![]() |
| Ilustrasi Sunan Amangkurat I. Kondisi politik Mataram tidak stabil sejak Sultan Agung mangkat. (Generatif Gemini) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Setelah Sultan Agung wafat, Mataram diperintah oleh Raden Mas Sayyidin, yang bergelar Amangkurat I (Sunan Tegalarum). Masa pemerintahannya (1646-1677) ditandai dengan gejolak politik yang tidak stabil akibat tekanan VOC, yang menyebabkan Mataram mengalami kemunduran dan banyak pemberontakan serta perang saudara. Keruntuhan kerajaan ini dipercepat oleh watak Raja yang selalu curiga, bahkan terhadap kerabatnya sendiri, serta hilangnya kekuasaan Mataram di wilayah seberang, termasuk Kalimantan dan Jambi, terutama setelah tahun 1660.
Keraton Plered dan Pemerintahan Amangkurat I yang Zalim
Masa kekuasaan Mataram yang bergelora, yang dimulai oleh Panembahan Senapati dan mencapai puncaknya di bawah Sultan Agung, tampaknya mulai retak saat tahta diwarisi oleh putranya, Sunan Amangkurat I. Amangkurat I, yang memiliki nama asli Raden Mas Sayyidin, meneruskan tonggak kekuasaan Mataram sejak 1646 hingga 1677.
Setelah naik tahta, pusat pemerintahan Mataram dipindahkan dari Keraton Karta ke Keraton Plered. Keraton Plered—yang dibangun antara 1646 hingga 1680—berlokasi tidak jauh dari keraton sebelumnya.
Pemerintahan Amangkurat I mencerminkan watak otokrasi Jawa yang unik. Namun, berbeda dengan ayahnya, Amangkurat I dikenal memiliki sifat yang menimbulkan kecurigaan dan membawa malapetaka bagi anak cucunya. Salah satu kesulitan yang dihadapi dalam memahami masa pemerintahannya adalah kenyataan bahwa peran utama dalam buku sejarah digambarkan sebagai seorang penderita sakit jiwa, yang kata-katanya tidak dapat diukur dengan tolok ukur biasa.
Pada masa ini, Amangkurat I dikenal sangat tegas dalam menjatuhkan hukuman. Ia dicurigai oleh utusan Belanda karena tampak memerintahkan pembunuhan lebih dari 50 panglima yang berada di bawah pimpinan Tumenggung Pati. Alasan berat untuk hukuman tersebut ialah karena mereka berniat menyerang Sunan. Sikap curiga ini juga tampak dalam insiden Pangeran Purabaya, paman Raja yang berkuasa. Setelah Purabaya melepaskan tahta dan diturunkan derajatnya—bahkan sampai harus bersujud di lantai—Sunan mengangkatnya kembali dengan gelar "Susuhunan Amangkurat dari Mataram". Pengangkatan ini disertai janji kesetiaan yang terpaksa diucapkan oleh Purabaya.
Pada tahun 1678, setelah pecah pemberontakan besar, Amangkurat I akhirnya jatuh sakit dan wafat saat melarikan diri menuju Tegal, sehingga ia diberi gelar anumerta Susuhunan Tegal Arum.
Hilangnya Kekuasaan di Sumatera dan Kalimantan (1651-1661)
Meskipun Mataram pernah menjadi salah satu negara terkuat di Jawa yang menyatukan Jawa Tengah, Yogyakarta, sebagian besar Jawa Barat (kecuali Banten), dan Jawa Timur (termasuk Madura), serta menguasai wilayah seberang seperti Palembang, Jambi, Makassar, dan Sukadana, kekuasaan Mataram di luar Jawa mulai melemah dan hancur selama masa pemerintahan Amangkurat I.
Hubungan dengan Sumatera (Palembang dan Jambi)
Pada tahun 1651, Sunan menerima utusan dari Palembang dan Jambi. Mataram memiliki sedikit kekuasaan di beberapa daerah di Sumatera. Palembang tetap setia kepada Mataram sampai tahun 1677, mungkin karena tradisi lama atau karena ancaman musuh Mataram, yaitu Banten, dan juga karena Jambi sedang berkembang pesat.
Namun, Mataram mulai kehilangan pengaruhnya di wilayah seberang:
1. Palembang: Meskipun Palembang berupaya mencari hubungan dengan Sultan Agung sebelumnya, Palembang terlihat mulai mengurangi hubungan dengan Mataram sejak 1660. Utusan Palembang yang datang ke Jawa pada November 1659 untuk berangkat ke Demak, harus mendapat izin berperang dan penguasa kota. Pada tahun 1663, Palembang diketahui sudah tunduk kepada Jambi.
2. Jambi: Jambi sudah melepaskan diri dari Mataram dan supremasi Jawa. Pangeran Jambi berniat ingin membatasi blokade Batavia dan mengirimkan kekuatan darat. Perselisihan antara Jambi dan Kompeni meletus di Jambi, yang diblokade karena masalah perdagangan. Blokade ini menjadi perantara keruntuhan hubungan antara Banten dan Mataram.
Keluarnya Kalimantan dan Sulawesi
Kalimantan melepaskan diri dari supremasi Jawa setelah tahun 1660. Sukadana (Kalimantan) melepaskan diri dari Mataram pada tahun 1661. Makassar juga melepaskan diri dari Mataram. Makassar, meskipun ingin sekali mendapatkan bantuan dari Mataram, tidak mau menjadikan Sunan sebagai tuan. Setelah tahun 1660, tidak terdapat sisa-sisa kekuasaan Mataram di Kalimantan. Sebaliknya, Makassar menghargai Jawa sebagai sekutu.
Disintegrasi kekuasaan luar Jawa ini menunjukkan kemunduran menyeluruh Mataram dalam menghadapi kekuasaan Kompeni yang semakin bertumbuh.
Hubungan Mataram dengan VOC dan Penutupan Pelabuhan
Hubungan antara Mataram dan VOC pada masa Amangkurat I ditandai dengan ketegangan dan perubahan kebijakan raja yang mempengaruhi wilayah pesisir. VOC, yang semula merupakan musuh, kemudian menjadi pelindung dinasti, setelah terjadi pemberontakan besar.
Penutupan Pelabuhan Kedua (1660)
Pada April 1660, Sunan Amangkurat I mengeluarkan perintah menutup semua pelabuhan di negerinya, kecuali untuk orang asing, Melayu, dan Jawa. Selain itu, Sunan juga memerintahkan pembongkaran loji Kompeni di Jepara.
Tindakan ini tidak ditujukan terhadap VOC atau petugasnya, melainkan terhadap orang-orang Jawa dan untuk menguasai kembali kekayaan yang dikumpulkan oleh para pejabat pesisir. Motif resmi yang dinyatakan adalah bahwa Sunan ingin membuat "undang-undang baru". Tindakan penutupan pelabuhan ini merupakan alat yang baik bagi Raja untuk memajukan pengawasan terhadap kegiatan dagang Kompeni dan melawan.
Penutupan pelabuhan sebelumnya, pada tahun 1656, juga terjadi setelah Raja mengalami kerugian dan konflik.
Dampak bagi Penguasa Pesisir
Penutupan pelabuhan ini menjadi alat desentralisasi dan sentralisasi yang menciptakan persaingan di antara pejabat-pejabat pedalaman dan pejabat-pejabat pesisir.
• Pati dan Demak: Tumenggung Pati dan Tumenggung Demak diperintahkan untuk menyerahkan pendapatan pajak pantai kepada Mataram pada 1664. Tumenggung Pati cenderung pro-Kompeni, sementara Ngabei Wangsaraja dari Semarang yang merupakan sahabatnya, dituduh bekerja melawan Sunan.
• Jepara: Ngabei Martanata, kepala daerah Jepara, memperoleh keuntungan dari pembongkaran loji Jepara. Namun, penutupan pelabuhan ini merugikan perdagangan Jepara dan pendapatan kota. Pada tahun 1659, Ngabei Wangsaraja dari Semarang terbunuh di istana atas perintah Sunan.
• Ketegangan Internal: Penutupan pelabuhan menyebabkan para penguasa pesisir yang terkemuka (Wira dan Wirajaya) kehilangan kekuasaan. Para penguasa pesisir yang berada di bawah pengawasan ketat, termasuk Ngabei Wangsaraja, Tumenggung Pati, dan Tumenggung Suranata, semuanya tewas atau diturunkan dari kedudukan mereka antara 1659 dan 1661.
Penguatan VOC
Setelah jatuhnya Tumenggung Pati pada tahun 1659, yang merupakan salah satu penguasa pesisir terpenting, Mataram membuka jalan bagi perluasan kekuasaan VOC. Kehancuran kekuasaan di Palembang pada tahun 1659 karena konflik Kompeni dan Palembang juga semakin merusak hubungan antara Batavia dan Mataram. VOC kemudian menjadi semakin kuat di Jawa.
Puncak dari disintegrasi ini adalah Pemberontakan Raden Mas Alit dan Trunojoyo pada masa Amangkurat I, yang memaksa Mataram menjalin kerjasama dengan VOC untuk merebut kembali takhta. Inilah yang kemudian memunculkan Amangkurat II sebagai penerus tahta Mataram, dengan Kartasura sebagai pusat pemerintahan yang baru.***
