Gpd6GfWoTSC5TSA9TpCoGUCoBY==
Anda cari apa?

Labels

Dari Geger Pacina Menuju Sala: Kisah Perpindahan Keraton dalam Babad Giyanti Jilid 1

Babad Giyanti mengungkap kehancuran Kartasura (Geger Pacina) dan perpindahan ibukota Pakubuwana II yang megah ke desa Sala (1745 M) menantang logika

Ilustrasi boyongan keraton dari Kartasura ke Sala. (Generatif Gemini)
Ilustrasi boyongan keraton dari Kartasura ke Sala. (Generatif Gemini)


BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Sejarah Perang Jawa yang memicu terbelahnya Mataram, yang kemudian dikenal sebagai Perang Suksesi Jawa III, terekam secara dramatis dan mendalam dalam karya sastra klasik berjudul Babad Giyanti. Keunggulan teks ini terletak pada kredibilitas penulisnya, Raden Ngabehi Yasadipura I, yang merupakan saksi mata langsung dari peristiwa-peristiwa yang ia kisahkan.

Yasadipura I konon mulai mengabdi di keraton Kartasura sejak peristiwa Geger Pacina, momen krusial yang juga menjadi pembuka kisah Babad Giyanti. Karya ini sendiri merupakan karya raksasa, yang dalam versi Balai Pustaka diterbitkan hingga 21 jilid.

Meskipun terdapat beberapa cerita yang tidak terkonfirmasi oleh sumber-sumber VOC, para pakar meyakini bahwa hal ini justru menjadi keunggulan Babad Giyanti, melengkapi catatan sejarah yang mungkin dilewatkan oleh Belanda. Sejarawan terkenal, MC Ricklefs, bahkan menyebut Babad ini sebagai sumber yang "cukup akurat" karena adanya kesamaan catatan dengan arsip VOC dalam beberapa peristiwa.

Pentingnya penerjemahan karya ini, yang ditulis dalam bahasa Jawa kuno lebih dari dua ratus tahun lalu, adalah agar data-data masa lalu ini "mudah dipahami oleh banyak orang" dan menumbuhkan minat untuk kajian lebih lanjut.

Kehancuran Kartasura Akibat Geger Pacina

Kisah Babad Giyanti dimulai dengan gambaran kemegahan Kartasura di bawah takhta Kangjeng Susuhunan Pakubuwana II. Raja digambarkan sebagai sosok yang kaya harta dan kerabat, serta memiliki banyak punggawa, panglima, dan balatentara. Ia berwibawa layaknya dewata yang menguasai Jawa. Keraton digambarkan makmur dan sejahtera, bahkan kehadiran tentara Kumpeni (VOC) di sana tak dibedakan dengan prajurit sendiri.

Namun, kemakmuran itu runtuh oleh kehendak Tuhan. Kartasura mengalami musibah besar ketika datang "pemberontak dengan pasukan menyerang dibantu bangsa Cina" (Geger Pacina). Sumber mencatat kengerian kehancuran tersebut:

...Para punggawa dan para prajurit perwira andalan dalam perang seperti terbuang keberanianya. Harga-dirinya hilang surut, malah penuh was dan rasa takut, hanya berpikir mengungsi untuk hidup. Tidak melawan musuh, tak beda dengan perempuan. Sudah menjadi kehendak Yang Menguasai Dunia, rusaklah keraton Kartasura.

Setelah pemberontakan berhasil ditumpas, Raja Pakubuwana II dan para punggawa kembali ke keraton, tetapi mereka mendapati Kartasura "sangat rusaknya keraton dan bangunan mereka. Mustahil dapat dipulihkan kembali". Melihat kondisi yang parah, Sang Raja menyatakan keinginan untuk memindahkan pusat pemerintahan:

Kalau dipikir semakin menjadi-jadi kesedihannya, kalau dirasakan semakin sakit hatinya melihat rusaknya negeri Kartasura. Bersabda sang Raja kepada Patih, “Dengarkan engkau Patih, kehendak hatiku tak bisa ditunda lagi. Ingin berpindah negara. Carilah desa mana yang baik di sebelah timur ini, aku ingin membuat kotanegara!”

Perdebatan Pemilihan Ibu Kota: Logika Belanda vs. Ramalan Jawa

Untuk mencari lokasi baru, Raja menugaskan dua Patih utama, Adipati Pringgalaya dan Sindureja, bersama komandan garnisun Kumpeni di Kartasura, Mayor Johan Andries Baron von Hohendorff. Hohendorff adalah perwira yang sangat disukai Raja, bahkan diangkat sebagai "saudara muda" karena kesetiaannya saat Raja mengungsi.

Mayor Hohendorff mengusulkan desa Kadipala, karena letaknya luas dan rata, cocok sebagai ibukota baru. Namun, usulan ini ditentang oleh logika spiritual para ahli nujum Jawa:

Walau desa Kadipala bagus, letaknya strategis dan topografinya datar, jika dipilih kelak akan menjadi kota yang ramai dan sejahtera. Namun menurut jangka atau penglihatan para ahli nujum tempat ini akan segera rusak.

Tumenggung Anggawangsa, ahli nujum kerajaan, bersikeras mengusulkan desa Sala, meskipun secara topografi desa tersebut "sangat buruk lokasinya, tempatnya rendah dan tidak rata. Dan lagi terlalu dekat dengan sungai besar" (Bengawan Solo). Menurut ramalan Anggawangsa, Sala dipilih karena:

...desa Sala lebih baik dipakai sebagai keraton. Akan tetap lestari selamat, makin lama makin sejahtera. Kuat dan kokoh mulia di tanah Jawa. Kelak akan ramai dikunjungi orang dari seberang yang ke Jawa. Akan hilang segala kisah peperangan.

Meskipun Hohendorff keberatan dengan kondisi fisik Sala yang "berawa, rendah dan sulit dilalui", pertimbangan spiritual Anggawangsa yang menjanjikan kelestarian dan kesejahteraanlah yang akhirnya disetujui.

Prosesi Boyongan Keraton yang Megah ke Surakarta

Setelah Sala disepakati, pembangunan keraton baru segera dilaksanakan. Desa Sala dibersihkan, penduduk lokal dipindah, dan tanah yang rendah diurug. Arsitektur bangunan mencontoh keraton Kartasura (Yasadipura I mencatat bahwa arsitek perancangnya konon adalah Pangeran Mangkubumi).

Perpindahan Keraton (boyongan) dilaksanakan dengan sangat megah dan meriah. Raja, permaisuri, dan seluruh kerabat memakai "busana yang indah-indah yang dihias gemerlap permata". Prosesi ini dilaksanakan pada:

...hari Rabu pagi, tanggal 17 Sura tahun Je. Dengan angka tahun sesuai sengkala kombuling pudya kapyarsi ing nata atau tahun 1670 AJ. Dalam angka tahun Masehi 1745 AD.

Prosesi tersebut merupakan demonstrasi kekuatan (show of force) yang luar biasa. Barisan dihiasi bendera, umbul-umbul, dan payung kebesaran, diiringi tembakan kehormatan dari senapan Kumpeni dan gelegar meriam. Di barisan paling depan, dibawa bibit pohon beringin kurung sebagai simbol negara yang akan ditanam di alun-alun.

Para balatentara yang ikut memindahkan keraton ke Surakarta Adiningrat memenuhi jalan, dengan jumlah pasukan berkuda diperkirakan "lima puluh ribu". Pemandangan ini digambarkan seperti:

...Lautan tampak seperti sungai yang airnya meluber ke sekitar.

Prosesi akbar ini menandai berakhirnya era Kartasura dan dimulainya era baru di Surakarta. Sang Raja merasa senang karena kini memiliki negara baru yang "bebas dari jamahan musuh, yang diharapkan membawa kesejahteraan seluruh rakyat Surakarta Adiningrat".***

0Komentar

Tambahkan komentar

Info

  • Griya Lestari D3 12A, Ngaliyan, Kota Semarang
  • +628587503514
  • redaksibabad.id@gmail.com