Kontroversi Dadung Awuk: Kisah Jaka Tingkir Diusir dari Demak Bintoro
Mengupas insiden di mana Jaka Tingkir (Mas Karebet) dipecat dari Demak. Telaah sanksi 'diyat limang atus' dan kejatuhan Sang Pĕkik.
![]() |
Ilustrasi Jaka Tingkir meninggalkan gerbang Keraton Demak. (Generatif Gemini) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Sejarah awal Jaka Tingkir (Mas Karebet), sebelum ia menjadi Sultan Hadiwijaya pendiri Pajang, ditandai oleh keturunan bangsawan yang kompleks dari Pengging dan ketaatan spiritual yang mendalam. Namun, perjalanan karirnya di Kesultanan Demak Bintoro, tempat ia seharusnya menemukan kejayaan, justru dimulai dengan kejatuhan yang dramatis—sebuah insiden yang sering disebut dalam kronik Jawa sebagai Kontroversi Dadung Awuk.
Peristiwa ini menjadi titik balik penting. Ia menunjukkan betapa tipisnya batas antara kemuliaan seorang pemuda perkasa dan aib seorang yang terusir. Sumber-sumber naratif seperti Serat Babad Demak dan kisah tutur lainnya mencatat insiden ini sebagai kasus kekerasan, yang mengharuskan Sultan Trenggana turun tangan untuk menjaga stabilitas politik keraton. Untuk memahami kebangkitan Jaka Tingkir, kita harus menyelami dulu mengapa ia diusir dari Demak dan membayar harga yang mahal untuk sebuah kesalahan.
Tugas Mulia Sang Anak Angkat
Setelah dibesarkan oleh Nyi Ageng Tingkir, Mas Karebet—yang kini dikenal sebagai Jaka Tingkir—dianjurkan oleh gurunya, Ki Ageng Selo, untuk mengabdi ke Demak. Tujuan pengabdian ini jelas: mencari takdir yang lebih besar dari sekadar anak yatim piatu yang dibesarkan di desa. Jaka Tingkir diterima di Demak dan memulai karier sebagai seorang prajurit atau mantri yang cakap.
Ia digambarkan sebagai sosok yang amat tampan (langkung pĕkik), memiliki fisik yang ideal, dan berkulit halus, yang menunjukkan kualitas seorang calon pemimpin. Kecakapannya ini membawanya pada posisi strategis, yang dalam cerita sering disebut sebagai Lurah Tamtama (pemimpin prajurit khusus).
Namun, posisinya ini rawan konflik, mengingat Demak saat itu tengah mengalami transisi kekuasaan dan intrik politik, di mana tokoh-tokoh kuat seperti Pangeran Sabrang Lor dan Sultan Trenggana saling berganti tampuk. Insiden yang menimpa Jaka Tingkir kemudian meledak di tengah panggung politik yang rapuh ini.
Insiden yang Menghancurkan: Kematian dan Tebusan Sultan
Meskipun sejumlah sumber tidak secara spesifik menyebut nama "Dadung Awuk", detail mengenai insiden yang menyebabkan kejatuhan Jaka Tingkir di Demak terekam jelas dalam alur narasi yang menyebabkan ia menerima hukuman dari Sultan.
Jaka Tingkir, yang disebut sebagai prawiranom (pemuda pemberani) atau sang pĕkik (si tampan), terlibat dalam sebuah peristiwa yang mengakibatkan kematian—kemungkinan besar lawan tandingnya atau seseorang yang menantangnya.
Sultan Demak (Nrapati) kemudian mengambil keputusan. Ia memanggil patih sambil membawa kanthong (kantong/pundi-pundi), memerintahkan agar diyat (tebusan darah) dibayarkan.
“Prapta malih timbalan Nrapati/ sarwi bakta kanthong/ lah ki patih punika diyate/ bok sanake ingkang mati prapti/ timbalaning Aji/ diyat limang atus//”.
(Datang lagi titah Raja/ sambil membawa kantong/ wahai patih, ini tebusan darahnya/ untuk keluarga yang mati/ titah Raja/ tebusan lima ratus).
Keputusan Sultan untuk membayar diyat senilai "limang atus" (lima ratus) ini menegaskan dua hal: Pertama, bahwa korban memang tewas, dan Kedua, bahwa meskipun Jaka Tingkir bersalah, Sultan masih mengakui status Jaka Tingkir (atau menjaga kepentingan politiknya) dengan menanggung tebusan, alih-alih menyerahkannya sepenuhnya pada hukum adat.
Hilangnya Kehormatan: Sang Pĕkik Tanpa Daya
Meskipun nyawanya terselamatkan, insiden ini menghancurkan kehormatan Jaka Tingkir di keraton Demak, berujung pada pengusiran.
Naskah mencatat momen tragis setelah pembayaran diyat tersebut. Jaka Tingkir, yang tadinya gagah, pergi dari paseban (tempat pertemuan) seorang diri, tanpa ada yang mengiringi.
“Tanpa bayu wau ta sang pĕkik/ sumaput kang panon/ kadya kna sinampir-(h.115)-kĕn slirane/ kang tumingal tan bisa ningali/ langkung kawlas asih/ sakeh kang andulu//”.
(Tanpa tenaga pemuda tampan itu/ pandangannya kabur/ seolah-olah ditimpakan pada raganya/ yang melihat tak bisa melihat/ sangatlah kasihan/ semua yang menyaksikan).
Ia digambarkan "tanpa bayu" (tanpa daya, kehilangan semangat), matanya berkunang-kunang (sumaput kang panon), dan semua yang melihatnya meneteskan air mata (reweyan luh) karena kasihan. Pakaiannya tergantung lemas di bahunya (kampuhira sarwi/ rumĕbeng ing bau).
Dipermalukan, Jaka Tingkir meninggalkan keraton dan pergi ke hutan di pinggir sungai (wanardi dan pinggir kali). Kejatuhan ini menandai dimulainya babak baru yang penuh penderitaan dan pencarian spiritual, jauh dari kemegahan Demak, yang kelak membawanya pada guru-guru spiritual dan kesaktian yang akan membawanya kembali ke tampuk kekuasaan.
Daftar Pustaka
Akasah, H. (n.d.). Arya Penangsang: Perebutan Tahta Kesultanan Demak.
Graaf, H. J. de. (n.d.). Awal Kebangkitan Mataram Masa Pemerintahan Senapati.
Graaf, H. J. de, & Pigeaud, Th. G. Th. (1985). Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram.
Moelyono Sastronaryatmo. (2011). Babad Jaka Tingkir (Babad Pajang).
Muljana, S. (2005). Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan Majapahit).
Pararaton. (n.d.).
Serat Babad Demak (Alih Aksara). (2023). Krisna Arimurti, Siti Amanah, Tio Cahya Sadewa.
Tim Penyusun. (2001). Legenda Ki Ageng Banyubiru dan Joko Tingkir: Ds. Jatingarang.