BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Kisah pergolakan di Tanah Jawa pada masa pemerintahan Kartasura, khususnya setelah penobatan Pangeran Balitar sebagai Sultan Ibnu Mustapa Pakubuwana Alagan Senapati Abdulrahman Sayid Panatagama, dicatat secara mendalam dalam naskah-naskah kuno. Sumber utama dari narasi ini, Babad Kartasura yang dialihaksarakan oleh Moelyono Sastronaryatmo (2011), memberikan kesaksian rinci tentang berakhirnya perlawanan para pangeran Mataram melawan kekuasaan sah di Kartasura.
Wabah Penyakit dan Kekalahan Pasukan Kartasura di Malang
Setelah pertempuran sengit yang memaksa Panembahan Purbaya dan Sultan Balitar mundur dari Mataram, pasukan Kartasura di bawah pimpinan Amral Baritman dan Adipati Mangkupraja diperintahkan melacak dan menggempur benteng pertahanan mereka di Malang. Keberangkatan pasukan ini, yang ditandai dengan sengkalan "Rasa Warna namane Buda Nabi" (1646 AJ atau 1721 AD), ternyata membawa malapetaka tak terduga.
Dalam perjalanan menuju Malang, pasukan Kartasura mendirikan pasanggrahan di desa Lebak. Di sinilah wabah penyakit dahsyat melanda barisan; prajurit-prajurit terkena sakit perut yang parah, muntah, dan buang air. Tingkat kematian sangat tinggi. Tercatat bahwa "Tak kurang dari seratus orang seharinya, wadyabala Kartasura yang mati dikarenakan wabah penyakit tersebut".
Melihat bencana ini, Amral Baritman segera memimpin pasukan yang tersisa untuk beranjak ke Malang, yang kemudian berhasil ditaklukkan. Namun, wabah tersebut tidak pandang bulu. Adipati Mangkupraja mendadak sakit dan tak lama kemudian meninggal dunia. Begitu pula Raden Suryadiningrat dan banyak mantri lainnya. Wabah muntah dan buang air ini, diperparah oleh kelaparan, menghancurkan moral dan kekuatan pasukan pengejar.
Di tengah kekacauan, Kyai Tumenggung Sindurja tertawan oleh Kumpeni dan kepalanya dipenggal. Sementara itu, Panembahan Purbaya berhasil lolos ke timur menuju Lumajang.
Wafatnya Sultan Ibnu (Balitar) di Kaligangsa dan Penguburan di Nitikan
Setelah mendapat kabar bahwa wadyabala Belanda telah mengosongkan Malang, Sultan Balitar segera kembali untuk menduduki kota itu. Sultan memilih Kaligangsa sebagai tempat mukimnya.
Namun, di Kaligangsa, Sultan Balitar jatuh sakit (gerah) dan tak lama kemudian meninggal dunia. Istri-istri Sultan pun menangis histeris. Dengan wafatnya Sultan, wadyabala Kasultanan yang tersisa memutuskan untuk bergabung dengan pasukan Kapurbayan di Lumajang.
Kyai Tumenggung Jayabrata, salah satu prajurit Kasultanan, mengambil keputusan untuk menyerahkan diri kepada Ingkang Sinuhun di Kartasura, sekaligus membawa peti jenazah Sultan Balitar. Raja menerima jenazah adiknya dan memerintahkan agar makamnya segera dilanjutkan ke pekuburan raja-raja di Imagiri.
Namun, kesetiaan Jayabrata tidak berbalas ampunan. Tumenggung Jayabrata dan anaknya kemudian dijatuhi hukuman mati oleh raja. Mereka diikat di tiang dekat pohon beringin kembar di alun-alun Kartasura, dan seluruh tubuhnya dihunjami keris hingga keduanya tewas. Peristiwa pengkhianatan dan hukuman brutal ini menunjukkan betapa panasnya situasi politik di Kartasura saat itu.
Penangkapan dan Pembuangan Panembahan Purbaya dan Herucakra ke Batavia dan Kap Kaap
Setelah kematian Sultan Ibnu, Panembahan Purbaya (kakak tiri Sunan Kartasura) dan Panembahan Herucakra berkumpul di Lumajang bersama pengikutnya. Namun, kekalahan bertubi-tubi dan kegagalan mendapatkan bantuan dari Bali membuat Purbaya resah.
Komisaris Dulkub dari Kumpeni Belanda melihat peluang ini. Ia berencana menggunakan siasat licik, meyakini bahwa lebih baik musuh menyerah karena siasat jitu daripada perang adu otot. Kumpeni menawarkan janji pengampunan dan kemuliaan kepada para pangeran.
Raden Surapati dan Raden Suradilaga, putra-putra Adipati Wiranagara yang merupakan sekutu Purbaya, termakan rayuan itu. Mereka tergoda oleh janji kumpeni berupa dana 2.000 real per tahun dan pengampunan dosa. Surapati berhasil membujuk Panembahan Purbaya untuk berdamai. Purbaya akhirnya setuju, meskipun ia berjanji kepada Dulkub bahwa jika ada tipuan, ia akan melanjutkan perlawanan.
Rombongan Purbaya (termasuk Panembahan Herucakra, Dipati Natapura, Raden Surapati, dan Raden Suradilaga) kemudian berangkat ke Semarang melalui laut, peristiwa yang ditandai dengan sengkalan "Sarira Jalanidhi Karasa Rupanireku" (1653 AJ/1728 AD).
Di Semarang, Dulkub mengundang Purbaya ke Batavia (Jakarta), berpura-pura atas nama Gubernur Jenderal. Panembahan Purbaya dan pengikutnya baru menyadari bahwa mereka telah menjadi korban "tipu muslihat kumpeni Belanda" setelah tiba.
Hukuman pun dijatuhkan:
1. Panembahan Herucakra, karena membantu makar, dibuang ke Pulo Kap (Ekap/Kap Kaap).
2. Panembahan Purbaya, diasingkan di penjara Alang-alang di Betawi (Batavia) bersama istri dan putranya.
3. Adipati Natapura, Raden Surapati, Raden Suradilaga, dan Jaka Tangkeban dibuang ke Pulo Selong (Ceylon/Sri Langka).
Demikianlah, perlawanan besar yang dipimpin oleh Pangeran Purbaya berakhir bukan di medan perang, melainkan dengan tipu daya dan pengasingan ke pulau-pulau jauh, menutup babak penting dalam sejarah perebutan takhta Kartasura. Kejadian ini mengingatkan kita bahwa, dalam perebutan kekuasaan, kemenangan kadang dicapai bukan hanya dengan pedang, tetapi juga dengan kepandaian memintal janji yang manis.***
