BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Sebelum memimpin perlawanan bersenjata yang kemudian dikenal sebagai Perang Jawa, Kangjeng Pangeran Mangkubumi adalah sosok sentral di Keraton Surakarta. Sumber mencatat, ia bukan hanya pangeran biasa, melainkan figur yang cakap dalam banyak pekerjaan, seorang arsitek, administratur, sekaligus panglima perang yang tangguh. Ia dikenal berwatak utama, ksatria, serta teliti dalam pekerjaan.
Atas jasanya yang besar, terutama setelah berhasil memadamkan pemberontakan Martapura, Raja Pakubuwana II menghadiahkan tanah lungguh (apanage) di Sukowati seluas 3.000 cacah. Jumlah tanah garapan ini sangat besar, mencerminkan peran Mangkubumi sebagai “mustika jagad, ksatria yang tangguh, sebagai tiang negara”. Raja bahkan menugaskannya menjadi senapati perang jika sewaktu-waktu musuh datang.
Peran Mangkubumi sangat penting. Tanpa Pangeran sebagai penasihat dan tameng di medan perang, Surakarta akan lemah. Raja sendiri menganggapnya sebagai satu-satunya kerabat yang dapat diajak berdiskusi mengenai masalah negara.
Hasutan Patih Pringgalaya tentang Tanah Lungguh Pangeran
Konflik pecah bukan dari luar, melainkan dari intrik di dalam keraton. Ketika Gubernur Jenderal Van Imhoff berada di Surakarta untuk menegosiasikan penyerahan tanah pesisir—yang telah disetujui Raja—Jenderal meminta rincian pembagian tanah di antara kerabat raja.
Momen ini dimanfaatkan oleh Raden Adipati Pringgalaya dan Patih Sindureja. Pringgalaya merasa senang karena menemukan jalan untuk mencurahkan keinginan terpendamnya. Ia melapor kepada Jenderal bahwa semua kerabat Raja di negeri (Surakarta) kekurangan jatah tanah, kecuali tiga orang: Pangeran Adinegara, Pangeran Arya Mataram, dan Mangkubumi. Mangkubumi, klaim Pringgalaya, adalah yang paling banyak, sampai 3.000 cacah. Pringgalaya bahkan menekankan bahwa Pangeran Mangkubumi sudah seperti raja dan sangat dikasihi.
Laporan ini merupakan muslihat Pringgalaya yang bertujuan jahat. Sebelumnya, Mangkubumi hanya memiliki 600 cacah tanah di Kartasura, dan tanah seluas 3.000 cacah itu adalah hadiah dari Raja atas jasa militer. Namun, Pringgalaya dan Sindureja dicap Mayor Tenangkus sebagai pihak yang "membuat ruwet dan gelap bumi negeri ini", serta "orang Jawa yang tega membuat fitnah, orang baik ditumbangkan".
Perintah Mayor Hohendorff: Pengurangan Tanah Menjadi Seribu Cacah
Laporan Pringgalaya berhasil memengaruhi Gubernur Jenderal Baron van Imhoff. Hohendorff, komandan garnisun yang bersahabat baik dengan Raja, sebenarnya sudah berupaya membela Mangkubumi, menjelaskan bahwa kelebihan tanah itu setimpal dengan kemampuannya mengelola kerajaan dan perannya sebagai senapati perang. Hohendorff bahkan menyatakan, "apakah Raja kurang tanah?".
Namun, Van Imhoff terlanjur termakan hasutan tersebut. Jenderal segera mengeluarkan usulan yang bersifat perintah kepada Raja: tanah lungguh Mangkubumi dianggap "agak kebanyakan". Oleh karena itu, tanahnya harus dikurangi dua ribu, jadi tinggal seribu cacah (sanambang). Sisa 2.000 cacah itu disarankan untuk dibagikan kepada para punggawa dan kerabat yang kekurangan.
Mayor Hohendorff, setelah mendengar keputusan Jenderal, merasa "sialnya kedua patih tak mau menutupi tentang adik paduka" dan menyesali ulah Pringgalaya. Hohendorff kemudian memberi saran kepada Raja untuk sementara waktu mengurangi tanah Mangkubumi dahulu, dan setelah Jenderal pergi, tanah itu dapat dipulihkan kembali.
Mangkubumi Memohon Pamit dan Membangun Pasukan di Sukowati
Pada pukul tujuh malam, Sang Raja memanggil Pangeran Mangkubumi untuk menyampaikan perintah pahit ini. Raja berhati-hati, memintanya untuk pasrah kepada kehendak Tuhan, dan menjelaskan bahwa ia harus menuruti usulan Jenderal.
Pangeran Mangkubumi menerima kabar itu dengan jawaban yang berat. Ia merasa Raja bertindak seperti "raja pengecut" yang hanya mengikuti desakan Kumpeni dan Patih. Mangkubumi, yang selalu menjunjung tinggi keutamaan, melontarkan kritik keras, "Duh paduka mengapa bisa demikian," mempertanyakan mengapa Raja tidak mengingat bahwa raja hanya sekadar memutuskan berdasar masukan para punggawa.
Merasa keberadaannya hanya menjadi pengganggu keharmonisan Raja dan Kumpeni—yang dianggap Raja "kulit daging"-nya sendiri—Mangkubumi meminta izin untuk "dibuang" (kawula paduka bucal) dan meninggalkan negara.
Raja, dengan menahan air mata, menyetujui kepergian Mangkubumi. Sebagai tanda kasih, Raja memberinya bekal 3.000 real untuk digunakan sebagai sarana memberi sandang dan pangan kepada pasukannya.
Mangkubumi segera keluar dari pura, pulang ke kediamannya, dan memerintahkan pasukannya bersiap-siap. Perjalanan Pangeran Mangkubumi sekeluarga dan pasukannya berlanjut hingga mereka tiba di Sukowati. Di sana, Mangkubumi segera menggelar barisan di Pandak Karangnangka, secara resmi memulai perlawanan bersenjata terhadap Surakarta dan Kumpeni.***
