Perebutan Simbolisme: Penyerangan Demak ke Peninggalan Majapahit

Table of Contents

Demak berupaya mengambil alih simbol-simbol kekuasaan Majapahit untuk melegitimasi posisinya sebagai penguasa baru di Jawa.

Ilustrasi serangan pasukan Islam dari Demak ke jantung kekuasaan Majapahit. (Generatif ChatGPT)
Ilustrasi serangan pasukan Islam dari Demak ke jantung kekuasaan Majapahit. (Generatif ChatGPT)

BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Angin prahara menderu di atas tanah Majapahit. Bukan sekadar badai biasa, melainkan angin lesus bercampur limunan petang yang keluar dari sebuah peti pusaka dari Palembang. Di tengah kekacauan itu, ribuan tawon beterbangan, membuat barisan prajurit Majapahit kocar-kacir. Di tengah hiruk pikuk supranatural itu, Prabu Brawijaya, penguasa terakhir wangsa besar itu, bersama para pengikutnya, sirna—musna—dari panggung sejarah, seolah ditelan bumi.

Peristiwa yang tercatat dalam Serat Babad Demak itu menandai puncak serangan pasukan Islam dari Demak ke jantung kekuasaan Majapahit. Namun, penyerangan ini lebih dari sekadar perebutan wilayah. Ini adalah sebuah drama perebutan simbolisme, sebuah upaya terencana untuk memindahkan wahyu dan legitimasi dari pusat peradaban Hindu-Buddha yang tengah meredup ke Kesultanan Islam yang sedang bangkit di pesisir utara Jawa.

Motif Penyerangan Demak terhadap Wilayah Majapahit

Secara tradisional, jatuhnya Majapahit seringkali ditandai dengan candrasengkala sirna ilang kertaning bumi, yang menunjuk tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi. Namun, para sejarawan modern, seperti De Graaf dan Pigeaud, berpendapat bahwa keruntuhan ibu kota Majapahit kemungkinan besar terjadi sekitar tahun 1527 M. Proses ini bukanlah keruntuhan mendadak, melainkan sebuah peralihan kekuasaan yang kompleks dan bertahap dari kerajaan agraris pedalaman ke kerajaan-kerajaan maritim Islam di pesisir.

Motif penyerangan Demak sendiri bersifat ganda: politis dan religius. Dari sudut pandang silsilah yang termaktub dalam babad, Raden Patah, pendiri Demak, adalah putra dari Prabu Brawijaya V dari Majapahit dengan seorang putri dari Cina. Ini memberinya klaim legitimasi sebagai penerus takhta. Awalnya, ketika Brawijaya mendengar berdirinya pemukiman baru di Demak, ia berniat menyerangnya. Namun, setelah bertemu dan mengenali putranya sendiri, ia justru merestui dan mengangkat Raden Patah sebagai adipati di Demak Bintara.

Meskipun memiliki hubungan darah, semangat keagamaan menjadi pendorong utama konflik. Raden Patah, di bawah bimbingan para wali, memandang Majapahit sebagai "kerajaan kafir" (ratu kupar) yang harus ditaklukkan. Awalnya, Sunan Ampel, guru Raden Patah, melarang serangan tersebut karena Brawijaya dianggapnya toleran terhadap perkembangan Islam. Akan tetapi, seiring menguatnya kekuatan politik dan militer Demak, ambisi untuk menjadi pusat kekuasaan baru di Jawa tidak dapat dibendung. Penyerangan pun menjadi tak terelakkan, sebuah perang suci yang sekaligus merupakan manuver politik untuk menegaskan hegemoni.

Pengambilalihan Artefak dan Simbol Kekuasaan

Penaklukan Majapahit oleh Demak bukanlah sekadar penghancuran, melainkan sebuah transformasi simbolis. Pasukan Demak, setelah berhasil menaklukkan ibu kota, tidak membumihanguskan peninggalan Majapahit. Sebaliknya, mereka secara sistematis memindahkan simbol-simbol kekuasaan untuk dilebur ke dalam identitas baru mereka.

Langkah paling monumental adalah pembongkaran bangunan-bangunan vital dari keraton Majapahit. Menurut Serat Babad Demak, paseban (balai audiensi) dan pajeksan (kemungkinan balai peradilan) diboyong seluruhnya dari Majapahit ke Demak. Dua pilar utama kekuasaan sekuler Majapahit—tempat raja bertitah dan hukum ditegakkan—kemudian dialihfungsikan menjadi surambi atau beranda Masjid Agung Demak. Tindakan ini sarat akan makna: fondasi kekuasaan duniawi Majapahit kini menjadi sekadar pelataran bagi pusat kekuasaan religius Demak.

Selain elemen arsitektural, benda-benda pusaka juga turut diambil alih. Sebuah bendhe (gong pusaka) bernama Ki Macan diangkut dari keraton Majapahit dan kemudian menjadi milik Sunan Kudus, salah seorang panglima perang Demak. Pengambilalihan pusaka ini menandakan berpindahnya kekuatan spiritual dan magis yang melekat pada benda-benda tersebut.

Bahkan dalam pertarungan itu sendiri, Demak menunjukkan superioritas kekuatan gaibnya. Para wali tidak hanya mengandalkan kekuatan prajurit, tetapi juga pusaka seperti keris Ki Kalamunyeng yang konon mampu menciptakan hutan secara gaib, dan sebuah peti wasiat dari Arya Damar di Palembang yang melepaskan badai dahsyat beserta ribuan tawon yang memorak-porandakan pasukan Majapahit. Demonstrasi kekuatan supranatural ini penting untuk membuktikan bahwa wahyu kerajaan telah berpindah ke pihak Islam.

Legitimasi Kekuasaan Demak sebagai Penerus Jawa

Dengan menaklukkan Majapahit dan mengambil alih simbol-simbolnya, Demak tidak memposisikan diri sebagai kekuatan baru yang asing, melainkan sebagai penerus yang sah dari tradisi kekuasaan di Jawa. Legitimasi ini dibangun di atas tiga pilar utama:

1. Garis Keturunan: Dengan mengklaim Raden Patah sebagai putra Brawijaya, penyerangan tersebut bukan dilihat sebagai pemberontakan, melainkan sebagai koreksi seorang anak terhadap ayahnya yang dianggap telah menyimpang dari jalan yang benar. Ini adalah narasi suksesi, bukan invasi.

2. Kontinuitas Simbolis: Pemindahan fisik bagian-bagian keraton Majapahit ke Demak adalah cara Demak untuk "menyerap" aura dan legitimasi Majapahit. Peradaban Majapahit tidak dihancurkan, melainkan diislamkan. Ini sejalan dengan cara pandang masyarakat Jawa yang melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang mengalir dan berpindah, bukan diciptakan dari nol.

3. Supremasi Agama Baru: Dengan menjadikan pilar-pilar kekuasaan Majapahit sebagai bagian dari Masjid Agung Demak, para wali secara tegas menyatakan bahwa Islam adalah fondasi baru bagi tatanan masyarakat Jawa, menggantikan tatanan lama yang berlandaskan Hindu-Buddha. Pembangunan Masjid Demak itu sendiri, dengan tiang utama (saka guru) yang disumbang oleh para wali terkemuka, termasuk saka tatal (tiang dari serpihan kayu) karya Sunan Kalijaga, melambangkan persatuan dan kekuatan kolektif dari para penyebar Islam sebagai fondasi baru peradaban Jawa.

Pada akhirnya, penyerangan Demak ke Majapahit adalah sebuah perebutan takhta yang dilakukan dengan strategi kebudayaan yang canggih. Demak tidak hanya merebut wilayah, tetapi juga merebut narasi sejarah, memastikan bahwa merekalah yang akan tercatat sebagai kelanjutan sah dari garis para penguasa tanah Jawa.

Daftar Pustaka

Arimurti, K., Amanah, S., & Sadewa, T. C. (2023). Alih Aksara Serat Babad Demak. Perpusnas PRESS.

De Graaf, H. J., & Pigeaud, T. G. T. (1985). Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Grafiti Pers.

Andrisijanti, I. (Ed.). (2014). Majapahit: Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota. Kepel Press.

Pigeaud, T. G. T. (1960). Java in the 14th Century: A Study in Cultural History. Martinus Nijhoff.

Sastradiwirya. (1988). Babad Majapahit dan Para Wali 1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

babad.id | Stori Loka Jawa
babad.id | Stori Loka Jawa babad.id | Stori Loka Jawa merupakan media online berbasis multimedia dengan konten utama seputar seni, budaya dan sejarah Jawa. Babad.id juga membuka ruang opini kepada penulis lepas.

Posting Komentar