BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Operasi besar Kumpeni menyisir Sembuyan dan Mataram. Sultan Dhandhun kabur ke gua bersama 70 istri. Pangeran Mangkunagara lolos ke utara, membuat Hohendorff frustrasi.
Kekuatan Surakarta dan Operasi Pembersihan Sembuyan
Setelah Surakarta dilalap api akibat serangan mendadak Pangeran Mangkubumi, Raja Pakubuwana II segera mengambil tindakan drastis. Bantuan militer dari Batavia datang, dipimpin oleh Mayor Tenangkus dengan 200 prajurit dragonder untuk tugas membasmi musuh.
Pasukan gabungan Surakarta dan Kumpeni sepakat membagi operasi: sedikit pasukan ke utara, dan sebagian besar pasukan dikerahkan ke selatan, karena di wilayah Mataram (Wukir Kidul) banyak pangeran pembangkang yang berkumpul. Tiga pimpinan utama yang ditunjuk sebagai senapati untuk wilayah selatan adalah Adipati Pringgalaya, Mayor Tenangkus, dan Mayor Hohendorff. Kekuatan ini didukung pula oleh pasukan berkuda yang sangat besar dari mancanegara timur, termasuk Adipati Suradiningrat dari Ponorogo, yang membawa setidaknya 3.000 prajurit berkuda dan 10.000 prajurit darat.
Target utama operasi ini adalah Gunung Sembuyan, markas Pangeran Buminata yang telah menobatkan diri sebagai Sultan Dhandhun Martengsari. Mereka menilainya sebagai raja-rajaan yang "tidak layak" (botên layak) karena hanya bisa membuat markas di gunung.
Sultan Dhandhun: Mengungsi ke Gua Bersama Tujuh Puluh Istri
Pasukan gabungan Mayor Hohendorff dan Adipati Ponorogo bergerak menuju Kasine, yang merupakan bekas keraton Sultan Dhandhun. Markas tersebut ternyata sudah ditinggalkan; sang Sultan lari mengungsi di Gunung Lincip di Pideksa, di mana terdapat sebuah gua besar yang konon muat 1.600 orang.
Dengan pasukan yang sudah disiapkan untuk bertempur, Kumpeni dan Surakarta mengepung pintu gua. Setelah sempat menembaki mulut gua sepuluh kali (sanajata kaping sadasa), mereka masuk ke dalam dengan penasaran. Hasilnya sangat mengejutkan dan memalukan:
"...Tuan Mayor keduanya tertawa bersama, karena sultannya tak ada. Hanya para perempuan yang menjerit...".
Gua itu dipenuhi oleh para perempuan (dyah) yang menjerit dan meminta belas kasihan. Sultan Dhandhun telah melarikan diri, namun ia kabur dengan membawa semua garwa (istri) dan putra (anak). Sumber menyebut Sultan Dhandhun lari bersama setidaknya tujuh puluh istrinya (para dyah ting jalêrit), yang menimbulkan rasa kasihan dan jijik bagi Mayor Kumpeni.
Adipati Suradiningrat menyatakan dengan tegas bahwa Sultan Dhandhun ini adalah "pangeran buruk" (pangeran ala) yang "hanya berburu perempuan" (amung bêbujung pawèstri) dan tidak layak menjadi raja karena kekuatannya kecil dan ia selalu menghindar. Mayor Hohendorff dan Tenangkus memutuskan untuk meninggalkan para perempuan itu, namun mereka berhasil menguasai wilayah tersebut. Setelah menahan para mantri Ponorogo untuk menyisir Sembuyan, Mayor Hohendorff kembali ke Bureng dengan suka cita setelah menerima upeti penaklukan dari bekel desa.
Pengejaran Pangeran Mangkunagara dan Frustrasi Hohendorff
Sementara Sultan Dhandhun dipermalukan, musuh yang lebih gigih, Pangeran Adipati Mangkunagara (Mas Said), berhasil lolos. Pasukan Kumpeni terus mengejarnya kemanapun Pangeran pergi, mulai dari utara ke selatan, turun jurang hingga naik gunung.
Pengejaran ini dilakukan secara intensif oleh Mayor Tenangkus dan Mayor Hohendorff. Mangkunagara dan pasukannya berada dalam kesulitan besar (kalangkung ing musakatira), tidak sempat makan dan tidur. Mayor Tenangkus memimpin pengejaran melintasi Prambanan, sementara Hohendorff menyisir daerah gunung menuju Imagiri.
Ketika Pangeran Mangkunagara dilaporkan berada di Mataram, berpindah-pindah dari Saminan ke Bradasan, lalu bubar ke utara dan kembali ke selatan, kedua Mayor menjadi terpaku dan jengkel (jêlu tyas angangah-angah). Musuh yang selalu menghindar ini membuat upaya Kumpeni memimpin perang menjadi sia-sia, memaksa mereka mengistirahatkan pasukan.
Bahkan, Hohendorff sampai mencoba taktik licik di Ponjong, dengan membagikan uang koin dua ratus keping (keton) kepada orang-orang desa sebagai hadiah bagi siapa saja yang dapat menunjukkan tempat persembunyian Pangeran Mangkunagara. Usaha ini berhasil mengarahkannya ke Pangeran Pamot (adik Mangkunagara) yang bersembunyi di Katongan. Pamot berhasil lolos, tetapi dua pembantunya ditangkap dan dibunuh, dan jarahan senilai seribu tiga ratus real berhasil didapatkan oleh Mayor Hohendorff.
Frustrasi Mayor Hohendorff terhadap Mangkunagara dan kelompoknya memuncak karena sang Pangeran selalu berhasil menghindari tangkapan. Hohendorff dan Tenangkus mengakui kesulitan mereka:
"...Sabên-sabên pinaranan angoncati, ngunthul kaponthal-ponthal..."
Yang artinya: Setiap kali didekati selalu menghindar, yang mengikuti sampai kewalahan. Kumpeni akhirnya kembali ke markas besar mereka di Bureng, tetapi segera menyebar mata-mata untuk melacak keberadaan Pangeran Mangkunagara. Taktik menghindar dan menyebar (ngilang-ilang kinalang) ini terbukti efektif dalam membuat frustrasi komandan Kumpeni.***
