Joglo: Mahakarya Arsitektur Tradisional Jawa untuk Kaum Ningrat
Joglo adalah bentuk rumah paling sempurna, megah, dan berteknik tertinggi, identik dengan kaum bangsawan. Pelajari konstruksi saka guru, tumpangsari, dan pantangan mengubah bentuknya.
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Dalam kancah arsitektur tradisional Jawa Tengah, yang dikelompokkan menjadi lima bentuk pokok (Panggangpe, Kampung, Tajug, Limasan, dan Joglo), Rumah Joglo menempati posisi tertinggi. Rumah Joglo dianggap sebagai bentuk yang paling sempurna, megah, dan menggunakan teknik pembuatan yang paling tinggi.
Berbeda dengan tipe Kampung yang umum dihuni oleh rakyat biasa, Joglo secara historis identik dengan status sosial dan kekuasaan. Rumah ini hanya dimiliki oleh kaum bangsawan (ningrat), elite birokrasi, atau keluarga yang sangat mampu secara ekonomi. Dalam struktur masyarakat feodal Jawa, di mana Raja menempati posisi tertinggi, kaum bangsawan dan pejabat merupakan lapisan sosial berikutnya yang berhak memiliki kemewahan dan ukuran bangunan yang berbeda dari rakyat jelata. Sebuah rumah bagi orang Jawa memang dapat memperlihatkan bagaimana status sosial dari penghuninya.
Nama Joglo sendiri mengandung filosofi kemegahan dan biaya yang sangat besar. Di daerah Banyumas, biaya pembuatan Joglo dikenal dengan sebutan Tikelan, yang bermakna "lipat ganda". Selain membutuhkan bahan yang lebih banyak, pembiayaan yang besar ini menyebabkan masyarakat tidak mudah untuk memiliki atau memperbaiki rumah bentuk Joglo.
Anatomis Konstruksi Joglo: Saka Guru dan Tumpangsari
Keunggulan Joglo tidak hanya terletak pada penampilan fisiknya, tetapi juga pada konstruksi teknis yang kompleks. Dari aspek materi, pemilihan bahan bangunan, terutama kayu jati (Tectona grandis), harus memperhatikan aspek mistis dan keselamatan penghuni. Misalnya, kayu jati jenis Pandawa—yaitu kayu jati satu pohon yang bercabang lima—sangat tepat digunakan untuk bahan bangunan pendapa, khususnya untuk saka guru (tiang utama), karena dipercaya membuat penghuninya berhati teguh atau tabah menghadapi segala kesulitan.
Konstruksi kerangka Joglo adalah yang paling rumit jika dibandingkan dengan bentuk-bentuk lainnya. Elemen kunci yang membedakan Joglo adalah:
1. Saka Guru (Tiang Utama): Joglo pokok didirikan di atas empat tiang utama yang berpenampang bujur sangkar. Dalam kasus Keraton Surakarta, misalnya, Sasana Sewaka (sebuah bangunan Joglo Pangrawit) ditopang oleh empat tiang utama (saka guru). Tiang ini merupakan bagian pertama yang dikerjakan dalam upacara pendirian rumah (munjuk).
2. Brunjung dan Tumpangsari: Atap utama Joglo disebut Brunjung. Empat saka guru ini menopang susunan balok yang disebut Tumpangsari. Tumpangsari tersusun dalam jumlah ganjil, dan penyusunannya berkebalikan dengan arah susunan balok uleng yang menyempit ke atas seperti piramida.
3. Dada Peksi: Bagian balok melintang yang terletak di tengah pamidangan (ruang tengah). Pada Joglo, Dada Peksi berfungsi sebagai penopang ander (tiang penopang molo) dan sekaligus sebagai pajangan atau hiasan, seringkali diukir indah atau digunakan sebagai tempat menggantungkan lampu induk.
4. Sistem Sambungan: Sama seperti konstruksi rumah tradisional Jawa lainnya, penyambungan kerangka kayu Joglo menghindari penggunaan paku dan mengandalkan teknik purus (gigi-gerigi), pantek, dan sindik. Selain itu, teknik catokan digunakan pada tumpang, dan pada sambungan penanggap-penangkur diberi pengunci yang disebut Emprit Gantil. Emprit Gantil berfungsi ganda, tidak hanya sebagai pengunci, tetapi juga sebagai hiasan dekoratif yang diukir indah.
Proses merakit seluruh kerangka rumah ini disebut njanggrung.
Dimensi Sakral Joglo: Lenggah Sinewaka dan Pantangan Adat
Joglo tidak hanya sekadar arsitektur yang menunjukkan kekayaan, tetapi juga mewadahi filosofi mendalam dan fungsi spiritual. Konsep ruang keraton sebagai pusat pemerintahan dan budaya sering menggunakan Joglo untuk fungsi-fungsi seremonial tertinggi:
• Sasana Sewaka: Bangunan di Keraton Surakarta ini berbentuk Joglo Pangrawit. Bangsal ini digunakan oleh Sri Susuhunan pada hari-hari tertentu, seperti Senin dan Kamis, untuk melaksanakan upacara "Lenggah Sinewaka". Raja akan duduk di atas Singgasana Emas (Dampar Kencana) untuk bersamadi (mengheningkan cipta) bersama dengan mereka yang menghadap, memohon kesejahteraan keraton, wilayah, dan seluruh rakyat. Hal ini sejalan dengan anggapan bahwa raja di Jawa (secara filosofis) berperan sebagai Dewa Raja yang memimpin ritual untuk memohon keselamatan dan kemakmuran.
Di luar lingkungan keraton, rumah Joglo juga terikat pada kepercayaan tradisional yang ketat:
• Pantangan Perubahan Bentuk: Salah satu kepercayaan yang melekat adalah adanya pantangan untuk mengubah bentuk Joglo menjadi bentuk lain (misalnya Limasan atau Kampung). Kepercayaan ini muncul karena kekhawatiran bahwa mengubah bentuk Joglo dapat mendatangkan musibah (bala) atau kemelaratan bagi penghuninya. Hal ini menunjukkan kuatnya tata nilai dalam arsitektur yang mengikat masyarakat Jawa, di mana rumah, tanah, dan penghuninya dianggap sebagai satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan.
Dengan segala kemegahan, kompleksitas teknis, dan ikatan spiritualnya, Joglo menjadi warisan budaya tak ternilai yang mencerminkan ide vital dan kebijaksanaan leluhur Jawa dalam memandang hubungan antara manusia, arsitektur, dan kosmos.
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1985). Arsitektur tradisional daerah Jawa Tengah (Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Jawa Tengah Tahun Anggaran 1981/1982, Cetak Ulang 1985-1986). Proyek IDKD Jawa Tengah.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1985b). Isi dan kelengkapan rumah tangga tradisional menurut tujuan, fungsi dan kegunaannya daerah Jawa Tengah (Hasil Penelitian Tahun 1982/1983). Proyek IDKD Jawa Tengah.
Ismunandar K., R. (1990). Joglo: Arsitektur rumah tradisional Jawa. Dahara Prize. (Dikutip dalam Ashadi dan/atau sumber IDKD lainnya).