Ragam Hias Tradisional Jawa: Simbolisme dari Prasejarah hingga Modern
Mengenal motif tradisional arsitektur Jawa seperti ikal/pilin, kawung, dan tumpal yang mengandung nilai spiritual. Simbol naga dan pohon hayat penting untuk melambangkan kemakmuran dan kesucian.
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Arsitektur tradisional Jawa Tengah adalah medium tempat berbagai wujud kebudayaan diekspresikan, mulai dari gagasan, tata laku, hingga benda-benda budaya (Koentjaraningrat, 2000, p. 5–8; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 31). Ragam hias atau ornamen yang melekat pada struktur bangunan—baik pada Joglo, Limasan, maupun masjid—bukanlah sekadar dekorasi, melainkan cerminan dari alam pikiran, filsafat, dan adat kehidupan masyarakat Jawa sejak masa prasejarah (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 174).
Untuk memahami makna motif-motif ini, seseorang harus menyelami alam pikir masyarakat pada masa motif itu diciptakan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 174). Banyak ragam hias yang muncul pada masa prasejarah ternyata tetap kekal dan hidup hingga masa kini (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 174).
Motif Geometris: Pilin dan Tumpal
Ragam hias geometris merupakan salah satu motif paling kuno yang terus bertahan dan berkembang dalam arsitektur Jawa:
1. Motif Tumpal (Untu Walang): Ragam hias berbentuk segitiga dikenal dengan sebutan "untu walang" (gigi belalang) atau motif tumpal (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 175). Motif ini sangat kuno dan tetap hidup di seluruh wilayah Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 175). Tumpal diyakini menggambarkan tunas bambu (rehung), yang memiliki daya tumbuh yang luar biasa cepat (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 175). Karena sifat pertumbuhannya yang pesat, motif tumpal dianggap sebagai lambang kesuburan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 175). Motif tumpal digunakan sebagai hiasan pada bagian pinggir atau tepi bidang (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 180), misalnya pada kapitil tiang peringgitan di Pura Mangkunegaran (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 183, 184).
2. Motif Ikal/Pilin (Sulur Gelung): Motif sulur-sulur gelung (atau pilin/ikal) adalah ragam hias yang sangat umum, seringkali dipahat pada tiang-tiang atau lubang angin (ventilasi) rumah tradisional (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 193, 202). Pada Pendapa Kabupaten Banyumas (Pendapa Si Panji), motif sulur-sulur daun yang bergelung memutar ke kiri menghiasi bagian tengah Dada Peksi (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 191). Di Keraton Surakarta, motif sulur-sulur gelung juga ditemukan pada dinding kaki bangunan Bangsal Kemandungan dan di atas kapitil tiang. Bahkan, pada tiang utama (saka tunggal) Masjid Baitussalim Cikakak, motif sulur-sulur gelung mengarah ke atas dihias sepanjang tiang.
Pohon Hayat (Kalpataru) Lambang Kemakmuran
Salah satu motif kosmik terpenting dalam kebudayaan Jawa adalah Pohon Hayat (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 176).
• Nama dan Arti: Motif ini dikenal dengan nama lain kalpataru, kalpawreksa, atau parijata (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 176).
• Simbolisme: Kalpataru melambangkan dunia tertinggi yang meliputi dunia bawah dan atas (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 176). Oleh karena itu, ia dianggap keramat sebagai sumber kekayaan dan kemakmuran (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 176).
• Penerapan: Di candi-candi, Pohon Hayat sering digambarkan serba mewah penuh hiasan permata (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 176). Dalam arsitektur kayu Joglo, ukiran pada Dada Peksi (balok melintang di tengah ruangan) diukir indah dengan motif yang menyerupai gunungan atau pohon hayat (kalpataru) pada ukiran ujungnya. Motif gunungan ini sering diberi warna prada emas, melambangkan keagungan.
Simbolisme Binatang dan Kekuatan Spiritual
Ragam hias yang melibatkan makhluk hidup memiliki makna khusus, seringkali berfungsi sebagai penolak bala atau lambang kekuatan tertentu:
1. Naga (Ular) dan Dewi Sri: Motif naga (ular) dalam arsitektur dikaitkan dengan dunia bawah (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 184). Dalam konteks ruang suci di dalam rumah (Dalem Ageng), motif naga pada bagian depan atap krobongan (tempat suci) di Pura Mangkunegaran diletakkan di dekat tempat pemujaan Dewi Sri (Dewi Padi atau kesuburan) (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 184, 185). Di Pura Mangkunegaran, bentuk naga tersebut dicurigai sebagai pengaruh Cina (mirip naga hiasan Klenteng), bukan naga lazim yang ditemukan pada candi Jawa.
2. Lidah Api (Modhang) dan Kesucian: Motif lidah api atau Modhang menghiasi langit-langit Pendapa Joglo Hageng di Pura Mangkunegaran. Motif ini melambangkan kesucian atau roh (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 179). Selain itu, delapan bintang bersudut delapan yang mengelilingi pusat langit-langit Pendapa tersebut diwarnai dengan delapan warna simbolis, yang salah satunya adalah warna merah (di sekitar nyala api) sebagai penolak rasa amarah (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 180). Motif lidah api juga digunakan pada kapitil tiang Masjid Saka Tunggal di Wangon dan pada langit-langit Dalem Agung.
3. Motif Tubuh Manusia/Topeng: Motif tubuh manusia muncul sejak seni prasejarah (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 177). Motif ini memiliki dua fungsi utama: sebagai penolak bala dan melambangkan nenek moyang (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 177). Motif ini sering disebut motif topeng dan menunjukkan adanya kekuatan magis.
4. Motif Lain: Motif Kawung (mirip rozet) juga merupakan salah satu ragam hias yang umum pada rumah tradisional Jawa (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 202). Di Masjid Saka Tunggal, motif mirip rozet di tengah lingkaran di langit-langit melambangkan matahari atau sinar terang. Sementara itu, pada Masjid Agung Surakarta, di atas pintu-pintu samping Bangsal Sri Manganti terdapat hiasan berupa mahkota dan berjenis perlengkapan senjata.
Ragam hias tradisional ini, mulai dari lambang kesuburan Tumpal hingga simbol kosmik Kalpataru, adalah saksi bisu sejarah yang mencatat pola budaya Jawa, yang terus dipertahankan bahkan melalui adaptasi dengan unsur asing seperti porselin dengan motif salib Yunani dan tanaman pada Masjid Menara Kudus.
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1985). Arsitektur tradisional daerah Jawa Tengah (Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Jawa Tengah Tahun Anggaran 1981/1982, Cetak Ulang 1985-1986). Proyek IDKD Jawa Tengah.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1985b). Isi dan kelengkapan rumah tangga tradisional menurut tujuan, fungsi dan kegunaannya daerah Jawa Tengah (Hasil Penelitian Tahun 1982/1983). Proyek IDKD Jawa Tengah.
Ismunandar K., R. (1990). Joglo: Arsitektur rumah tradisional Jawa. Dahara Prize. (Dikutip dalam konteks arsitektur Joglo dan Limasan).
Koentjaraningrat. (1996). Pengantar antropologi jilid I. (Dikutip dalam Ashadi).
Koentjaraningrat. (2000). Kebudayaan mentalitas dan pembangunan. (Dikutip dalam Ashadi).