Gpd6GfWoTSC5TSA9TpCoGUCoBY==
Anda cari apa?

Labels

Papringan dan Samakaton: Jatuh Bangun Pangeran Mangkunagara Mencari Wahyu

Mangkunagara lolos dramatis dari kejaran Kumpeni di Papringan. Di padepokan Samakaton, ia mendapat kritik spiritual tajam: fokus pada musuh dalam diri

Pencerahan Samakaton. Pangeran Mangkunagara, yang hancur setelah kekalahan di Papringan, mencari nasihat spiritual dari Begawan Samakaton di padepokan gunung.
Pencerahan Samakaton. Pangeran Mangkunagara, yang hancur setelah kekalahan di Papringan, mencari nasihat spiritual dari Begawan Samakaton di padepokan gunung.(Generatif Gemini)


BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Setelah bergerak ke utara, Pangeran Adipati Mangkunagara (Mas Said) kembali menjadi buruan utama pasukan Kumpeni dan Surakarta. Kegigihan perlawanan gerilya yang ia pimpin memicu dendam pribadi para perwira Belanda, terutama Mayor Hohendorff dan Mayor Tenangkus, yang baru saja dipermalukan oleh kelicikan Tumenggung Surajaya.

Kesempatan emas bagi Kumpeni datang ketika Pangeran Mangkunagara dan pasukannya terlacak berada di desa Papringan. Kedua Mayor tersebut segera mengerahkan pasukan dengan sangat bernafsu (langkung ngangah-angah). Pangeran dan pasukannya tertangkap basah menjelang matahari terbenam. Pasukan Pangeran sedang lengah, banyak yang bersantai, bahkan ada yang sedang mencari rumput untuk kuda.

Mayor Hohendorff, yang mendahului rombongan dengan tujuh pengawalnya, melihat Pangeran Mangkunagara sedang berjalan darat dan segera menembak. Pangeran, yang saat itu belum menyandang senjata, menjadi sangat gugup dan kerepotan (kalithihan). Pasukannya hancur berantakan, tercerai-berai, dan terdesak lari ke dalam jurang berhutan lebat (jurang parang dèn ungsèni).

Dalam kondisi terdesak dan ditembaki dari belakang, Pangeran hendak melawan, tetapi pembantunya mencegah. Pangeran Mangkunagara akhirnya meloloskan diri dengan berlari. Berdasarkan narasi Babad Giyanti, pelarian Pangeran diselamatkan oleh peristiwa gaib: datanglah mendung tebal dan hujan deras, campur prahara suaranya gumuruh. Peristiwa alam ini membuat pasukan pengepung Kumpeni kebingungan, dingin, dan kepungan mereka renggang (bênggang gènira ngêpung). Pangeran Mangkunagara berhasil lolos, sebuah mukjizat yang menjadi pertanda sungguh (pracihna tuhu) bahwa ia kelak akan menjadi orang luhur.

Setelah berjalan menembus hutan lebat selama beberapa lama, Pangeran Mangkunagara tiba di desa Matesih dan menitipkan istri dan neneknya di rumah penduduk. Dalam keadaan sangat gelap pikiran (sakalangkung amêtêk putêk tyasipun), ia naik ke gunung untuk mencari perlindungan dan nasihat spiritual di padepokan Ajar Samakaton.

Kritik Keras Begawan Samakaton: Mengatasi Musuh dalam Diri

Di padepokan, Pangeran Mangkunagara disambut oleh dua pendeta kakak beradik, Adisana dan Adirasa. Pangeran menceritakan semua derita dan rasa malu (wirangrong) yang ia alami, memohon nasihat agar jiwanya kuat kembali.

Para pendeta, yang berbicara dengan hormat dan hati-hati, segera memahami keinginan sang pangeran muda itu. Mereka melontarkan kritik keras dan fundamental. Mereka menyatakan bahwa Pangeran Mangkunagara selama ini hanya mengandalkan kepintaran akal budi, ketangguhan di medan perang, dan kesaktian (aji). Padahal, kemenangan dan kekalahan adalah kehendak Tuhan Yang Maha Melihat (kagungan Hyang Manon).

Mereka menasihati Pangeran agar tidak meniru perilaku yang lebih dari salah (liwat saking sisip), seperti meniru paman atau ayahandanya, Sultan Dhandhun Martengsari. Sultan Dhandhun dikritik karena belum saatnya sudah ingin meraih kemewahan (dèrèng môngsa ngêgungkên kamuktin), memiliki tujuh puluh istri (pitung dasa cacahe garwane) padahal mantrinya hanya dua puluh lima, dan berwatak menyombongkan diri (ambêk gumunggung). Perilaku demikian hanya akan mendatangkan kehilangan (ketewasan) dan cibiran sesama.

Inti nasihat spiritual mereka adalah bahwa wahyu nurbuah (anugerah Ilahi) tidak dapat diraih hanya dengan kemenangan di medan perang. Manusia unggul harus terlebih dahulu menyelesaikan urusan internalnya:

“Musuh jroning badan wus kajodhi, lir Hyang Wisnumurti, wirotamèng kewuh.” (Musuh dalam diri sudah diatasi, seperti Dewa Wisnu yang perwira dalam mengatasi masalah.).

Hanya setelah persoalan dalam diri selesai barulah seseorang layak mengadakan perang di luar diri.

Meneladani Panembahan Senapati dan Petunjuk Menuju Mangkubumi

Untuk menguatkan tekadnya, Pangeran Mangkunagara dianjurkan meneladani Panembahan Senapati. Panembahan Senapati, meskipun telah menguasai tiga alam, belum mau menahbiskan diri sebagai raja, melainkan terus melatih diri mengasah budi (mêmêsua budi). Sang pendeta berkata:

“Latihlah agar lestari, langgeng menempati. Karenanya anakku, yang sabar dalam hati. Diamlah di sini dahulu. Latihlah akal budi, budi yang membawa kepada keluhuran.”.

Mereka juga menyarankan bahwa teladan terbaik di zaman sekarang, yang perilakunya mirip dengan Panembahan Senapati, adalah paman Pangeran sendiri, Pangeran Mangkubumi. Mangkubumi, meskipun telah membentuk pasukan kuat dan menguasai mancanegara, tidak menobatkan diri sebagai raja karena mengetahui belum saatnya.

Oleh karena itu, pendeta memberi petunjuk tegas:

“Ayah paduka di Sukowati, wahyunya sudah bersinar, sungguh akan bangkit di kemudian hari... Jangan mengungsi ke tempat lain selain ayahandamu tadi.”.

Setelah berdiam diri di padepokan dan menjalankan tapa brata (mengurangi makan dan tidur) selama beberapa waktu, pikiran Mangkunagara menjadi mantap dan bulat. Ia telah mencapai tahap menjadi manusia pilihan (manusa punjul). Dengan restu dari Ajar Samakaton, Pangeran Mangkunagara segera turun gunung dan melanjutkan perjalanan ke utara untuk bergabung dengan pamannya, Pangeran Mangkubumi, di markas Grobogan/Sukowati, mengikuti petunjuk ilahi dan spiritual.***

0Komentar

Tambahkan komentar

Info

  • Griya Lestari D3 12A, Ngaliyan, Kota Semarang
  • +628587503514
  • redaksibabad.id@gmail.com