Gpd6GfWoTSC5TSA9TpCoGUCoBY==
Anda cari apa?

Labels

Menyingkap Jejak Kejawen dan Tauhid dalam Manuskrip Abad Ke-19

Jelajahi aspek ajaran Islam dalam Serat Warna-Warni: tawassul Asmaul Husna, rukun iman, dan struktur Alquran sebagai kearifan lokal Jawa yang unik.

Ilustrasi Serat Warna Warni. (Generatif Gemini)
Ilustrasi Serat Warna Warni. (Generatif Gemini)


BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Naskah kuno Jawa, khususnya yang tersimpan di keraton-keraton seperti Surakarta, sering kali berfungsi sebagai ensiklopedia kearifan lokal yang kompleks. Salah satu warisan budaya yang memuat nilai-nilai etika, sosial, hingga religius adalah Serat Warna-Warni. Manuskrip ini, yang ditulis dalam bahasa Jawa Baru dan aksara Jawa di Surakarta pada 1 Februari 1847, menawarkan pandangan unik tentang ajaran Islam yang berpadu erat dengan sistem kepercayaan lokal, atau yang dikenal sebagai sinkretisme Jawa.

Masyarakat Jawa umumnya menggabungkan dua sistem agama dalam kehidupan sehari-hari, namun menjadikan Islam sebagai landasan utama. Serat Warna-Warni secara tegas memaparkan bagaimana ajaran Islam menjadi panduan hidup, terutama terkait hubungan manusia dengan Tuhan dan cara beribadah.

Bertawassul dengan Asmaul Husna: Jalan Spiritual untuk Segala Permintaan

Dalam tradisi Islam, Tawassul berarti mencari jalan atau sarana (wasilah) untuk mendekatkan diri kepada Allah agar permohonan dikabulkan. Serat Warna-Warni mengajarkan konsep tawassul ini secara eksplisit, terutama dalam pupuh I Mijil bait ke-1 sampai ke-40, yang menyajikan doa-doa dengan menyebut Asmaul Husna (99 Nama Indah Allah) sebagai pengantar doa.

Naskah tersebut mencatat bahwa bertawassul dengan Asmaul Husna memiliki manfaat besar. Pengamal didorong untuk tidak mengkhawatirkan doanya. Beberapa contoh spesifik penggunaan nama-nama Allah dalam doa yang termuat dalam Serat ini antara lain:

1. Ya Razzaaq (Maha Pemberi Rezeki) dan Ya Fattah (Maha Pembuka Rahmat): Digunakan untuk memohon rezeki dan agar terhindar dari kekurangan. Doa ini dianjurkan dilakukan pada waktu yang ditentukan, yakni pada malam hari, dan sebaiknya dilakukan dengan mengurangi makan dan tidur.

2. Ya Gofuru (Maha Pengampun) dan Ya Alim (Maha Mengetahui): Digunakan untuk memohon kesembuhan dan agar penyakit cepat hilang.

3. Ya Muqaddim (Maha Mendahulukan): Digunakan sebagai doa untuk menentramkan hati.

Menariknya, Serat ini juga memaparkan bentuk tawassul yang menunjukkan adanya interelasi dengan kepercayaan animisme atau tradisi lokal Jawa. Dinyatakan bahwa ada doa yang dianjurkan untuk ditulis pada kue apem dan selembar daun sebagai sarana berdoa. Perpaduan antara doa Asmaul Husna yang ditulis pada benda-benda alam (seperti daun) dan benda ritual (kue apem) ini dianggap dapat menjadi penghubung atau wasilah kepada Allah yang diyakini memiliki daya gaib dan mendatangkan berkah.

Fondasi Kepercayaan: Enam Rukun Iman dalam Serat Warna-Warni

Aspek fundamental ajaran Islam, yaitu Enam Rukun Iman (disebut juga arkanul iman), termuat secara detail dalam Serat Warna-Warni, khususnya pada pupuh I Dhandhanggula.

1. Iman kepada Allah: Iman kepada Allah ditekankan sebagai keyakinan mutlak terhadap Tuhan pencipta alam. Hal ini diuraikan melalui tiga konsep tauhid, yang merupakan dasar ajaran Islam:

• Tauhid Rububiyah: Kepercayaan bahwa hanya Allah satu-satunya Rabb yang menciptakan, merencanakan, memelihara, dan mengatur seluruh alam semesta.

• Tauhid Asma wa Sifat: Kepercayaan bahwa Allah memiliki sifat-sifat baik (asma’ul husna) yang kekal, berbeda dengan ciptaan-Nya, dan berdiri sendiri. Sifat-sifat ini mencakup Hayyun (Yang Hidup), Qodirun (Yang Berkuasa), Alim (Maha Mengetahui), hingga Baqa’ (kekal).

• Tauhid Uluhiyah (Ibadah): Keyakinan bahwa hanya Allah semata yang berhak disembah, tanpa ada sekutu bagi-Nya, dan mengesakan Allah dalam segala bentuk ibadah.

2. Iman kepada Malaikat: Rukun iman kedua ini menekankan kepercayaan pada malaikat sebagai kekuatan yang patuh pada perintah Allah. Malaikat digambarkan tidak memiliki nafsu, tidak berayah dan beribu, serta tidak memiliki jenis kelamin (laki-laki atau perempuan). Mereka diciptakan hanya untuk menjalankan tugas Allah. Serat menyebutkan beberapa malaikat utama seperti Jibril, Mikail, Israfil, Izrail, Hafadhah, dan Katabah.

3. Iman kepada Kitab Allah (Alquran sebagai Kitab Penutup): Serat secara spesifik menyebut empat kitab suci yang wajib diimani: Zabur (kepada Nabi Daud), Taurat (kepada Nabi Musa), Injil (kepada Nabi Isa), dan Alquran (kepada Nabi Muhammad). Alquran ditetapkan sebagai kitab suci yang terakhir (penutup) dan menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya, berisi perintah dan larangan syariat.

4. Iman kepada Qada dan Qadar (Takdir): Masyarakat Jawa didorong untuk mempercayai Qada dan Qadar (ketetapan Allah yang tertulis di Lauhul Mahfuzh), yang mencakup segala yang baik dan buruk. Meskipun semua ketentuan sudah ditetapkan, manusia tetap memiliki ikhtiar (usaha) dan wajib berusaha serta berdoa untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik di dunia dan di akhirat.

Kearifan Spiritual Serat Warna-Warni: Struktur Alquran dan Fadilahnya

Serat ini tidak hanya membahas rukun iman, tetapi juga mendemonstrasikan kedalaman pengetahuan agama melalui penjelasan rinci mengenai Alquran. Pupuh III Asmaradana memuat pengetahuan tentang struktur Alquran, termasuk jumlah juz (30), jumlah surat (114), jumlah rukuk (5.400), dan bahkan jumlah ayat dan huruf yang dihitung secara spesifik.

Serat ini juga mengulas berbagai surat Alquran, dimulai dari Al-Fatihah dan Al-Baqarah, hingga Al-Nas, yang totalnya seratus empat belas surat.

Selain itu, Serat ini menjabarkan fadilah (keutamaan) bagi orang yang mengamalkan Alquran:

• Orang yang mengamalkan Alquran akan selamat dari siksa kubur dan terbebas dari api neraka.

• Setelah wafatnya Nabi Muhammad, keberkahan Serat dan Alquran dapat menjadi sarana manfaat bagi keturunan Mataram (para leluhur), ibu dan bapak, serta saudara muda dan tua.

• Membaca Alquran diibaratkan sebagai obat hati dan dapat menenangkan batin, di mana hati pembacanya dikaruniai cahaya dari Allah.

Interelasi Islam-Jawa: Ketika Kekuatan Gaib Menyatu dengan Tauhid

Serat Warna-Warni adalah cerminan dari interelasi budaya Jawa dan Islam yang mendalam. Dalam konteks ketuhanan, Serat ini memadukan prinsip tauhid Islam dengan unsur-unsur Hindu dan kepercayaan animisme primitif.

Penyebutan nama Tuhan dalam naskah ini sering kali bercampur, seperti Gusti Allah, Ywang Sukma (Yang Maha Hidup), Widi (Yang Agung), dan Ywang Manon (Yang Maha Melihat). Beberapa sebutan tersebut diambil dari konsep Hindu Dharma dan animisme, yang kemudian diselaraskan dengan konsep Tuhan Yang Maha Esa dalam Islam.

Fenomena spiritual ini menghasilkan praktik unik: Umat Islam Jawa seringkali menuhankan atau menganggap benda-benda (keris, cincin, batu akik) sebagai benda keramat yang dapat dijadikan penghubung (wasilah) kepada Allah. Hal ini menunjukkan bahwa Serat ini tidak hanya menyampaikan ajaran murni Islam, tetapi juga bagaimana ajaran tersebut diinterpretasikan dan diinternalisasi dalam kerangka kearifan lokal Jawa, di mana nilai-nilai Islam menjadi dasar, tetapi adat istiadat dan kebiasaan lama tetap dipertahankan.

Rujukan

Kustri Sumiyardana, Karyono, Suryo Handono, Desi Ari Pressanti, Ema Rahardian, & Inni Inayati Istiana. (2014). Pandangan Orang Jawa dalam Serat Warna-Warni. Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah.

0Komentar

Tambahkan komentar

Info

  • Griya Lestari D3 12A, Ngaliyan, Kota Semarang
  • +628587503514
  • redaksibabad.id@gmail.com