BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Pergantian takhta dan kekacauan politik di Tanah Jawa pada periode Babad Kartasura menciptakan medan intrik yang kejam, di mana kesetiaan seorang patih diuji secara ekstrem. Di tengah pemberontakan Pangeran Balitar dan Pangeran Purbaya, nasib Patih Tumenggung Cakrajaya terombang-ambing, beralih dari kawan seperjuangan menjadi narapidana, sebelum akhirnya diangkat kembali dengan gelar baru. Kisah ini, yang terekam detail dalam catatan sejarah, menunjukkan bagaimana kekuatan lobi dan jaminan pribadi dapat membalikkan putusan politik tertinggi.
Penangkapan dan Penahanan Patih Cakrajaya di Loji Semarang
Kekacauan yang melanda Kartasura—ditandai dengan perebutan kekuasaan oleh putra-putra raja—membuat Raja (Susuhunan) merasa perlu mengambil tindakan terhadap beberapa pembesar yang dianggap berkhianat. Raja Kartasura mengirimkan utusan kepada Amral Baritman di Semarang, menyampaikan surat yang berisi tuduhan serius terhadap Patih Tumenggung Cakrajaya.
Isi surat tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa Cakrajaya dianggap berbuat kesalahan. Tuduhan utamanya adalah bahwa Patih Cakrajaya telah bersekongkol dengan Pangeran Purbaya dan Pangeran Balitar untuk melancarkan makar (karya mengsah) terhadap kekuasaan Kartasura. Fitnah ini, yang datang dari laporan palsu, menempatkan Cakrajaya dalam posisi yang sangat berbahaya.
Amral Baritman, yang telah menyadari apa yang tersirat dalam surat tersebut, bertindak sesuai permintaan raja: ia menahan Tumenggung Cakrajaya dan menjebloskannya ke dalam penjara di loji Semarang. Tindakan ini dilakukan Amral atas dasar perintah dari Kartasura.
Menariknya, Patih Cakrajaya sama sekali tidak melakukan perlawanan. Ia menyerah mutlak, menyatakan bahwa hidup dan matinya telah diserahkan di tangan Raja Kartasura, dan ia akan menerima apa pun putusan yang menimpanya. Cakrajaya berpendapat bahwa baginya, "tak ada jalan lain," karena sebagai abdi raja, ia tidak takut mati.
Upaya dan Jaminan Amral Baritman kepada Raja untuk Pembebasan Cakrajaya
Sebelum Amral Baritman berangkat ke Kartasura untuk memenuhi panggilan raja dan memimpin penyerbuan ke Mataram, ia menyempatkan diri mengunjungi Cakrajaya di loji. Amral tampak sangat sedih, bahkan mengulurkan tangan dan mengucapkan salam hormat kepada Cakrajaya, diiringi tetesan air mata. Amral mengakui bahwa Cakrajaya adalah "teman seperjuangan di Surabaya" dan meyakini bahwa ia tidak bersalah.
Amral berjanji akan menggunakan pengaruhnya kepada raja: "Saya berjanji, besok sedatang saya di Kartasura akan saya usahakan menemui raja. Dan akan saya ceritakan, apa yang baik dan buruk dari anda". Amral menambahkan, jika Cakrajaya benar-benar setia, ia pasti akan mendapat kemuliaan.
Namun, Cakrajaya dengan bijaksana menasihati Amral untuk berhati-hati. Cakrajaya khawatir Amral berbicara terlalu cepat, yang justru dapat menambah kemarahan raja atau menimbulkan salah pengertian bahwa Cakrajaya berusaha menitipkan nasibnya kepada Amral. Amral memeluk Cakrajaya dan berjanji akan bertindak hati-hati, memastikan tujuannya "adalah mencapai kebaikan".
Setelah Amral tiba di Kartasura, ia melapor kepada Raja (Susuhunan) tentang keberhasilan merebut Mataram. Ia kemudian mengajukan permohonan tunggal: "Tuan Sunan, akan halnya abdidalem Tuan Sunan yang bernama Cakrajaya. Kami mohon kembali Cakrajaya, kami yang akan menanggungnya". Amral menjamin bahwa Cakrajaya adalah "teman sepenanggungan dan seperjuangan".
Saat raja bimbang, Ki Demang Urawan (yang kebetulan hadir) mendukung lobi Amral, menjelaskan bahwa Cakrajaya telah menjadi korban fitnah dan tidak bersalah. Ia menegaskan bahwa Amral dan Cakrajaya adalah satu, yang bertugas bersama-sama.
Patih Cakrajaya Diangkat Menjadi Dipati Danureja
Laporan Demang Urawan meluluhkan hati raja. Ingkang Sinuhun merasa lega dan setuju untuk memaafkan Cakrajaya. Amral Baritman, yang sangat gembira, segera memohon izin kembali ke Semarang untuk membebaskan Cakrajaya dari loji. Raja menyetujui, meminta Amral segera kembali.
Setelah dibebaskan dari tahanan di loji oleh Amral sendiri, keduanya kembali ke Kartasura. Di hadapan raja, Amral kembali berkelakar, menantang raja: "Kalau Cakrajaya salah, bunuh saja sekarang. Saya yakin, Cakrajaya mengikhlaskan lehernya". Raja akhirnya mengakui: "Memang benar, Cakrajaya orang yang setia dan jujur".
Awalnya, raja menyarankan Cakrajaya berdiam di Kadipaten baru karena kediaman lamanya sudah rusak. Namun, Cakrajaya memohon untuk diizinkan kembali ke rumah lamanya. Ini adalah sebuah siasat yang didukung Amral Baritman, bertujuan agar rakyat Kartasura yang sempat mengungsi dapat melihat Cakrajaya kembali ke kediaman asalnya. Dampaknya: rakyat yang mengungsi berbondong-bondong kembali, memulihkan populasi Kartasura.
Pada hari Senin, sebagai puncak pemulihan politiknya, raja memberikan kenaikan pangkat kepada Tumenggung Cakrajaya. Namanya diganti dan ia diangkat sebagai Ki Adipati Danureja, Patih Kraton Kartasura. Danureja menjadi sosok yang perkasa dan hanya diimbangi oleh Pangeran Arya Panular di seluruh pelosok Kartasura.
Peristiwa ini menjadi contoh betapa fluidnya kekuasaan dan status sosial di tengah pergolakan politik Jawa abad ke-18, di mana kekalahan tidak selalu berarti akhir, melainkan dapat menjadi awal bagi jabatan yang lebih tinggi, asalkan didukung oleh lobi yang kuat dan kesetiaan yang terbukti (Moelyono Sastronaryatmo, tt).***
