Ki Ageng Pamanahan dan Mataram: Benih Dinasti Baru
Mengisahkan berdirinya Mataram, yang menjadi cikal bakal dinasti-dinasti raja Jawa modern, mengakhiri dominasi dinasti Ken Arok.
![]() |
Ilustrasi Ki Ageng Pamanahan, seorang bangsawan Jawa yang bijaksana dan teguh pendirian, memimpin putranya Sutawijaya dan sekelompok pengikutnya. (Generatif ChatGPT) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Genderang perang seakan tak pernah berhenti ditabuh di tanah Jawa pada pertengahan abad ke-16. Setelah runtuhnya kebesaran Majapahit, panggung kekuasaan silih berganti diduduki oleh kekuatan-kekuatan baru. Kesultanan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa mencapai puncak kejayaannya di bawah Sultan Trenggono, namun bayang-bayang perpecahan mulai tampak. Kematian Sultan Trenggono dalam ekspedisi militer ke Panarukan pada 1546 M memicu krisis suksesi yang berdarah-darah.
Di tengah kekacauan itu, muncullah sosok Jaka Tingkir, menantu Sultan Trenggono. Setelah melalui serangkaian intrik dan pertarungan sengit, ia berhasil naik takhta, memindahkan pusat kekuasaan dari pesisir Demak ke pedalaman dan mendirikan Kesultanan Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya. Namun, takhtanya tak pernah benar-benar tenang. Ancaman terbesar datang dari timur, dari Jipang, di mana Arya Penangsang, kemenakan Sultan Trenggono, merasa lebih berhak atas warisan Demak. Dikenal sebagai sosok yang bengis dan sakti mandraguna dengan kuda andalannya, Gagak Rimang, dan keris pusaka Kyai Setan Kober, Penangsang menjadi momok yang menakutkan bagi Pajang.
Di tengah kegentaran para bangsawan Pajang, Sultan Hadiwijaya menggelar sayembara: barang siapa mampu menumpas Arya Penangsang, akan dihadiahi tanah perdikan di Pati dan Mentaok—sebuah wilayah hutan lebat yang kelak dikenal sebagai Mataram. Inilah babak yang membuka jalan bagi seorang abdi dalem setia, Ki Ageng Pamanahan, untuk menanam benih sebuah dinasti baru yang akan menguasai Jawa selama berabad-abad.
Jasa Ki Ageng Pamanahan kepada Jaka Tingkir
Ketika Sultan Hadiwijaya menantang para punggawanya untuk menghadapi Arya Penangsang, tak ada yang berani angkat bicara. Para adipati dan ksatria Pajang gentar mendengar nama penguasa Jipang itu. Di tengah kesunyian itulah, tiga sosok tampil ke depan: Ki Ageng Pamanahan, Ki Panjawi, dan penasihat spiritual mereka, Ki Juru Martani. Ketiganya adalah keturunan dari tokoh-tokoh terpandang dari Sela dan Tarub, yang telah lama mengabdi pada takhta Demak dan kini Pajang. Pamanahan dan Panjawi bahkan menjabat sebagai pemimpin pasukan elite Tamtama.
Dengan restu Sultan, ketiganya menyusun siasat. Mengetahui sifat Arya Penangsang yang temperamental, Ki Juru Martani merancang sebuah jebakan psikologis. Sepucuk surat tantangan yang provokatif ditulis dan dikirimkan ke Jipang melalui seorang tukang rumput. Surat itu berhasil memancing amarah Penangsang. Tanpa berpikir panjang, ia memacu kuda andalannya, Gagak Rimang, untuk menyeberangi Bengawan Sore seorang diri, menantang seluruh pasukan Pajang.
Pertarungan sengit pun tak terhindarkan. Di tepi Bengawan Sore, Arya Penangsang yang gagah perkasa seorang diri menghadapi keroyokan pasukan Sela dan Tamtama. Namun, puncak pertarungan terjadi saat ia berhadapan dengan putra Ki Ageng Pamanahan, Danang Sutawijaya—yang kelak bergelar Panembahan Senopati. Sutawijaya, yang kala itu masih remaja, menunggangi seekor kuda betina untuk memancing birahi Gagak Rimang, kuda jantan milik Penangsang. Siasat itu berhasil. Kuda Penangsang menjadi liar tak terkendali, memberikan kesempatan bagi Sutawijaya untuk menusukkan tombak Kyai Pleret ke lambung lawannya.
Meski ususnya terburai, kesaktian Arya Penangsang membuatnya tak langsung tewas. Ia menyampirkan ususnya pada warangka (sarung) keris Kyai Setan Kober yang terselip di pinggangnya dan terus melanjutkan pertarungan. Namun, dalam amarah yang memuncak, ia mencabut kerisnya. Sebuah kesalahan fatal. Keris itu memotong usus yang disampirkannya, dan seketika itu juga tamatlah riwayat penguasa Jipang yang ditakuti itu.
Kemenangan ini menjadi jasa terbesar Ki Ageng Pamanahan dan sekutunya bagi Sultan Hadiwijaya. Namun, atas nasihat Ki Juru Martani, mereka bersepakat untuk melaporkan kepada Sultan bahwa yang menewaskan Penangsang adalah Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi. Ini adalah langkah politik cerdik untuk memastikan hadiah sayembara jatuh ke tangan para senior yang telah berjuang, bukan kepada Sutawijaya yang masih sangat muda.
Hadiah Tanah Perdikan Mataram di Pedalaman
Sesuai janjinya, Sultan Hadiwijaya menyerahkan Kadipaten Pati kepada Ki Panjawi. Namun, untuk hadiah bagi Ki Ageng Pamanahan, yakni Tanah Mentaok atau Mataram, Sultan tampak ragu. Menurut Serat Babad Demak, Sultan menunda penyerahan dengan alasan bahwa Mataram masih berupa hutan belantara yang angker dan kosong (desa sonya magih wana). Keraguan ini menimbulkan kekecewaan di hati Pamanahan.
Di tengah kebimbangan politik inilah, Sunan Kalijaga turun tangan. Sebagai penasihat spiritual para raja Jawa dan guru bagi Sultan Hadiwijaya, sang wali mengingatkan Sultan akan sumpahnya. "Seorang raja tidak boleh mengingkari janjinya," demikian nasihatnya, "sebab itu akan merusak kewibawaan dan ketenteraman negara". Nasihat sang wali akhirnya meluluhkan hati Sultan Hadiwijaya. Tanah Mataram pun diserahkan kepada Ki Ageng Pamanahan sebagai tanah perdikan, sebuah wilayah otonom yang bebas dari pajak.
Sumber-sumber sejarah melukiskan Mataram pada masa itu sebagai wilayah yang terlupakan. Wilayah di antara Gunung Merapi dan Pegunungan Sewu itu adalah hutan lebat yang jarang dihuni. Berbeda dengan Pati yang sudah menjadi kota ramai, Mataram adalah sebuah tantangan. Ki Ageng Pamanahan, yang kini bergelar Ki Ageng Mataram, bersama putranya Danang Sutawijaya dan para pengikut setianya, memulai pekerjaan berat "mbabad alas" atau membuka hutan. Mereka mendirikan sebuah perkampungan baru yang kelak menjadi pusat kekuasaan, Kotagede. Dengan jerih payah, benih sebuah kerajaan baru mulai ditanam di jantung tanah Jawa.
Munculnya Panembahan Senopati, Pendiri Mataram
Ki Ageng Pamanahan tidak sempat menikmati hasil jerih payahnya dalam waktu lama. Ia wafat sekitar tahun 1584 M, setelah meletakkan fondasi awal Mataram. Takhta Mataram kemudian diwariskan kepada putranya, Danang Sutawijaya. Sultan Hadiwijaya di Pajang mengukuhkan suksesi ini dan menganugerahkan gelar baru kepada Sutawijaya: Senapati ing Alaga, yang berarti "Panglima di Medan Perang".
Namun, Senapati bukanlah tipe bawahan yang setia. Ia adalah seorang visioner yang ambisius, yang merasa ditakdirkan untuk menguasai seluruh Jawa. Secara perlahan tapi pasti, ia mulai menunjukkan tanda-tanda pembangkangan. Ia memperkuat benteng Kotagede dan berhenti menghadap (seba) ke Pajang, sebuah pelanggaran berat terhadap tata krama vasal. Tindakan ini memancing kemarahan Sultan Hadiwijaya, yang akhirnya mengirim pasukan besar untuk menghukum Mataram.
Akan tetapi, takdir berpihak pada Senapati. Saat pasukan Pajang mendekati Prambanan, Gunung Merapi meletus, menebarkan abu dan kepanikan. Peristiwa alam ini ditafsirkan sebagai pertanda gaib bahwa wahyu keprabon telah berpindah dari Pajang ke Mataram. Pasukan Pajang mundur dalam kekacauan. Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dalam perjalanan pulang dan tak lama kemudian wafat pada tahun 1587 M.
Kematian Sultan Hadiwijaya membuka gerbang bagi Senapati untuk mendeklarasikan kemerdekaan Mataram. Setelah melalui periode singkat perebutan kekuasaan di Pajang yang melibatkan Adipati Demak, Aria Pangiri, Senapati akhirnya tampil sebagai penguasa terkuat di Jawa Tengah. Ia kemudian mengambil gelar Panembahan dan diakui sebagai raja merdeka pertama dari dinasti Mataram. Untuk melegitimasi kekuasaannya, berbagai mitos dijalin, termasuk pertemuannya dengan penguasa Laut Selatan, Kanjeng Ratu Kidul, yang berjanji akan membantu dinastinya selamanya.
Dari sebuah hadiah atas jasa menumpas pemberontak, Ki Ageng Pamanahan berhasil menanam benih kekuasaan baru. Benih itu kemudian tumbuh menjadi pohon raksasa di tangan putranya, Panembahan Senapati, yang mendirikan Kesultanan Mataram Islam. Sebuah dinasti yang tidak hanya akan mengakhiri sisa-sisa pengaruh Majapahit tetapi juga akan mendominasi panggung sejarah Jawa selama lebih dari dua abad berikutnya.
Daftar Pustaka
Andrisijanti, I. (Ed.). (2014). Majapahit: Batas kota dan jejak kejayaan di luar kota. Kepel Press.
Arimurti, K., Amanah, S., & Sadewa, T. C. (2023). Alih aksara serat babad Demak. Perpusnas Press.
de Graaf, H. J. (1985). Awal kebangkitan Mataram: Masa pemerintahan Senapati. Grafiti Pers.
de Graaf, H. J., & Pigeaud, T. G. T. (1985). Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Grafiti Pers.
Meinsma, J. J. (Ed.). (n.d.). Babad Tanah Djawi.
Muljana, S. (2005). Menuju puncak kemegahan: Sejarah kerajaan Majapahit. LKiS.
Pigeaud, T. G. T. (1960). Java in the 14th century: A study in cultural history - The Nāgarakrĕtāgama by Rakawi Prapañca of Majapahit, 1365 A.D (Vol. 1-5). Martinus Nijhoff.
Sastradiwirya, K. (1988). Babad Majapahit dan para wali. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Sastronaryatmo, M. (2011). Babad Jaka Tingkir (Babad Pajang). Perpustakaan Nasional, Balai Pustaka.
Posting Komentar