Gpd6GfWoTSC5TSA9TpCoGUCoBY==
Anda cari apa?

Labels

Konflik Cakraningrat dan Raden Jimat di Madura: Campur Tangan Kumpeni dan Amral

Tumenggung Cakraningrat menghadapi Dewa Ketug di Madura. Konflik Cakraningrat dan Raden Jimat (Cakranegara). Amral Baritman mengeluh strategi Gobyo.

Ilustrasi Kisah tragis Tumenggung Cakraningrat di kapal VOC. Kekerasan, pengkhianatan, dan pertempuran sengit. (Generatif Gemini)

BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Intrik kekuasaan dan pengkhianatan menjadi kisah pahit di Tanah Jawa, khususnya Madura, di tengah campur tangan Kompeni Belanda. Konflik antara Tumenggung Cakraningrat dan ambisi Dewa Ketug, disusul peran sentral Raden Jimat, menunjukkan bagaimana kekuasaan lama runtuh di hadapan siasat politik Kartasura dan kekuatan senjata Amral Baritman. Sementara itu, strategi Kumpeni sendiri di medan laga Surabaya menjadi bahan perdebatan sengit antara para komandan mereka.

Pengangkatan Raden Jimat (Cakranegara) sebagai Raja di Madura dan Pengaruhnya

Raden Jimat, seorang putra Mandura, awalnya berada di Nagri Manguwi di bawah asuhan Dewa Ketug. Namun, persekutuan ini tidak bertahan lama. Raden Jimat melarikan diri dari Manguwi karena merasa Dewa Ketug telah mengingkari janji (cidra ing jangji) untuk menggempur Nagri Madura. Karena kejengkelan ini, Raden Jimat kemudian bergabung dengan pasukan perlawanan di Jawa, yakni bersama Panembahan Purbaya dan Sultan Balitar di Madiun.

Penggabungan Raden Jimat disambut baik oleh kedua pangeran Mataram tersebut. Bahkan, Raden Jimat menerima seorang wanita untuk dijadikan istrinya sebagai tanda terima kasih dari Sultan dan Panembahan.

Puncak perubahan kepemimpinan di Madura terjadi setelah Tumenggung Cakraningrat—yang juga dikenal sebagai Panembahan Mandura—gugur. Kartasura, di bawah Susuhunan Pakubuwana, mulai menyusun ulang struktur kepemimpinan di sana. Pangeran Arya Balitar menghaturkan usulan agar putra almarhum Panembahan Mandura yang bernama Cakranagara, serta dua cucu almarhum (Tumenggung Suryadinata dan Tumenggung Sasrawinata) dipertimbangkan untuk jabatan. Namun, Raja Kartasura memiliki keputusan berbeda, memilih mengangkat putra Panularan yang bernama Raden Suradiningrat untuk menggantikan kakaknya dan menjabat sebagai Dipati Cakraningrat di Mandura. Struktur baru ini mencerminkan kontrol Kartasura atas Madura pasca-konflik.

Kekalahan dan Pengungsian Dewa Ketug dari Madura

Meskipun Dewa Ketug berperan dalam awal konflik Madura dengan membawa Raden Jimat ke Manguwi, pusat tragedi kekuasaan Madura justru menimpa Tumenggung Cakraningrat sendiri (ayah Raden Jimat). Cakraningrat terlibat dalam perang sengit melawan menantunya, Arya Dikara, di Pamekasan. Perang ini dipicu karena Cakraningrat menahan putrinya (istri Arya Dikara).

Pasukan Cakraningrat terdesak mundur dan banyak prajurit Madura yang berbalik memihak Arya Dikara, yang didukung oleh prajurit Makasar. Dalam keputusasaan, Cakraningrat berniat mengungsi kepada Kumpeni. Ia lolos dari puri yang sudah dikepung oleh barisan adiknya, Raden Suradiningrat, dan naik ke kapal Kumpeni yang dipimpin Kapten Kartas.

Namun, tragedi mencapai klimaksnya di atas kapal. Ketika istrinya, Raden Ayu Sampang, dihormati dengan cara dicium di leher oleh Kapten Kartas (sesuai adat Belanda), Cakraningrat marah besar. Ia mengamuk layaknya singa yang terluka. Dalam amukannya, Cakraningrat berhasil membunuh Kapten Kartas dan menghabisi hampir seluruh Kumpeni di kapal. Cakraningrat gugur setelah dipukul bertubi-tubi dengan popor senapan; kepalanya dipenggal dan dibawa ke Surabaya, sementara tubuhnya dibuang ke laut. Gugurnya Cakraningrat, Dipati Madura yang gagah perkasa, merupakan bukti bahwa Kumpeni Belanda tidak memiliki belas kasihan, bahkan terhadap sekutu yang mereka janjikan perlindungan.

Kritik Amral Baritman terhadap Strategi Kumendur Gobyo

Di tengah perebutan kekuasaan Madura, Kumpeni Belanda dan Kartasura juga menghadapi perlawanan keras dari Dipati Jayapuspita di Surabaya. Pertempuran ini membuat Amral Baritman frustrasi.

Amral Baritman bahkan menunjukkan kekecewaannya secara ekstrem: ia tidak mau makan nasi selama tiga hari, melainkan hanya menyisir padi, dan tidur dengan posisi menungging, sebagai bentuk ‘bertapa’ karena merasa berat dan putus asa untuk menaklukkan Surabaya.

Dalam perundingan strategi dengan Ki Patih Cakrajaya dan para bupati lainnya, Kumendur Gobyo melancarkan kritik tajam terhadap metode perang yang digunakan. Gobyo mengeluh bahwa perang meriam (aprang mriyem) tidak menghasilkan apa-apa dan hanya menghabiskan biaya. Kumendur Gobyo memperkirakan, bahwa perang meriam yang berlangsung itu tidak akan selesai—bahkan selama sawindu (delapan tahun) pun—benteng Surabaya tidak akan tertembus.

Gobyo menyarankan agar strategi diubah menjadi perang adu dada (sami aprang adhadha), yaitu pertempuran langsung menggunakan prajurit. Usulan Gobyo disetujui, dan Mayor Kustap serta Kapten Pardemes dikirimkan untuk memimpin pasukan gabungan dalam serangan darat. Meskipun demikian, Amral Baritman dan Ki Patih Cakrajaya memilih untuk tidak memimpin langsung pertempuran di garis depan, melainkan tetap di kota yang telah mereka duduki, sementara Kumendur Gobyo-lah yang memimpin pengejaran Jayapuspita ke Kaputran.

Konflik di Madura dan perdebatan strategi di Surabaya menunjukkan kompleksitas militer dan politik yang dihadapi Kartasura dan Kumpeni. Kekuatan lama di Madura dihabisi secara brutal demi kepentingan Kumpeni, sementara para komandan Belanda sendiri berselisih mengenai cara terbaik untuk mencapai kemenangan di Jawa Timur.***

0Komentar

Tambahkan komentar

Info

  • Griya Lestari D3 12A, Ngaliyan, Kota Semarang
  • +628587503514
  • redaksibabad.id@gmail.com