Kenali tiga pilar Kesultanan Demak: Raden Patah sang pendiri, Adipati Unus si pemberani, dan Sultan Trenggana yang membawa Demak ke puncak kejayaan.
![]() |
| Ilustrasi tiga Sultan Demak. (Generatif Gemini) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Panggung sejarah Jawa Islam perdana tak hanya milik satu aktor. Di balik berdirinya Kesultanan Demak sebagai imperium maritim dan pusat dakwah, ada tiga sosok sentral yang meletakkan fondasi, menguji nyali di lautan, dan memperluas hegemoni hingga ke ujung timur pulau. Mereka adalah trio penguasa dinasti Demak: Raden Patah sang perintis yang saleh, Adipati Unus sang penantang bangsa Eropa, dan Sultan Trenggana sang ekspansionis ulung.
Kisah mereka, yang terangkum dalam lembaran babad dan catatan para sejarawan, adalah potret kepemimpinan di masa peralihan yang krusial. Dari sebuah kadipaten di pesisir hingga menjadi kesultanan yang disegani, jejak langkah ketiganya menentukan arah baru peradaban di Tanah Jawa.
Raden Patah: Sang Pendiri Bergelar Panembahan Jimbun (±1482–1518 M)
Dinasti Demak bermula dari sosok Raden Patah, putra Prabu Brawijaya V dari Majapahit yang lahir dan besar di Palembang. Setelah membuka Hutan Glagahwangi atas petunjuk Sunan Ampel, ia berhasil mendirikan sebuah kekuatan baru di Bintara. Setelah jatuhnya Majapahit, para wali menobatkannya sebagai sultan Islam pertama di Jawa. Penobatannya ditandai dengan candra sengkala "Warna Sirna Catur Nabi" atau tahun 1404 Saka (sekitar 1482 M).
Dalam sebuah upacara yang khidmat, ia diberi gelar agung yang mencerminkan perpaduan legitimasi Jawa, Palembang, dan Islam: Senapati Jimbun Ngabdu'r-Rahman Panembahan Palembang Sayidin Panata' Gama. Dalam Serat Babad Demak, gelarnya lebih singkat namun tetap menunjukkan statusnya sebagai pemimpin yang direstui para wali: Senapati Jibun, Panĕmbahan Pulembang. Di bawah pemerintahannya, Demak bertransformasi dari sebuah kadipaten menjadi pusat penyebaran agama Islam yang ditopang oleh kekuatan politik dan militer yang solid. Ia wafat pada tahun 1518 M dan dimakamkan di kompleks Masjid Agung Demak.
Adipati Unus: Sang Pemberani Berjuluk Pangeran Sabrang Lor (1518–1521 M)
Takhta Demak selanjutnya diwariskan kepada putranya, yang dalam tradisi Jawa lebih dikenal dengan julukan heroiknya: Pangeran Sabrang Lor, atau "Pangeran yang menyeberang ke utara". Julukan ini melekat erat pada keberaniannya saat memimpin sebuah ekspedisi maritim kolosal untuk menyerang benteng Portugis di Malaka. Peristiwa yang terjadi sekitar tahun 1512-1513—bahkan sebelum ia menjadi sultan—ini adalah respons Demak terhadap jatuhnya Malaka, bandar dagang Muslim terpenting di Asia Tenggara, ke tangan bangsa Eropa pada 1511.
Menurut catatan Portugis, Pate Unus (ejaan untuk Adipati Unus) mengerahkan armada laut yang luar biasa, terdiri dari sekitar 90 kapal jung dan 12.000 prajurit. Meski serangan itu berakhir dengan kegagalan, keberaniannya meninggalkan jejak mendalam. Konon, sebagai kenang-kenangan, sebuah kapal jung raksasa miliknya sengaja didamparkan di pantai Jepara untuk mengingatkan generasi mendatang akan pertempuran melawan "bangsa paling gagah berani di dunia". Masa pemerintahannya sebagai sultan sangat singkat; ia wafat pada tahun 1521 M tanpa meninggalkan keturunan dan dimakamkan di samping ayahnya.
Sultan Trenggana: Sang Ambisius Pembawa Kejayaan Demak (1521–1546 M)
Sepeninggal Adipati Unus, takhta Demak jatuh ke tangan adiknya, Sultan Trenggana. Di bawah pemerintahannya yang panjang, Demak mencapai puncak kejayaan dan ekspansi teritorialnya. Ia adalah seorang penguasa yang ambisius, melanjutkan cita-cita Demak untuk menguasai seluruh bekas wilayah Majapahit. Jatuhnya ibu kota Majapahit secara definitif pada tahun 1527 oleh pasukan Islam terjadi pada masa pemerintahannya, yang semakin mengukuhkan posisi Demak sebagai penguasa baru di Jawa.
Sultan Trenggana melancarkan serangkaian ekspedisi militer untuk menaklukkan wilayah-wilayah di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Daftar penaklukannya mencakup Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya (1531), Pasuruan (1535), hingga Malang (1545). Kekuasaannya membentang dari Cirebon di barat hingga hampir seluruh Jawa Timur. Namun, ambisinya jugalah yang mengakhiri hidupnya. Pada tahun 1546, saat memimpin langsung ekspedisi militer untuk menaklukkan Panarukan, benteng terakhir "kekafiran" di ujung timur Jawa, Sultan Trenggana gugur di medan perang. Kematiannya yang mendadak memicu kekosongan kekuasaan dan menjadi awal dari perang saudara berdarah yang pada akhirnya meruntuhkan dinasti Demak.
Daftar Pustaka
Arimurti, K., Amanah, S., & Sadewa, T. C. (2023). Alih Aksara Serat Babad Demak. Perpusnas PRESS.
de Graaf, H. J. (1987). Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati (Seri Terjemahan Javanologi No. 3). Grafiti Pers.
de Graaf, H. J., & Pigeaud, Th. G. Th. (1985). Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Grafiti Pers.
Kasri, M. K., & Semedi, P. (2008). Sejarah Demak: Matahari Terbit di Glagah Wangi. Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Demak.
Sastronaryatmo, M. (Alih Bahasa). (2011). Babad Jaka Tingkir (Babad Pajang). Perpustakaan Nasional RI & Balai Pustaka.
