Runtuhnya Majapahit, Terbitnya Demak: Peralihan Kekuasaan dari Hindu-Buddha ke Islam di Jawa
Mengungkap proses peralihan kekuasaan dari Kerajaan Majapahit ke Demak, dari konflik awal hingga penaklukan kota kerajaan pada tahun 1478 Masehi.
![]() |
Api Majapahit padam, fajar Demak menyingsing. Sebuah era berakhir, sebuah peradaban baru lahir. Ilustrasi dramatis peralihan kekuasaan di Tanah Jawa. (Generatif Gemini) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Di ufuk timur Jawa, senja kala sebuah peradaban besar mulai meremang. Kerajaan Majapahit, imperium agung yang pernah menyatukan Nusantara, kini limbung di ambang keruntuhan. Di pesisir utara, fajar baru menyingsing dari rawa-rawa Bintara. Kesultanan Demak, yang dipimpin oleh Raden Patah, putra terbuang dari Prabu Brawijaya V sendiri, tumbuh menjadi kekuatan yang tak terelakkan. Pertemuan antara ayah dan anak yang terpisah takdir ini bukanlah reuni keluarga, melainkan awal dari sebuah drama perebutan hegemoni yang akan mengubah wajah spiritual dan politik Tanah Jawa untuk selamanya.
Sejarah mencatat peralihan ini bukan sekadar pergantian dinasti. Ia adalah benturan peradaban antara tatanan Hindu-Buddha yang mapan dan gelombang Islam yang datang dengan semangat baru. Serat Babad Demak dan babad-babad lainnya melukiskan transisi ini dengan warna-warni epik, memadukan fakta perang, intrik istana, hingga campur tangan kekuatan gaib.
Konflik Batin Raden Patah: Antara Bakti dan Iman
Hubungan Demak dan Majapahit pada awalnya tidak melulu diwarnai permusuhan. Setelah pemukiman baru di Glagah Wangi tumbuh pesat menjadi "praja gung" (kota besar) bernama Bintara, kabar ini sampai ke telinga Prabu Brawijaya. Sang Prabu kemudian mengutus Adipati Terung, yang dikenal sebagai Pecatandha, untuk menyelidiki kekuatan baru itu. Di luar dugaan, Adipati Terung justru mengungkapkan bahwa pemimpin Bintara adalah kakak tirinya sendiri, Raden Patah, putra Prabu Brawijaya dari seorang putri Cina yang dilahirkan di Palembang.
Mendengar laporan itu, ingatan Sang Prabu kembali ke masa lalu. Ia pun memerintahkan agar Raden Patah segera menghadap ke Majapahit. Pertemuan itu berlangsung dengan suasana haru. Sang Prabu Brawijaya, setelah membandingkan wajah Raden Patah dengan cermin, akhirnya mengakui pemuda itu sebagai putranya yang telah lama hilang. Raden Patah pun diangkat secara resmi menjadi adipati di Demak-Bintara. Namun, rekonsiliasi politik ini tak mampu meredam perbedaan ideologi yang fundamental. Raden Patah, atas nama para wali, meminta ayahnya untuk memeluk Islam, sebuah permintaan yang ditolak oleh Prabu Brawijaya. Penolakan inilah yang menjadi bibit sengketa yang tak terhindarkan. Sunan Ampel sempat menasihati agar Demak tidak terburu-buru menyerang Majapahit, karena waktunya belum tepat, menunjukkan adanya keraguan di antara para wali sendiri.
Gugurnya Sang Panglima Perang: Sunan Ngudung di Medan Laga
Konflik akhirnya pecah menjadi perang terbuka. Pasukan Demak yang terdiri dari "para santri" dan laskar para adipati pesisir bergerak menuju Majapahit. Panglima tertinggi laskar Islam ini adalah Sunan Ngudung, ayah dari Sunan Kudus. Di pihak Majapahit, barisan pertahanan dipimpin oleh Adipati Terung, yang kini harus berhadapan dengan laskar yang dipimpin oleh guru dari kakak tirinya.
Pertempuran berlangsung dahsyat. Serat Babad Demak melukiskan bagaimana kedua pasukan bertarung tanpa kenal lelah. Di tengah kecamuk perang itulah, takdir tragis menimpa Sunan Ngudung. Beliau gugur setelah terluka parah di lambung kiri akibat senjata Adipati Terung. Pusaka Kiai Antakusuma yang dikenakannya kembali ke Demak berlumuran darah, menjadi pertanda gugurnya sang panglima. Kematian Sunan Ngudung menjadi pukulan berat bagi pasukan Demak, namun tidak memadamkan api perjuangan mereka.
Sirna Ilang Kertaning Bumi: Penaklukan Ibu Kota Majapahit
Sepeninggal Sunan Ngudung, kepemimpinan laskar Demak digantikan oleh putranya, Pangeran Kudus (Sunan Kudus). Dengan semangat membalas kematian ayahnya, perang dilanjutkan dengan intensitas yang lebih besar. Babad mencatat bagaimana Demak mengerahkan segala kekuatan, termasuk unsur-unsur magis. Badhong (jimat) dari Cirebon mengeluarkan ribuan tikus yang menggerogoti perbekalan pasukan "kafir" Majapahit. Sebuah peti wasiat dari Palembang, saat dibuka, melepaskan badai dahsyat yang disertai angin, petang, dan halimun yang memorak-porandakan barisan musuh.
Puncak dari serangan ini terjadi pada tahun Saka 1400, yang ditandai dengan sengkalan "Sirna Ilang Kertaning Bumi" (Hilang Sirna Kemakmuran Dunia), atau tahun 1478 Masehi. Pada saat itulah, Prabu Brawijaya beserta sebagian besar pengikutnya dikisahkan muksa, menghilang secara gaib dari istana. Hanya permaisurinya yang berasal dari Cempa, yang telah memeluk Islam, yang tidak ikut menghilang dan kemudian tinggal di Ampel Denta. Pasukan Demak pun memasuki kota kerajaan yang telah ditinggalkan. Pendapa agung (paseban) Majapahit kemudian diboyong ke Demak untuk dijadikan serambi masjid.
Meskipun demikian, beberapa sumber sejarah dari para sarjana modern, dengan membandingkan berbagai catatan, menempatkan jatuhnya ibu kota Majapahit pada tahun 1527 Masehi. Perbedaan tarikh ini menunjukkan kompleksitas dalam menafsirkan sumber sastra babad yang sarat mitos dengan catatan sejarah yang lebih faktual.
Setelah kota takluk, Adipati Terung yang merasa bersalah atas kematian Sunan Ngudung akhirnya menyerah secara damai kepada Sunan Kudus. Ia mengakui kekuasaan Demak dan menyesali perbuatannya di masa lalu, mengakhiri perlawanan terakhir dari sisa-sisa kekuatan Majapahit. Dengan demikian, berakhirlah era kekuasaan Hindu-Buddha dan dimulailah babak baru kekuasaan Islam di Tanah Jawa.
Daftar Pustaka
Arimurti, K., Amanah, S., & Sadewa, T. C. (2023). Alih Aksara Serat Babad Demak. Perpusnas PRESS.
de Graaf, H. J., & Pigeaud, Th. G. Th. (1985). Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Grafiti Pers.
Sastradiwirya (Alih Aksara). (1988). Babad Majapahit dan Para Wali 1. Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sastronaryatmo, M. (Alih Bahasa). (2011). Babad Jaka Tingkir (Babad Pajang). Perpustakaan Nasional RI & Balai Pustaka.