Ritual Munjuk (Mendirikan Saka Guru): Menanam Filosofi Hidup di Tiang Utama
Prosesi mendirikan saka guru dipimpin pemilik rumah, berpakaian seperti pengantin. Sesaji yang diikat di ujung saka guru mengandung harapan filosofis agar penghuni mantep ing kalbu dan mendapatkan kemakmuran.
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Setelah melalui malam penuh doa dan tirakatan—jaga semalam suntuk memohon keselamatan—dan dilanjutkan dengan upacara selamatan atau kenduri yang dipimpin oleh seorang modin (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 227–228), masyarakat tradisional Jawa memasuki tahap paling krusial dalam pembangunan rumah: Upacara Munjuk (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 232).
Munjuk, yang berarti mengangkat sesuatu ke atas, adalah ritual pendirian saka guru (tiang pusat atau tiang utama) (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 218). Saka guru adalah bagian terpenting dari bangunan rumah, yang memegang faktor kunci dalam konstruksi (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 218, 232). Seluruh tata cara tradisional ini memastikan bahwa pembangunan rumah, yang merupakan kebutuhan pokok hidup (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 64), berjalan lancar, aman, dan membawa keberkahan.
Peran Suami Istri dalam Munjuk: Simbolis Pernikahan dan Kekuatan
Prosesi Munjuk dimulai pada pagi hari. Untuk menandai kesakralan momen ini, yang empunya rumah, yakni suami dan istri, harus berpakaian secara lengkap, seringkali menyerupai pengantin yang akan menjalani acara "temu" (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 233). Keterlibatan langsung suami istri sebagai pemimpin upacara ini menunjukkan pentingnya peran mereka dalam menciptakan fondasi spiritual rumah tangga baru.
Teknis pelaksanaannya sering dilakukan secara simbolis (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 233):
1. Inisiasi: Suami istri adalah yang pertama kali memegangi saka guru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 233).
2. Eksekusi: Setelah inisiasi simbolis, para tukang kayu (blandong) dan sanak saudara yang dianggap tua kemudian membantu mengangkat tiang tersebut sampai posisinya tegak lurus di tempat yang sudah ditentukan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 233).
Setelah keempat saka guru berdiri, barulah proses pengerjaan selanjutnya diserahkan kepada para tukang (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 233).
Sesaji yang Diikat di Saka Guru: Menjamin Kekuatan dan Rejeki
Sebelum saka guru didirikan atau pada saat tiang utama tersebut berdiri, sesaji yang sudah disiapkan harus diikat pada ujung saka guru dan pengeret (balok melintang) (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 234). Tujuan dari pengikatan sesaji ini adalah untuk menanamkan harapan filosofis yang bersifat rohani kepada bangunan yang baru didirikan.
Di samping sesaji yang diikat di tiang, sesaji lain juga dipersiapkan:
• Penyimpanan Rejeki: Empat buah empluk (wadah) berisi beras diletakkan di setiap sudut rumah, dan satu buah empluk diletakkan di tengah-tengah antara keempat saka guru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 233). Sesaji ini mengandung harapan agar rejeki senantiasa datang pada keluarga (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 231).
• Penolak Bala Kayu: Letrek (jenang yang dibuat pipih) berjumlah delapan buah diikatkan pada ujung keempat saka guru di dekat sambungan catokan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 234). Letrek berfungsi sebagai penolak bala terhadap kayu-kayu yang kurang baik yang mungkin digunakan dalam konstruksi (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 234).
Makna Filosofis Setiap Sesaji: Mantap di Kalbu, Berlebihan Rejeki
Benda-benda yang diikatkan pada saka guru bukanlah benda biasa. Masing-masing memuat simbolisme dan doa yang mendalam, mencerminkan nilai-nilai etika dan pengharapan masyarakat Jawa (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 234–236):
|
Sesaji |
Makna Filosofis
(Harapan) |
|
Tebu |
Harapan agar penghuni
rumah nantinya "mantep ing kalbu" (berhati mantap) dalam
kehidupannya (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 234). |
|
Cengkir Gading |
Harapan agar
penghuninya "kenceng ing pikir" (pikirannya teguh), tidak
mudah berubah pendirian (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 235). |
|
Pisang Raja |
Satu tundun pisang
raja lengkap dengan batangnya melambangkan harapan agar penghuninya
senantiasa memperoleh kelebihan-kelebihan dalam hidupnya seperti seorang
raja (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 235). |
|
Padi dan Gula Kelapa |
Diikat
sebagai penolak bala terhadap tikus-tikus perusak (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 234). |
|
Daun Dadap Srep |
Memberi pelajaran
bahwa segala sesuatu harus dihadapi dengan "asrep ing manah"
(hati yang dingin atau sabar) (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p.
236). |
|
Daun Lo |
Mengingatkan
kepada penghuni agar tidak berbuat salah lagi (mirip ucapan:
"Lho, jangan begitu!") (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985,
p. 235–236). |
|
Daun Kara |
Melambangkan harapan
agar tidak sampai terjadi apa-apa yang buruk (kara-kara =
apa-apa) (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 236). |
|
Daun Kluwih |
Daun-daunan
lain (seperti daun lo, dadap srep, dan kara) dibungkus
dengan daun kluwih. Kluwih melambangkan harapan akan datangnya
situasi "luwihan, keluberan, berlebihan" (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 236). |
Seluruh ritual ini merupakan bagian integral dari sistem kepercayaan Jawa Kuno, di mana orang Jawa percaya bahwa lima unsur yang menyertai kelahiran seseorang (saudara tua, air kawah, ari-ari, darah, dan tali pusat) secara rohani tetap merupakan satu kesatuan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 237). Melalui ritual munjuk dan sesaji, penghuni rumah berharap bahwa alam rohani dan alam kebendaan akan bekerja sama untuk menjamin keselamatan dan kemakmuran keluarga baru mereka.
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1985). Arsitektur tradisional daerah Jawa Tengah (Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Jawa Tengah Tahun Anggaran 1981/1982, Cetak Ulang 1985-1986). Proyek IDKD Jawa Tengah.