Raden Patah di Palembang: Ikatan dengan Arya Damar
Di bawah asuhan Adipati Arya Damar di Palembang-lah sang putra mahkota terbuang itu lahir. Ia diberi nama Raden Patah, dan dibesarkan sebagai putra angkat sang adipati. Di sana pula ia tumbuh bersama saudara tirinya, Raden Husen, putra Arya Damar dari perempuan yang sama. Ikatan antara Raden Patah dan Arya Damar begitu kuat hingga sang adipati sempat berpesan agar kelak Raden Patah-lah yang menggantikannya sebagai penguasa Palembang.
Namun, takdir memanggilnya ke Jawa. Setelah dewasa, Raden Patah bersama Raden Husen meninggalkan Palembang untuk berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya. Narasi ini mengukuhkan Palembang bukan hanya sebagai tempat kelahiran, tetapi juga sebagai titik tolak perjalanan spiritual dan politik Raden Patah dalam merintis jalan menuju takhta Demak.
Perspektif Tiongkok dan Legitimasi Keturunan: Dari Jin Bun hingga Cek Ko-Po
Jika babad Jawa berfokus pada narasi dramatis, catatan dari luar justru memberi nama dan konteks yang berbeda. Kronik Tionghoa dari Klenteng Sam Po Kong di Semarang secara spesifik menyebut pendiri Demak dengan nama Tionghoa: Jin Bun. Kronik ini mencatat bahwa Jin Bun dan saudaranya, Kin San (Raden Husen), berangkat dari Palembang ke Jawa pada tahun 1474 M untuk berguru kepada Sunan Ampel. Nama "Jin Bun" inilah yang dalam lidah Jawa kemudian dilafalkan sebagai "Jimbun", sebuah gelar yang melekat pada nama Raden Patah: Senapati Jimbun.
Sejarawan H.J. de Graaf, dengan merujuk pada Sadjarah Banten, menemukan nama lain yang lebih tua: Cek Ko-Po dari Munggul. "Cek" atau "Encek" adalah sapaan hormat dalam bahasa Tionghoa yang berarti "paman". Sementara "Munggul" mengingatkan pada kata "Mongol", membuka spekulasi bahwa asal-usulnya bukanlah Tiongkok Han, melainkan mungkin dari keturunan pasukan Mongol yang pernah menyerbu Jawa.
Menariknya, narasi Jawa Barat menyajikan dinamika kekuasaan yang berbeda. Sadjarah Banten mengisahkan bahwa Cu-Cu (nama lain untuk pendiri dinasti Demak) justru diutus oleh Maharaja Majapahit untuk menertibkan Ki Dilah (Arya Damar) yang membangkang di Palembang. Sebagai imbalan atas keberhasilannya, ia dihadiahi seorang putri Majapahit sebagai istri dan gelar Arya Sumangsang. Versi ini membalikkan narasi Raden Patah sebagai "putra terbuang" dan justru menempatkan pendiri dinasti Demak sebagai sosok kuat yang dipercaya oleh Majapahit. Perbedaan-perbedaan ini menunjukkan bahwa silsilah Raden Patah adalah sebuah arena perebutan legitimasi, di mana darah Tiongkok dan ikatan Palembang menjadi elemen kunci yang terus-menerus ditafsirkan ulang untuk mengukuhkan haknya atas takhta Jawa.