Ujian Kerbau Amuk: Strategi Tanah Dagan Jaka Tingkir Mendapatkan Pengampunan Sultan Trenggana
Strategi cerdik Jaka Tingkir menggunakan kerbau liar yang mengamuk dengan "tanah dagan" untuk mendapatkan pengampunan Sultan Trenggana. Ia kembali diangkat sebagai Bupati Pajang.
![]() |
Ilustrasi Jaka Tingkir menaklukkan kerbau yang mengamuk di Gunung Prawata. (Generatif Gemini) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Setelah menaklukkan raja buaya Baurekso di Bengawan Solo—sebuah ujian kesaktian di alam liar—Jaka Tingkir (Mas Karebet) akhirnya tiba di dekat kedudukan politik yang ingin ia raih kembali: Gunung Prawata. Di sanalah Sultan Trenggana tengah bercengkerama bersama permaisuri dan putra-putrinya.
Kembalinya Jaka Tingkir ke lingkungan Demak bukan lagi sebagai prajurit yang diusir karena skandal, melainkan sebagai seorang yang telah menjalani tirakat (tapa) dan diberkahi ilmu sejati oleh Ki Ageng Banyubiru. Kejatuhan sebelumnya memberikan ia pelajaran penting: legitimasi politik harus didukung oleh keunggulan spiritual.
Modus yang dipilih Jaka Tingkir untuk kembali ke hadapan Sultan haruslah spektakuler, sesuatu yang mustahil dilakukan oleh prajurit biasa. Pintu gerbang menuju pengampunan dibuka bukan melalui permohonan, melainkan melalui demonstrasi kekuatan yang mengejutkan, menggunakan pusaka sederhana namun sakti: segumpal tanah dagan.
Strategi Cerdik di Gunung Prawata
Tatkala Jaka Tingkir dan tiga sahabatnya tiba di Gunung Prawata, sebuah kekacauan besar terjadi. Seekor kerbau liar ditemukan dan seketika itu pula ia mengamuk tak terkendali.
Jaka Tingkir, yang sudah mempersiapkan diri dengan bekal dari gurunya, melihat ini sebagai peluang emas. Ia bertindak cepat:
"Kemudian dicarinya seekor kerbau liar, telinga sebelah kanan dimasuki tanah dagan pemberian Ki Ageng Banyubiru, maka setelah itu, mengamuklah kerbau itu memporak-porandakan semua yang ditemuinya, mengejar dan menanduk orang-orang yang berada di sekitarnya, sehingga banyak yang terluka dan mati".
Kerbau amuk tersebut menjadi ancaman fatal bagi keamanan di lingkungan Sultan. Para prajurit diperintahkan untuk menaklukkannya, tetapi tidak ada seorang pun yang berhasil. Kegagalan ini menunjukkan bahwa masalah tersebut berada di luar batas kemampuan militer biasa.
Pertarungan Hidup Mati: Membayar Kesalahan dengan Nyawa
Sultan Trenggana yang menyaksikan keributan itu dari kejauhan melihat Jaka Tingkir beserta ketiga sahabatnya. Sultan yang masih mengingat kecakapan Jaka Tingkir yang pernah menjabat Lurah Tamtama, lantas memanggilnya dan memberinya tantangan langsung:
"Bila berhasil, maka seluruh kesalahan Joko Tingkir terampuni dan akan diterima kembali untuk mengabdi kepada Sultan".
Ini adalah kesempatan yang ditunggu-tunggu Jaka Tingkir—sebuah sayembara tidak resmi untuk menghapus noda Dadung Awuk. Jaka Tingkir segera turun ke arena, berhadapan dengan kerbau liar yang tengah kalap itu.
Pertarungan yang terjadi digambarkan sangat sengit, melibatkan kekuatan manusia melawan kekuatan hewan liar yang mengamuk. Jaka Tingkir menggunakan ilmu dan strateginya. Ia berhasil mendekati kerbau itu dan melakukan dua tindakan krusial:
1. Mengeluarkan tanah dagan dari telinga kanan kerbau.
2. Memukul kepala kerbau dengan kesaktian yang dimilikinya.
Dampak dari pukulan Jaka Tingkir luar biasa. Terdengar suara yang amat keras (terdengar suara yang teramat keras) ketika tangan Jaka Tingkir mengenai kepala kerbau, yang menyebabkan kepala kerbau pecah dan langsung mati.
Pemulihan Derajat dan Pengangkatan Bupati Pajang
Keberhasilan Jaka Tingkir menaklukkan kerbau amuk dengan cara yang ajaib ini segera disambut gegap gempita. Seluruh rakyat di Gunung Prawata mengelu-elukannya dan mengarak Jaka Tingkir menuju tempat peristirahatan Sultan.
Sultan Trenggana menepati janjinya. Jaka Tingkir tidak hanya diterima kembali mengabdi, tetapi ia segera dinikahkan dengan putri Sultan dan diangkat menjadi Bupati Pajang.
Pengangkatan ini secara efektif memulihkan derajat Jaka Tingkir, memberinya kekuasaan otonom di Pajang, dan menempatkannya dalam garis suksesi keluarga raja Demak. Peristiwa kerbau amuk di Gunung Prawata menjadi monumen pengakuan formal atas kesaktian dan legitimasi Jaka Tingkir, membuka jalan baginya untuk mendirikan Istana Kabupaten yang indah dan megah, sebelum akhirnya menggantikan Sultan Trenggana dengan gelar Sultan Hadiwijaya.
Daftar Pustaka
1. Graaf, H. J. de, & Pigeaud, Th. G. Th. (1985). Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Grafiti Pers.
2. Kasri, M. K., & Semedi, P. (2008). Sejarah Demak: Matahari Terbit di Glagahwangi.
3. Moelyono Sastronaryatmo. (2011). Babad Jaka Tingkir (Babad Pajang). Perpustakaan Nasional.
4. Muljana, S. (2005). Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan Majapahit). LKiS.
5. Serat Babad Demak (Alih Aksara). (2023). Krisna Arimurti, Siti Amanah, Tio Cahya Sadewa.
6. Tim Penyusun. (2001). Legenda Ki Ageng Banyubiru dan Joko Tingkir: Ds. Jatingarang. Sub Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Sukoharjo.