![]() |
| Ilustrasi Sultan Agung Hanyakrakusuma menulis serat. (Generatif Whisk) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Kegagalan penaklukan Batavia pada tahun 1629 tidak lantas memadamkan ambisi Susuhunan Agung Hanyakrakusuma. Sebaliknya, setelah menimbang ulang strategi militer dan politik, energi sang raja dialihkan ke ranah yang sama pentingnya: budaya, spiritualitas, dan hukum. Ini adalah fase di mana Sultan Agung berupaya mengukuhkan otoritasnya sebagai penguasa tertinggi Mataram, tidak hanya sebagai Senapati (Panglima Perang) tetapi juga sebagai Sayidin Panatagama (Penyusun Agama).
Melalui reformasi intelektual dan spiritual, ia menetapkan dasar bagi kerajaan yang makmur dan teratur, sebuah proyek yang ia tuangkan dalam karya-karya sastra dan mistik yang hingga kini masih menjadi pedoman.
Penegasan Otoritas dan Gelar Keagungan
Sejak menaklukkan Madura pada tahun 1624, Raden Mas Rangsang telah menanggalkan gelar Panembahan dan menyandang gelar Susuhunan Agung Hanyakrakusuma. Gelar ini membawanya pada kedudukan spiritual yang lebih tinggi, mengisyaratkan otoritas yang lebih besar di ranah keagamaan.
Puncaknya, upaya diplomasi dengan dunia Islam yang lebih luas mengantarkannya pada gelar yang paling terhormat. Sultan Agung diyakini menerima gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami atau Sultan Agung Senapati-ing-Ngalaga-Abdurrahaman dari Mekkah, yang semakin memperkuat klaimnya sebagai wakil Nabi di dunia (Badal Naby). Raja Mataram dianggap sungguh-sungguh menaati peraturan-peraturan agama Islam, bahkan menerapkan ajaran ini dengan keras terhadap diri sendiri dan lingkungan keraton.
Langkah konsolidasi budaya dan spiritual ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap elemen dalam kerajaan, mulai dari hukum hingga etika, bersumber langsung dari keraton.
Karya Agung: Serat Niti Praja dan Sastra Gending
Meskipun sumber-sumber yang menjadi dasar penulisan serial ini cenderung merupakan ringkasan-ringkasan bersistem berurutan, mereka menyoroti dua karya sastra penting Sultan Agung: Serat Niti Praja dan Serat Sastra Gending.
1. Konsep Kepemimpinan dalam Serat Niti Praja Serat Niti Praja (diduga ditulis sekitar 1630) berfokus pada etika kepemimpinan. Ajaran ini menekankan pentingnya sifat luhur (ambeg linuhung) yang tidak tertandingi (wus tanpa sama), di mana seorang pemimpin harus mampu membangkitkan dan menyenangkan hati sesama manusia (amenaki manahe sasama-sama).
Raja diibaratkan sebagai "kaca benggala" (pangiloning bumi) bagi rakyatnya, yang berfungsi sebagai pelindung (pangauban) dan harus adil dalam memerintah. Ajaran ini juga meliputi nasihat kepada seorang pemimpin untuk mampu mengendalikan diri ketika berada dalam posisi terpojok dan tidak menjadi buta terhadap hal-hal yang baik ketika menemukan kesalahan. Lebih lanjut, Niti Praja berisi panduan hukum (pidana dan perdata) yang menyelaraskan hukum Islam dengan hukum adat, yang kemudian dikenal sebagai Surya Alam (informasi ini disajikan dalam Episode 4).
2. Mistisisme dalam Serat Sastra Gending Serat Sastra Gending adalah karya filosofis yang mengajarkan penyatuan spiritual. Sultan Agung menggunakan bahasa simbolisme: Sastra melambangkan Dzat atau Tuhan, yang asli dan terdahulu (kadim), sementara Gending melambangkan syariat atau ciptaan (yang baru).
Penyatuan yang ideal (campurnya yang baru dan yang terdahulu) dianalogikan seperti hubungan suami-istri yang sejati (jalu lawan estri), di mana pemahaman tauhid yang benar mengantar mereka pada kejernihan (kawruh ing pawore anyar lan kadim). Karya-karya Sultan Agung ini merupakan pedoman utama Mataram dalam keberagamaan dan pemerintahan.
Jalan Menuju Kesempurnaan: Wirid Ngelmu Ma'rifat
Periode ini juga menyaksikan pendalaman ajaran mistik Islam-Jawa oleh Sultan Agung, yang ia tuangkan dalam Serat Kekiyasaning Pangracutan. Kitab ini membahas hakikat kematian, kehidupan, dan cara mencapai kesempurnaan sejati.
Sultan Agung mengajarkan bahwa hakikat ilmu ini (disebut juga Wirid Ngelmu Ma'rifat) adalah mengetahui kehidupan hingga kematian tanpa keraguan. Ia mengajarkan cara mencapai penyatuan Kawula Gusti (Hamba dan Tuhan) melalui praktik spiritual yang intens, termasuk memenjarakan nafsu dan mencari pencerahan tauhid.
Salah satu praktik yang diajarkan adalah Pati Raga (Mati di dalam Hidup). Konsep ini berarti:
1. Pejah Salebeting Gesang (mati di dalam hidup): Kemampuan menahan hawa nafsu dan berpuasa keras saat masih hidup.
2. Pejah Raga: Menghentikan jasad agar tidak bergerak sama sekali (boten ebah boten mosik).
3. Sidhakep Suku Tunggal: Posisi duduk dengan satu kaki ditekuk, menutup sembilan lubang nafsu (babahan nawasanga), di mana yang tersisa hanya kedipan mata dan detak napas yang lembut.
Pati Raga ini sangat penting karena berfungsi sebagai 'ular-ular' (alat latihan) untuk memahami pisah dan kumpulnya Kawula Gusti, yang pada akhirnya mempersiapkan diri saat menghadapi sakaratulmaut. Bagi Sultan Agung, pengetahuan spiritual ini tidak didapat dari kemuliaan atau kekayaan, melainkan melalui nugraha (anugerah) dari Yang Maha Kuasa.***
.jpeg)