Ritual Setiap Bulan: Panduan Lengkap Upacara Kehamilan Jawa dari Ngebor-ebori hingga Mitoni

Daftar Isi

Jelajahi rangkaian upacara selamatan kehamilan dalam tradisi Jawa, dari ngebor-ebori di bulan pertama hingga puncak perayaan mitoni di bulan ketujuh. Pahami makna setiap ritual dan sesaji yang penuh filosofi.

Dalam balutan tradisi dan harapan, setiap bulan adalah doa. Sebuah potret keindahan upacara kehamilan Jawa, dari Ngebor-ebori hingga Mitoni, menanti kehidupan baru. (Generatif Gemini)

BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Bagi masyarakat Jawa, kehamilan bukanlah sekadar proses biologis, melainkan sebuah perjalanan spiritual yang sakral. Setiap bulan yang berlalu dalam kandungan adalah sebuah tahapan yang patut disyukuri dan didoakan. Dari naskah kuno Serat Tata Cara hingga catatan penelitian pemerintah pada tahun 1970-an, terungkap sebuah tradisi agung berupa rangkaian selamatan bulanan yang dirancang untuk memohon keselamatan, menolak bala, dan memastikan sang jabang bayi lahir dengan sempurna.

Rangkaian upacara ini bukanlah pesta tanpa makna. Setiap jenang yang diaduk, setiap tumpeng yang dibentuk, dan setiap ritual yang dijalankan adalah wujud doa dan harapan yang mendalam. Ini adalah narasi tentang bagaimana leluhur Jawa menjaga anugerah kehidupan, bulan demi bulan, hingga tiba saatnya sang buah hati melihat dunia.

Awal Perjalanan: Dari Ngebor-ebori hingga Selamatan Lima Bulan

Perjalanan ritual dimulai sejak bulan pertama kehamilan, sebuah masa yang dianggap masih sangat rentan. Setiap tahapannya ditandai dengan sesaji khusus yang melambangkan perkembangan janin dan harapan orang tua.

• Bulan Pertama (Ngebor-ebori): Upacara pertama ini ditandai dengan sajian jenang sungsum, bubur lembut dari tepung beras yang disiram kuah santan dan gula jawa. Jenang ini menjadi simbol harapan untuk memberi kekuatan pada ibu dan janin yang baru terbentuk di dalam kandungannya.

• Bulan Kedua dan Ketiga: Pada tahap ini, selamatan diwujudkan dalam bentuk nasi janganan atau gudangan. Sebuah tumpeng nasi dikelilingi oleh aneka sayuran mentah dalam jumlah ganjil (lima, tujuh, atau sembilan) yang dicampur parutan kelapa berbumbu. Sesaji ini dilengkapi dengan tiga jenis jenang:

    ◦ Jenang Abrit (Merah): Melambangkan "darah" atau benih dari sang ayah.

    ◦ Jenang Pethak (Putih): Melambangkan "darah" atau benih dari sang ibu. Keduanya disajikan dengan jenang merah di bawah dan putih di atas sebagai simbol penyatuan.

    ◦ Jenang Baro-baro: Jenang dari bekatul ini dipersembahkan untuk mendoakan "saudara spiritual" sang bayi yang lahir bersamanya (ari-ari, air ketuban, darah, dan tali pusar).

• Bulan Keempat: Memasuki usia empat bulan, saat ruh diyakini telah ditiupkan, upacara menggunakan nasi punar (nasi kuning gurih) sebagai simbol cinta kasih. Lauknya adalah daging kerbau dan aneka ketupat seperti sinta, jago, sidalungguh, dan luwar, yang masing-masing memiliki makna untuk menghindarkan janin dari segala halangan.

• Bulan Kelima: Upacara di bulan kelima kembali menyajikan nasi janganan, namun dengan tambahan uler-uler (makanan dari tepung beras aneka warna) dan ketan aneka warna. Pada momen inilah, keluarga biasanya mulai melakukan wewehan, yaitu membagikan makanan kepada sanak saudara sebagai pengumuman resmi kehamilan sekaligus memohon doa restu.

Puncak Perayaan: Tingkeban atau Mitoni di Usia Tujuh Bulan

Ketika kandungan memasuki usia tujuh bulan, diselenggarakanlah upacara terbesar dan terpenting dalam siklus kehamilan: Tingkeban atau Mitoni. Berasal dari kata pitu (tujuh), ritual ini adalah puncak dari segala doa dan harapan, menandakan janin telah sempurna dan siap menyongsong kelahiran. Upacara ini idealnya dilaksanakan pada hari Rabu atau Sabtu, pada tanggal ganjil sebelum tanggal 15 bulan Jawa.

Prosesi mitoni sarat dengan simbolisme:

1. Siraman: Calon ibu dimandikan dengan air dari tujuh sumber yang dicampur kembang setaman (bunga tujuh rupa). Prosesi ini bertujuan menyucikan calon ibu secara lahir dan batin, dipimpin oleh para sesepuh keluarga.

2. Brojolan dan Pantes-pantesan: Setelah siraman, ibu mertua akan menjatuhkan tropong (alat tenun) dan sepasang kelapa gading (cengkir gading) yang digambari tokoh pewayangan seperti Kamajaya-Ratih atau Arjuna-Subadra. Ini adalah simbol harapan agar bayi lahir lancar (mbrojol) serta tampan atau cantik seperti tokoh wayang tersebut. Calon ibu kemudian berganti busana sebanyak tujuh kali dengan kain batik berbagai motif. Pada enam kain pertama, para sesepuh akan berujar "belum pantas", dan baru pada kain ketujuh, yakni motif truntum (lambang harapan yang bersemi) dan dringin (lambang ketenangan hati), mereka akan serentak berkata "sudah pantas".

3. Potong Letrek dan Pecah Telur: Suami kemudian memotong benang letrek yang melilit di perut istrinya sebagai simbol membuka jalan lahir. Bersamaan dengan itu, sang nenek akan memecah telur, melambangkan harapan agar kelahiran berjalan mudah tanpa halangan.

Perayaan mitoni biasanya ditutup dengan pagelaran wayang kulit semalam suntuk dengan lakon kelahiran seorang ksatria, seperti Lahiripun Gathutkaca.

Menjelang Kelahiran: Ritual Bulan Kedelapan dan Kesembilan

Memasuki trimester akhir, ritual tetap dijalankan untuk menjaga semangat dan memohon kelancaran hingga hari H.

• Bulan Kedelapan: Selamatan dilakukan dengan menyajikan bulus angrem (kura-kura mengeram). Sajian ini berupa kue klepon yang ditutupi kue serabi, melambangkan seorang ibu yang sedang "mengerami" atau menghangatkan anaknya dengan penuh kasih sayang di dalam kandungan.

• Bulan Kesembilan: Saat kelahiran semakin dekat, dibuatlah jenang procot. Ini adalah jenang dari tepung beras yang di tengahnya dimasukkan sebuah pisang utuh. Nama procot sendiri berarti "keluar dengan mudah", menjadi doa agar proses persalinan berjalan lancar tanpa hambatan. Jika hingga bulan kesepuluh bayi belum juga lahir, diadakan ritual unik dawet plencing, di mana sang ibu "menjual" dawet kepada anak-anak dengan bayaran pecahan genting (wingka). Setelah minum, anak-anak diharapkan berlari kencang (mlencing), sebagai simbol harapan agar bayi pun segera lahir dengan cepat.

Setiap bulannya, rangkaian upacara ini menjadi penanda cinta, kepedulian, dan doa yang tak putus dari sebuah keluarga Jawa dalam menyambut anugerah kehidupan.

Daftar Pustaka

• Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. (1978). Adat-istiadat daerah Jawa Tengah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

• Sumarno, S., & Mumfangati, T. (2016). Potret pengasuhan anak sejak dalam kandungan hingga remaja pada masyarakat Jawa: Kajian Serat Tata Cara. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pelestarian Nilai Budaya D.I. Yogyakarta.

babad.id | Stori Loka Jawa
babad.id | Stori Loka Jawa babad.id | Stori Loka Jawa merupakan media online berbasis multimedia dengan konten utama seputar seni, budaya dan sejarah Jawa. Babad.id juga membuka ruang opini kepada penulis lepas.