Masjid Agung Demak: Jantung Peradaban Islam dan Simbol Kekuasaan Kesultanan Demak

Daftar Isi

Jelajahi sejarah dan makna Masjid Agung Demak, dari arsitektur filosofis hingga perannya sebagai pusat politik, agama, dan budaya di era Wali Songo.

BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Di jantung kota Bintara yang baru lahir, berdiri sebuah bangunan yang lebih dari sekadar rumah ibadah. Masjid Agung Demak adalah monumen hidup, sebuah manifesto arsitektural yang menandai pergeseran kekuasaan besar di Tanah Jawa. Ia bukan sekadar tempat para wali bersujud, melainkan juga ruang sidang, pusat komando spiritual, dan teater di mana drama peralihan dari era Hindu-Buddha ke Islam dipertontonkan. Setiap sudutnya menyimpan cerita; dari tiang-tiangnya yang menopang atap tumpang tiga hingga serambinya yang terbuat dari rampasan perang, masjid ini adalah jantung yang memompa darah peradaban baru ke seluruh Nusantara.

Kisah yang terpatri dalam babad dan legenda rakyat melukiskan masjid ini sebagai episentrum tempat para wali bertukar pikiran tentang mistik sekaligus merancang strategi perang. Di sinilah legitimasi spiritual ditempa, pusaka-pusaka gaib disingkap, dan takdir sebuah imperium baru ditentukan.

Arsitektur Simbolik: Dari Reruntuhan Majapahit hingga Filosofi Bulus

Salah satu penanda paling kuat dari peralihan kekuasaan adalah keberadaan serambi Masjid Agung Demak. Menurut Serat Babad Demak, bangunan pendapa agung (paseban) dan balai penghadapan (pajeksan) dari Kerajaan Majapahit yang telah takluk diboyong ke Demak untuk dijadikan serambi masjid. Tindakan ini bukan sekadar pemanfaatan material, melainkan sebuah proklamasi simbolik yang tegas: pusat wibawa lama kini telah menjadi pelataran bagi pusat kekuasaan baru yang berlandaskan Islam.

Pembangunan masjid itu sendiri sarat dengan makna filosofis yang diabadikan dalam penanggalan. Menurut tradisi, pendiriannya ditandai dengan sengkalan "Lawang Trus Gunaning Jalma", yang bermakna tahun 1401 Saka atau sekitar 1479 Masehi. Namun, ada pula sengkalan memet (kronogram visual) yang lebih terkenal, yakni relief seekor bulus (kura-kura) yang terukir di dinding mihrab (pengimaman). Lambang bulus ini merepresentasikan tahun 1401 Saka melalui interpretasi bagian-bagian tubuhnya. Lebih dari sekadar angka, lambang ini juga mengandung filosofi "Yen mlebu kudu alus" (Jika masuk harus dengan kelembutan), sebuah pengingat akan adab dan kesucian hati saat memasuki rumah Tuhan.

Pintu Bledeg dan Pusaka Antakusuma: Kekuatan Gaib di Jantung Demak

Selain arsitekturnya, Masjid Agung Demak juga menjadi tempat disimpannya pusaka-pusaka legendaris yang menunjukkan kekuatan spiritual para wali. Yang paling masyhur adalah Pintu Bledeg (Pintu Petir), sebuah mahakarya Ki Ageng Selo. Konon, pintu ini dibuat dari petir yang berhasil ditangkap oleh sang empu, menjadikannya bukan sekadar daun pintu, melainkan sebuah jimat penolak bala bagi kesultanan.

Di dalam masjid ini pula, di tengah-tengah musyawarah para wali, sebuah pusaka agung turun dari langit. Pusaka itu adalah Kutang Antakusuma, yang diyakini sebagai jubah (glangsaran) Nabi Muhammad SAW yang terbuat dari kulit domba (walulange wedhus). Dalam Serat Babad Demak dan Babad Majapahit dan Para Wali, pusaka ini digambarkan sebagai warisan yang hanya boleh dikenakan oleh raja yang menguasai Tanah Jawa (kang mangku rat tanah Jawa). Baju zirah spiritual ini bukan sekadar relik suci. Ia menjadi saksi bisu palagan perang, seperti saat kembali ke Demak berlumuran darah setelah Sunan Ngudung, panglima perang Demak, gugur di medan laga melawan Majapahit. Dari masjid ini pula kekuatan-kekuatan magis lain dikerahkan dalam perang, seperti badhong (jimat) dari Cirebon yang melepaskan ribuan tikus ke barisan musuh dan sebuah peti wasiat dari Palembang yang mengeluarkan badai dahsyat.

Pusat Musyawarah Wali: Ruang Sidang Politik dan Spiritual

Lebih dari segalanya, Masjid Agung Demak berfungsi sebagai pusat musyawarah (musawaratan) para wali. Di sinilah Wali Songo berkumpul untuk membahas segala urusan, mulai dari masalah teologi dan mistik Islam hingga merumuskan strategi politik dan dakwah. Mereka adalah dewan penasihat agung bagi sultan, dan masjid ini adalah ruang sidang mereka.

Berbagai perdebatan penting tercatat terjadi di sini. Salah satunya adalah perselisihan pendapat (pradondi) mengenai arah kiblat yang belum tepat. Di tengah kebuntuan inilah, Sunan Kalijaga menunjukkan karamahnya dengan "meluruskan" arah kiblat secara gaib, sebuah peristiwa yang disaksikan dengan takjub oleh para wali lainnya. Pertemuan di masjid ini jugalah yang menjadi titik awal perencanaan serangan besar-besaran terhadap Majapahit. Para wali bermusyawarah (paguneman) untuk menyusun strategi perang, membagi tugas (bobohan), dan memobilisasi laskar "para santri" dari berbagai penjuru. Dengan demikian, masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai pusat ibadah, tetapi juga sebagai pusat komando militer dan politik yang menentukan lahirnya kekuasaan Islam pertama di Jawa.

Daftar Pustaka

Arimurti, K., Amanah, S., & Sadewa, T. C. (2023). Alih Aksara Serat Babad Demak. Perpusnas PRESS.

de Graaf, H. J., & Pigeaud, Th. G. Th. (1985). Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Grafiti Pers.

Kasri, M. K., & Semedi, P. (2008). Sejarah Demak: Matahari Terbit di Glagah Wangi. Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Demak.

Sastradiwirya (Alih Aksara). (1988). Babad Majapahit dan Para Wali 1. Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

babad.id | Stori Loka Jawa
babad.id | Stori Loka Jawa babad.id | Stori Loka Jawa merupakan media online berbasis multimedia dengan konten utama seputar seni, budaya dan sejarah Jawa. Babad.id juga membuka ruang opini kepada penulis lepas.