Struktur Ruang Keraton Surakarta: Sentral Pemerintahan dan Budaya Jawa
Keraton Surakarta adalah kumpulan bangunan Joglo, Limasan, dan Kampung. Pahami fungsi penting Gladag, Alun-alun Lor, dan Pagelaran sebagai pusat pemerintahan dan benteng budaya Jawa.
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, bersama Pura Mangkunegaran, merupakan dua Keraton besar yang menjadi pusat kebudayaan dan pemerintahan di Jawa Tengah. Lebih dari sekadar istana, Keraton Surakarta adalah manifestasi dari warisan budaya yang kaya dan kompleks.
Didirikan sebagai kelanjutan dari Keraton Kartasura yang rusak dan dianggap telah "kehilangan kesaktiannya" (hunitholiara), Keraton Surakarta dibangun di Desa Solo pada tahun 1744–1749, atas prakarsa Paku Buwono II. Arsitektur Keraton ini merupakan sekumpulan bangunan rumah Jawa dengan berbagai bentuk, mulai dari yang paling sederhana hingga yang paling lengkap, mencakup tipe Joglo, Limasan, dan Kampung. Meskipun beraliran Islam–Jawa, Keraton Surakarta tetap memegang teguh adat dan kepercayaan Jawa Kuno sebagai warisan sejarah.
Bangunan Inti Keraton: Gladag dan Alun-alun Lor
Struktur Keraton Surakarta dirancang secara hirarkis, memisahkan ruang publik, seremonial, hingga ruang privat dan sakral Raja. Bagian paling luar yang berfungsi sebagai gerbang dan ruang pertemuan publik adalah:
• Gladag (1): Merupakan pintu gerbang pertama untuk memasuki kawasan Keraton. Gladag terdiri dari tiga buah pintu dan dilengkapi dengan pohon-pohon beringin.
• Alun-alun Lor (2): Lapangan luas yang terletak di bagian Utara Keraton. Fungsi utamanya adalah untuk mengumpulkan rakyat. Di sinilah terdapat dua batang pohon beringin kembar yang dipindahkan dari Keraton Kartasura.
• Pasar Klewer (4): Pasar yang terletak dekat Keraton (Masjid) digunakan sebagai tempat berjualan bagi rakyat. Secara historis, keberadaan pasar di dekat Keraton memiliki fungsi strategis: apabila ada musuh datang, keributan yang timbul di pasar akan memberikan tanda kepada prajurit Keraton untuk bersiap siaga.
• Masjid (3): Bangunan yang digunakan oleh rakyat untuk beribadah.
Pagelaran dan Siti Hinggil: Panggung Rakyat Menghadap Raja
Setelah melewati alun-alun, rakyat akan memasuki area yang berfungsi sebagai tempat seremonial dan penerimaan formal oleh Raja.
• Pagelaran (5): Ini adalah bangunan besar yang ditopang oleh 48 tiang. Pagelaran berfungsi sebagai tempat rakyat menghadap Sri Susuhunan.
• Siti Hinggil (6): Secara harfiah berarti 'tanah tinggi' atau 'panggung tinggi'. Bangunan ini berlantai tinggi dan menjadi tempat Susuhunan menerima rakyat.
• Bangsal Marcukunda (17): Bangsal ini berbentuk Limasan dan memiliki fungsi penting sebagai tempat wisuda (pelantikan) para Komandan Prajurit Keraton serta Perwira dan Opsir Tentara Keraton.
• Bangsal Smarakata (16): Bangsal ini juga berbentuk Limasan. Fungsinya adalah sebagai tempat para Abdi Dalem golongan dalam (seperti Bupati, Panewu, Mantri) menghadap Raja, dan juga tempat pelantikan (wisuda) Abdi Dalem golongan sipil.
Bangsal-bangsal lain seperti Bangsal Bujana (32) dan Sasana Handrawina (33), yang berbentuk Limasan Klabang Nyander, juga digunakan dalam konteks resmi, yaitu sebagai tempat jamuan makan para tamu agung dan pengikut tamu agung.
Kori Brojonolo dan Supit Urang: Simbol Pertahanan dan Spiritual
Bagian Keraton juga dilengkapi dengan sistem pertahanan dan gerbang yang memiliki makna filosofis mendalam:
• Supit Urang (7): Merupakan jalan masuk samping yang dibentuk menyerupai supit (capit) udang. Secara fungsi, ia adalah sistem pertahanan Keraton untuk menghalangi musuh yang berusaha masuk.
• Kori Brojonolo (9): Sebuah pintu gerbang yang nama dan maknanya memiliki nilai spiritual. Brojo adalah nama senjata tajam dari seorang Dewa, dan nolo berarti hati. Gerbang ini memiliki maksud filosofis mengingatkan orang yang hendak memasuki Keraton agar memiliki hati yang tajam.
• Bangsal Sri Manganti (20): Gerbang menuju area inti istana yang juga berfungsi sebagai ruang tunggu. Bangsal ini berbentuk Limasan Semar Tinandu. Nama Sri Manganti (Sri = Raja; Manganti = menanti) merujuk pada tempat menanti sebelum menghadap Raja. Bangsal ini didirikan pada tahun 1759 M oleh Paku Buwono III dan dibangun kembali pada 1792 M oleh Paku Buwono IV.
◦ Di luar Kori Sri Manganti, terdapat cermin besar yang disediakan untuk mengoreksi penampilan lahiriah maupun batiniah sebelum masuk.
◦ Bangsal ini juga memuat simbol kemakmuran, ditunjukkan dengan lukisan kapas-padi (Sri Makutaraja) di atas pintunya.
• Sasana Sewaka (28): Bangunan paling sakral dalam konteks pemerintahan Raja, berbentuk Joglo Pangrawit. Raja menggunakannya pada hari-hari tertentu (Senin dan Kamis) untuk upacara "Lenggah Sinewaka" (duduk di atas singgasana emas/Dampar Kencana) guna bersamadi dan memohon kesejahteraan keraton seisi dan sekitarnya serta rakyatnya.
Kompleks Keraton juga menyertakan Panggung Sanggabuwana (21), sebuah menara berbentuk angka 8 setinggi 4 tingkat. Tingkat teratasnya disebut Tutup Saji, tempat khusus Raja bermeditasi, menyembah Tuhan, dan dipercaya sebagai tempat pertemuan dengan makhluk halus (seperti Ratu Kidul).
Seluruh kompleks Keraton Surakarta yang menggabungkan berbagai bentuk arsitektur tradisional (Joglo, Limasan, Kampung) ini menunjukkan sistem sosial dan ideologi Jawa, di mana pusat kekuasaan adalah manifestasi dari tatanan kosmos dan spiritualitas yang harus dijaga melalui ritual dan adat istiadat.
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1985). Arsitektur tradisional daerah Jawa Tengah (Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Jawa Tengah Tahun Anggaran 1981/1982, Cetak Ulang 1985-1986). Proyek IDKD Jawa Tengah.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1985b). Isi dan kelengkapan rumah tangga tradisional menurut tujuan, fungsi dan kegunaannya daerah Jawa Tengah (Hasil Penelitian Tahun 1982/1983). Proyek IDKD Jawa Tengah.
Ismunandar K., R. (1990). Joglo: Arsitektur rumah tradisional Jawa. Dahara Prize. (Dikutip dalam Ashadi dan/atau sumber IDKD lainnya).