Menghancurkan Rival Lama: Penaklukan Surabaya, Madura, dan Keruntuhan Giri
Puncak Mataram: Sultan Agung taklukkan Madura (1624) dan Surabaya (1625), yang menyerah karena kelaparan. Raja ulama Giri (1636) juga tumbang.
![]() |
| Ilustrasi Sultan Agung yang membawa Mataram ke masa kejayaan. |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Puncak ekspansi teritorial Mataram di bawah Sultan Agung ditandai dengan kemenangan atas koalisi Surabaya (1625). Penyerahan Surabaya, rival lama Mataram, terjadi tanpa pertempuran besar, karena rakyat menyerah akibat kelaparan dan penyakit. Sebelum Surabaya, Madura Barat (Arosbaya) dan Sumenep ditaklukkan pada 1624. Akhirnya, Kerajaan Giri dihancurkan pada tahun 1636. Sultan Agung, yang ingin memperluas kekuasaan ke seluruh Jawa, pernah mengklaim kedudukan tertingginya setara Syah Persia dan Mogol Besar India.
Penaklukan Madura (1624) dan Pangeran Pekik
Ekspansi Sultan Agung ke Jawa Timur yang dramatis ditandai dengan kemenangan awal di Madura, setahun sebelum penaklukan Surabaya. Pada saat itu, Madura terbagi menjadi beberapa kerajaan kecil.
Madura Barat, yang berpusat di Arosbaya, menjadi fokus perhatian Mataram. Menurut catatan Madura, Panembahan Lemah Duwur dari Arosbaya, yang meninggal sekitar tahun 1590, digantikan oleh anaknya, Panembahan Tengah, yang merupakan putra dari perkawinan dengan putri Pajang. Namun, hubungan Mataram dan Madura tidak bersahabat, terbukti dari cerita tutur bahwa para penguasa Madura menggabungkan diri dengan raja-raja Jawa Timur dan Pesisir untuk menahan tentara Mataram sekitar tahun 1590.
Pada tahun 1624, pasukan Mataram menyerbu Madura. Berita dari Belanda pada masa itu mengungkapkan bahwa Mataram akhirnya merebut kemenangan, meskipun pasukan Mataram menghadapi situasi yang berat di Madura.
Madura Barat menyerah lebih dahulu. Salah satu pemimpinnya, Raden Prassena dari Arosbaya, melarikan diri ke Giri. Sementara itu, bupati Balega (Madura Barat) ditangkap dan dibawa ke Mataram, lalu dibunuh di tengah jalan dekat Jurang Jero. Di Sumenep (Madura Timur), Adipati Sumenep ditangkap, diangkut, dan dibunuh dengan keris dalam perjalanan. Namun, terdapat versi yang menyebutkan bahwa Raja Sumenep mengungsi ke Banten karena takut pada Mataram, tetapi kemudian diserahkan kembali dan dibunuh.
Setelah penaklukan, Madura, baik Barat maupun Timur, diperintah atas nama raja Mataram. Sultan Agung melaksanakan pemindahan paksa secara besar-besaran, dengan mengangkut 40.000 tawanan perang (pria, wanita, dan anak-anak) dari Madura ke Gresik dan ke Jawa Tengah untuk dipekerjakan.
Sosok Pangeran Pekik memiliki keterkaitan penting dalam peristiwa ini, meskipun ia dikenal karena perannya di Surabaya. Pangeran Pekik adalah putra dari Panembahan Jayalengkara, raja merdeka terakhir Surabaya. Ayahnya meninggal sekitar tahun 1630. Setelah penaklukan, Pangeran Pekik (yang kemudian menjadi ipar Sultan Agung) dipaksa ikut serta dalam ekspedisi militer Mataram, termasuk serangan terhadap Giri pada tahun 1636.
Kemenangan atas Surabaya (1625) dan Kejatuhan Kota Pelabuhan
Surabaya, yang merupakan musuh utama dan kota pelabuhan perkasa yang dilindungi oleh rawah dan tembok tinggi, menjadi target utama Mataram. Raja Mataram secara teratur merencanakan atau mengadakan ekspedisi militer ke daerah sekitar Surabaya setiap tahun sejak 1610 hingga 1613, dan kemudian dari 1620 hingga 1625.
Pada tahun 1625, Mataram melancarkan serangan keempat dan terakhir terhadap Surabaya. Serangan ini dipimpin oleh Tumenggung Mangun Oneng, Tumenggung Yuda Prana, dan Tumenggung Ketawangan.
Strategi utama Mataram bukanlah serangan langsung yang mematikan, melainkan pengepungan yang melemahkan. Pasukan Mataram berhasil membendung aliran Sungai Brantas, termasuk Kali Mas dan Kali Pegirinan. Pembendungan ini menyebabkan air yang mengalir ke Surabaya menjadi kotor, merembes melalui keranjang-keranjang yang terbuat dari sangkai dan buah aren yang diikat pada tonggak-tonggak kali.
Akibat blokade dan kondisi yang tidak sehat, penduduk Surabaya menderita parah. Kota itu dilanda berbagai penyakit (batuk-batuk, gatal-gatal, demam, dan sakit perut). Kelaparan menjadi epidemi. Laporan Belanda mencatat bahwa rakyat Surabaya, antara lain Raja Tua dan Raja Muda, menyerah akibat kekurangan pangan dan penyakit. Hanya sekitar 50 hingga 60 ribu jiwa yang tersisa.
Penyerahan Surabaya menjadi sorotan karena terjadi pada titik terakhir tanpa pertempuran besar untuk merebut kota. Adipati Sanjata, salah satu pemimpin Surabaya, benar-benar memiliki alasan untuk melanjutkan pertempuran, kecuali karena pihak yang kalah (Surabaya) "dilemparkan sangat jauh, dan yang didendam oleh Susuhunan".
Setelah penaklukan ini, Sultan Agung memperluas keratonnya dan meningkatkan gelarnya menjadi Susuhunan pada tahun 1624. Penyerahan ini adalah kali pertama Raja Muda (Pangeran Pekik) ditemukan. Untuk memastikan loyalitas, Pangeran Pekik, yang dipandang sebagai keturunan wali, diwajibkan oleh Sultan Agung untuk tinggal di luar kota Surabaya dan melakukan pertapaan di tempat yang sunyi, di dekat tempat-tempat suci.
Keruntuhan Giri dan Akhir Hegemoni Raja Ulama (1636)
Setelah menguasai Madura dan Surabaya, Mataram mengarahkan perhatian pada pusat keagamaan dan kekuasaan Pesisir yang paling berpengaruh: Giri. Giri (Gresik-Giri) merupakan pusat peradaban Pesisir Islam yang pernah dipimpin oleh raja-ulama terkenal, Sunan Prapen. Kekuasaan Giri, yang disebut sebagai "Kerajaan Imam" (yang berkuasa di bidang spiritual), meluas ke sepanjang pantai pulau-pulau Nusantara Timur. Giri adalah salah satu dari tiga kerajaan terpenting yang diperintah oleh pemimpin agama pada abad ke-16 (selain Cirebon dan Kudus).
Giri, yang menjadi tempat berlindung bagi musuh-musuh Mataram yang melarikan diri dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, menjadi simbol perlawanan terakhir terhadap hegemonis Mataram. Raja-raja yang melarikan diri ke Giri termasuk raja Pajang dan raja Tuban.
Sultan Agung, setelah merebut Surabaya pada 1625, sempat menunda rencana serangan terhadap Blambangan dan Giri. Namun, Mataram menganggap bahwa kekuasaan kerajaan dan kebudayaan mereka dibangun dari kekayaan kerajaan Pesisir yang ditaklukkan, sehingga penaklukan total adalah tujuan akhir.
Penaklukan Giri terjadi pada tahun 1636. Pangeran Pekik dari Surabaya, yang telah menjadi ipar Sultan Agung, dipaksa oleh Sultan Agung untuk berpartisipasi dalam serangan melawan Giri. Penaklukan Giri merupakan kemenangan penuh bagi Mataram, sebab Giri mengadakan perlawanan dengan mengerahkan segala tenaga yang ada padanya. Keruntuhan Giri menandai akhir dari hegemonis "raja ulama" di Jawa.
Sultan Agung, setelah kemenangan-kemenangan besar ini, memandang tinggi kekuasaannya, yang terbukti ketika para penguasa daerah pesisir dipaksa untuk menghormati Sunan. Pada tahun 1660, penguasa Palembang bahkan merasa takut akan menerima surat dari Mataram jika di atasnya tidak disamakan dengan Syah Persia dan Mogol Besar India. Kekuatan Mataram dibangun oleh semangat tempur "orang pedalaman" yang iri dan tamak akan kekayaan "orang Pesisir".***
