Gpd6GfWoTSC5TSA9TpCoGUCoBY==
Anda cari apa?

Labels

Panakawan Catur: Mengurai Simbol Karsa, Cipta, Rasa, Karya dalam Keluarga Semar

Analisis filosofis Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong sebagai pengejawantahan empat aspek jiwa manusia: kehendak, cipta, rasa, dan karya.

Menyelami filosofi jiwa (Karsa, Cipta, Rasa, Karya) melalui sosok Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. (Generatif Gemini)


BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Semar, sang dewa yang memilih menjelma sebagai rakyat jelata (kawulo), berdiri di persimpangan mitologi dan realitas sosial-politik Jawa. Sosoknya yang kontradiktif—bukan laki-laki dan bukan perempuan, tidak menangis dan tidak tertawa, bukan dewa dan bukan manusia, tidak berpapan dan tidak bertempat, tidak jauh dan tidak dekat, tetapi tentu ada—menjadikannya perumpamaan Yang Ilahi.

Lebih dari sekadar pelawak di panggung wayang purwa, Semar dan ketiga putranya—Gareng, Petruk, dan Bagong—merupakan Panakawan Catur, kuartet filosofis yang secara mendalam merefleksikan arsitektur jiwa manusia. Keempat tokoh ini melambangkan esensi kehendak (karsa), cipta, rasa, dan karya. Kehadiran mereka di pakeliran selalu menandai momen penting, mengingatkan bahwa kekacauan dunia (gara-gara) hanya bisa diredakan melalui keselarasan batin.

Panakawan sebagai Ciptaan Asli Jawa: Peran Sentral di Luar Mahabharata

Panakawan adalah local genius, produk asli Nusantara yang berakar mendalam pada latar belakang kejiwaan bangsa. Wayang di Jawa yang disebut wayang adalah ciptaan asli orang Indonesia, dan tokoh Panakawan—Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong—tidak ditemukan dalam kitab Mahabharata Hindu asli maupun Ramayana. Mereka adalah ikon yang usianya sudah sangat kuna dan tak dapat diterangkan artinya.

Dalam seni pedalangan, fungsi Panakawan sangat besar. Selain sebagai bumbu penyedap pergelaran, mereka adalah penasihat spiritual (pamomong) dan pelindung bagi keturunan satria Pandawa. Semar, sebagai manifestasi Bathara Ismaya yang turun ke madyapada (dunia) menjadi pamong satria agung, dikenal menyimpan sumber kepemimpinan karismatik sekaligus kekuatan spiritual luar biasa (kadigdayan atau kasekten).

Meskipun secara lahiriah ia hanya seorang panakawan, batur (abdi) yang derajatnya jauh di bawah Arjuna, kebijaksanaannya tak tertandingi. Para dewa di Kahyangan, termasuk Bathara Guru, takluk dan segan kepadanya. Kekuatan fisik Semar baru dapat dipergunakan untuk membela mereka yang sengsara dan diperlakukan tidak adil. Kehadiran Panakawan sangat dinanti saat gara-gara (kekacauan alam dan sosial) melanda.

Bagi para satria utama, Semar adalah kamus hidup dan pelita yang mampu menerangi sewaktu dirundung kegelapan. Ketika Arjuna sedang sedih, Semar memberikan wejangan Pancawisaya untuk menghadapi lima lilitan penghalang hidup. Sebagaimana diuraikan dalam dialog mereka: "Panca punika gangsal, wisaya punika bebaya, dados dhasaripun tarak brata punika kedah mangertos dhateng rubedaning bebaya utawi baya pakewed gangsal prakawis" (Sumasaputra, 1953: 34).

Semar, Gareng, Petruk, Bagong: Lambang Filosofi Hanacaraka dan Aspek Jiwa

Kuatnya posisi Panakawan Catur dalam kosmologi Jawa terlihat dari representasi mereka terhadap empat aspek fundamental jiwa manusia. Menurut Pandam Guritno, Panakawan merupakan pengejawantahan sifat, watak manusia, dengan lambang masing-masing:

1. Semar untuk karsa (kehendak atau niat).

2. Gareng untuk cipta.

3. Petruk untuk rasa.

4. Bagong untuk karya (usaha).

Konsep ini selaras dengan makna permulaan abjad Jawa (Hanacaraka). Keempat aspek jiwa ini—karsa, cipta, rasa, dan karya—selalu menyatu dan bekerja sama untuk melahirkan karya nyata, baik dalam bentuk ide maupun aktivitas.

Semar, sebagai simbol karsa, digambarkan berwujud bulat, melambangkan kebulatan tekad dalam kemauan. Karsa atau kehendak mendahului realita kejiwaan yang lain, yang jika ingin diwujudkan, harus melewati proses cipta dan rasa, untuk menjadi karya.

Gareng, simbol cipta, memiliki mata kero (jeli dan juling), melambangkan ketelitian serta kecermatan dalam memikirkan sesuatu. Tubuhnya yang cacat (ceko dan pincang) melambangkan sifat kejujuran, tidak adanya keinginan untuk memiliki (tidak milikan), serta kehati-hatian dalam bertindak, seolah jalan fikiran yang berliku-liku dalam mencipta.

Petruk, simbol rasa, ditampilkan sebagai tokoh yang humoris, namun sopan. Ia pandai menghibur tuannya saat sedang susah. Petruk sendiri, menurut cerita lain, semula adalah satria tampan bernama Bambang Pecrupanyukilan, yang kemudian diasuh Semar.

Bagong, simbol karya (usaha), diceritakan sebagai penjelmaan bayangan Semar ketika ia merasa kesepian. Karena ia lahir di dunia dari bayangan Semar, Bagong melambangkan keduniawian (kewadagan).

Ragam Nama dan Fungsi Panakawan di Berbagai Gaya Pedalangan (Cepot, Bawor, Besut)

Panakawan adalah figur wayang yang sangat dicintai penonton. Meskipun Panakawan Catur hadir di berbagai siklus, rupa dan namanya berbeda-beda tergantung gaya pedalangan regional.

1. Astrajingga / Cepot (Sunda): Di pedalangan Sunda (Jawa Barat), Bagong dikenal sebagai Astrajingga atau Cepot. Cepot memegang peranan aktif dan kreatif dalam mencetuskan kritik sosial. Pedalangan Sunda menyebut Panakawan berkedudukan di Karang Tumaritis, berbeda dengan Jawa yang menyebut Karang Kedempel.

2. Bawor (Banyumas): Di gaya Banyumas, Bagong disebut Bawor. Kata Bawor konon berasal dari bahasa Arab Bahar, yang berarti bumbu penyedap lakon. Dalam gaya Banyumas, Bawor (Bagong) adalah anak sulung Semar, sedangkan Gareng anak kedua, dan Petruk anak bungsu.

3. Besut (Jawa Timur): Sementara di Wayang Jawa Timuran, Bagong terkadang dinamai Besut. Pewayangan Jawa Timur, yang kemungkinan mewarisi tradisi Majapahit, lebih mengenal Semar dan Bagong/Besut.

Terlepas dari ragam nama dan silsilah, Semar adalah representasi rakyat. Kekuasaan tertinggi, terutama di Cirebon, dilambangkan pada Semar, mengisyaratkan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi). Semar mendorong hormat terhadap apa yang kelihatan sederhana dan lucu. Kekuatan batin dan derajat kemanusiaan seseorang tidak diukur dari rupa yang tampan atau lahiriah yang sopan santun, melainkan sikap batin yang menentukan moral seseorang.

Karya nyata Semar dan anak-anaknya adalah memayu hayuning bawana (mempercantik dunia), yaitu selalu berusaha memulihkan keseimbangan alam semesta. Sebagaimana diungkapkan dalam wejangan Semar: "Mimbuhana watak sing sabar miwah tulus anggone momong para trahing witaradya" (Suratno, 1996: 98). Semar menjadi penjaga keseimbangan dunia yang ideal: tanpa lembaga formal, namun mampu mengontrol kekuasaan yang korup.***

0Komentar

Tambahkan komentar

Info

  • Griya Lestari D3 12A, Ngaliyan, Kota Semarang
  • +628587503514
  • redaksibabad.id@gmail.com