Gpd6GfWoTSC5TSA9TpCoGUCoBY==
Anda cari apa?

Labels

Dominasi Asing: Intervensi Kompeni dan Kebijakan Jenderal Daendels yang Merongrong Kedaulatan

Mengulas campur tangan Belanda (Kompeni/Gupremen) dalam urusan internal Keraton Yogyakarta, termasuk peran Gubernur Jenderal Daendels.

Gubernur Jenderal Marsekal Daendels
Ilustrasi Gubernur Jenderal Marsekal Daendels. (generatif Gemini)


BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Setelah Perjanjian Gianti (1755) membelah Jawa menjadi dua, dan kemudian Surakarta terbagi lagi, panggung politik di Jawa semakin rapuh. Babad Mangkubumi (bagian II) yang ditulis dalam bentuk prosa atau gancaran, secara tajam merekam bagaimana "kelihaian orang asing" (Kompeni atau Gupremen Belanda) memanfaatkan perpecahan ini, hingga Jawa hanya "tinggal empat keping wilayah kecil kerajaan".

Intervensi asing tidak lagi bersifat sembunyi-sembunyi, melainkan terang-terangan, merongrong wibawa dan kedaulatan Keraton Yogyakarta di bawah Sri Sultan Hamengkubuwono II (Sultan Sepuh).

Tuan Minister dan Hilangnya Kehormatan Raja

Dalam pusaran kekuasaan di Yogyakarta, posisi Sultan perlahan-lahan tergerus oleh perwakilan Kompeni, para Overste dan Minister. Sumber menggarisbawahi pengakuan pahit Sultan Hamengkubuwono II: "sudahlah jelas bahwa aku ada di bawah kekuasaan Jenderal Kompeni".

Salah satu tokoh penting yang menjadi mitra Kompeni adalah Tuan Overste Iseldhik. Namun, Iseldhik akhirnya dipindahkan dari Yogyakarta karena, menurut sumber, ia "sering berselisihan dengan kehendak Sri Paduka Kangjeng Sultan". Iseldhik khawatir perselisihan itu akan mendatangkan aib dan "dedukanipun Jendral" (kemarahan Jenderal).

Sebagai pengganti Iseldhik dan Overste Pandhenbereh, datanglah Tuan Minister baru bernama Overste Minaren. Sumber menyebutkan, atas perintah Tuan Jenderal, Minaren ditunjuk sebagai Tuan Minister di Yogyakarta, yang mewakili kekuasaan Gubernur di Semarang. Jabatan Minister ini datang dengan "tanda bintang dan payung emas bulan purnama".

Bersamaan dengan pengangkatan Minister, Kompeni menetapkan serangkaian peraturan baru mengenai tata cara hubungan: "Kalau Kangjeng Sultan duduk di mana saja, tidak boleh lebih tinggi daripada Tuan Minister". Aturan baru ini, menurut Babad Mangkubumi, merupakan pukulan telak bagi wibawa raja Jawa.

Kebijakan Marsekal Daendels: Ancaman 7000 Serdadu

Puncak intimidasi datang melalui kedatangan Kangjeng Tuan Gubernur Jenderal Marsekal Daendels (Dhandheles Mareskal) yang berkeliling Pulau Jawa. Tuan Jenderal mempersiapkan pasukan dengan jumlah besar, "lebih kurang 7000 orang", lengkap dengan persenjataan, tujuannya untuk berjaga-jaga demi keselamatan.

Namun, Sultan Hamengkubuwono II menanggapi kedatangan Daendels dengan penuh kecurigaan. Setelah menerima surat dari Daendels, Sultan bersiap dengan "kuda, warastra" (senjata). Sikap Sultan yang siaga perang ini membuat Daendels sangat marah.

Jenderal Daendels kemudian mengirim surat lagi kepada kedua raja (Surakarta dan Yogyakarta), meminta putra dan kerabat istana datang ke Semarang. Tujuannya: "agar dapat menyaksikan bagaimana perlengkapan perang, jika kedatangan armada Inggris". Yogyakarta mengutus Rangga Prawirodirjo dan kerabat lain, tetapi setibanya di Semarang, utusan tersebut hanya disuruh melihat "latihan perang-perangan dan latihan perang tanding" sebelum disuruh kembali. Ini merupakan demonstrasi kekuatan yang jelas.

Konflik Kursi Gilang dan Intervensi Militer

Salah satu pertarungan simbolis terpenting adalah mengenai kursi kehormatan Sultan yang beralas kayu gilang. Sultan Hamengkubuwono II bersabda bahwa dia tidak berani duduk di sebelah kiri Gubernur, karena takut kehilangan "luhuring kaurmatan" (kehormatan).

Ketika Minister Moris menuntut agar kedudukannya sejajar dengan Sultan—karena Minister bertindak atas nama Tuan Jenderal—Sultan menolak keras. Menurut Babad Mangkubumi, Sultan Hamengkubuwono II menganggap alas kayu gilang (tempat duduk raja) telah menjadi "ukuran wibawa raja". Ia bahkan bersabda bahwa persoalan "gilang" ini akan ia "labuhi lara pati" (dipertaruhkan dengan sakit dan mati). Sultan juga merasa dipermalukan jika harus disamakan dengan Minister Moris, sebab ia merasa dirinya adalah "putra Jenderal" (mengacu pada ayahnya, Sultan I, yang dianggap Jenderal).

Intervensi Daendels juga bersifat militer. Daendels memerintahkan Pangeran Aryo Prangwadana (Mangkunegoro) untuk membagi prajuritnya, dan sebagian ditugaskan ke loji Yogyakarta. Tindakan ini menimbulkan amarah Sultan, yang menganggap penempatan pasukan Prangwadana di loji itu meremehkan Sultan. Jenderal Daendels menegaskan bahwa jika ada yang membangkang, termasuk kehendak membuat loji batas, maka mereka adalah "satru" (musuh).

Peristiwa-peristiwa yang dicatat oleh Babad Mangkubumi ini menunjukkan bahwa dominasi Kompeni di Yogyakarta telah mencapai tingkat yang sangat tinggi, di mana bahkan masalah tata krama duduk dan wibawa istana pun harus tunduk pada kehendak Gubernur Jenderal dan perwakilannya. Kondisi ini membuat Keraton rentan, ibarat rumah yang jendelanya terbuka lebar bagi perampok karena pertengkaran internal penghuninya.***

0Komentar

Tambahkan komentar

Info

  • Griya Lestari D3 12A, Ngaliyan, Kota Semarang
  • +628587503514
  • redaksibabad.id@gmail.com