BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Konspirasi kepala palsu Mayor Hohendorff untuk mengakhiri perang. Pergantian kekuasaan Belanda dan penolakan keras Mayor Tenangkus terhadap suap Patih Surakarta yang membuat Hohendorff lega.
1. Konspirasi Kepala Palsu: Kebohongan Hohendorff untuk Mengakhiri Perang
Setelah operasi penyisiran di Mataram dan Sembuyan, para komandan Belanda, Mayor Hohendorff dan Mayor Tenangkus, merasa lega. Mereka yakin bahwa kekuatan para pangeran pemberontak, seperti Pangeran Mangkunagara dan Pangeran Pamot, telah "sirna". Meskipun tidak tertangkap atau terbunuh, pasukannya sudah hancur dan Pangeran hanya bisa "bersembunyi saja, bersama anak istri, berkumpul dengan semua orang desa,".
Namun, kerugian besar di Grobogan dan Demak di pihak Kumpeni memerlukan laporan kemenangan yang cepat dan meyakinkan kepada Gubernur Jenderal di Batavia. Untuk menuntaskan citra kemenangan ini, Mayor Hohendorff merencanakan kebohongan besar.
Ketika beristirahat di Kalikuning, Hohendorff memanggil Tumenggung Rajaniti. Dengan berbisik, Mayor memerintahkan Rajaniti untuk mencari "dua kepala dari orang yang masih muda dan tampan wajahnya, serta yang rata giginya". Rajaniti, yang menduga ada rencana rahasia, awalnya meminta tambahan upah, beralasan, "Seratus real untuk dua kepala, hanya mendapat kepala gembel!". Mayor Hohendorff tertawa dan memberinya tambahan seratus real lagi.
Rajaniti segera melaksanakan perintah keji itu dengan darah dingin. Ia membunuh seorang magang yang tampan dan seorang anak janda Bayat yang rupawan. Kedua mayat tersebut dipenggal dan dikubur di Kaliwanglu, jauh dari perkemahan pasukan, tanpa diketahui siapa pun.
Kepala palsu itu dibawa masuk pondok, diberi kapur barus, dan dirapikan. Malam itu juga, kepala yang ditempatkan dalam tong tersebut dikawal ketat oleh sersan, 12 dragonder, dan 30 pasukan berkuda Jawa. Tong tersebut dibawa ke Semarang, dan surat laporan Mayor Hohendorff dan Tenangkus diteruskan ke Batavia, langsung kepada Gubernur Jenderal.
Gubernur Jenderal Baron van Imhoff, yang dahulu menanti kepastian akhir perang, merasa "sangat suka hati" ketika surat laporan beserta 'bukti' kemenangan itu dibaca.
2. Kemarahan Tenangkus dan Skandal Suap Dua Patih
Sebelum kembali ke Batavia untuk menerima tugas baru, Mayor Tenangkus bertemu dengan kedua Patih Surakarta, Pringgalaya dan Sindureja. Pertemuan ini menjadi ajang Tenangkus menumpahkan kekesalannya. Ia menuduh kedua patih itu sebagai biang keladi keruwetan (ruwêt rêntênging kang bumi) yang berkepanjangan di tanah Jawa.
Tenangkus dengan sengit menuduh bahwa Pangeran Mangkubumi adalah "musuh buatan Pringgalaya" (mungsuh susulan iku, Jêng Pangeran Mangkubumi, panggawene Pringgalaya) yang sengaja mencari masalah, tanpa bobot pertimbangan. Ia bahkan menuduh kedua patih itu "membuat fitnah" dan "menumbangkan orang baik".
Kedua patih, yang "pucat mukanya", segera menyuruh Saradipa untuk membujuk Tenangkus dengan memberikan uang suap sebesar 2.000 Real sebagai "tebusan untuk kemarahan Tuan" (panêbasing runtik).
Namun, Tenangkus menolak suap tersebut mentah-mentah. Mayor Tenangkus murka, menyebut kedua patih sebagai "Patih bangsat" (Pêpatih trayoli). Ia memandang uang tersebut sebagai "bukan real kaum lelaki" (dudu reyal lanang) dan "makanan setan" (pangane pra setan). Tenangkus memerintahkan agar uang itu segera dikembalikan kepada Pringgalaya, menolak suap karena ia percaya harta perwira harus didapat dari rampasan perang yang mulia, bukan dari cara hina.
Mayor Hohendorff, meskipun senang melihat Tenangkus mewakilinya mengucapkan kekesalan, hanya "klecam-klecem" karena segan dengan kedua Patih yang merupakan teman lamanya.
3. Pencopotan Komander Teling dan Naiknya Hohendorff sebagai Gubernur
Di saat yang sama, Dewan Hindia (Rad van Indië) di Batavia tengah memproses pengaduan yang diajukan Rangga Tisnawijaya (Bupati Demak yang digeser Mangkubumi) terhadap Komander Teling (Jan Herman Theling). Tisnawijaya mengeluhkan perlakuan kasar yang ia terima dari Komander Teling.
Dewan Hindia menyimpulkan bahwa Komander Teling telah bertindak gegabah (nasar) dan tidak pantas menjadi perwakilan negara. Tindakan memukul punggawa Jawa dianggap sebagai "perbuatan sesat, dapat membuat malu negara," dan "membuat sial dalam perang" (karya apêsing ajurit). Dewan Hindia lantas memutuskan bahwa Komander Teling harus dicopot dari jabatannya sebagai Komander Semarang.
Sebagai pengganti yang ideal, Dewan Hindia mengusulkan Mayor Hohendorff. Hohendorff dinilai telah "banyak jasanya kepada Kumpeni di Hindia Belanda, serta kepada keraton Jawa". Raja Pakubuwana II sendiri sangat menyukainya, bahkan memanggilnya "adik".
Setelah dipanggil ke Batavia, keputusan pun ditetapkan: Mayor Tenangkus diangkat menjadi Admiral (Amral) dan Mayor Hohendorff diangkat sebagai Gubernur Semarang. Hohendorff segera kembali ke Semarang untuk mengemban jabatan barunya.
Hohendorff digantikan di Surakarta oleh Petor Juwana. Namun, Juwana menderita sakit berkepanjangan (sakit boyok dan diare parah selama lima bulan). Gubernur Hohendorff kemudian menunjuk pengganti definitif dari kalangan perwira yang sudah terbiasa dengan orang Jawa, yakni Baltazar Toutlemonde. Karena namanya sulit diucapkan, ia dijuluki "Tuan Oprup" oleh orang Jawa, dan inilah awal mula sebutan Oprup bagi Residen Belanda di Surakarta.***
