![]() |
| Ilustrasi jatuhnya Keraton Plered Mataram. (Generatif Gemini) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Kejatuhan istana Mataram terjadi akibat pemberontakan besar di bawah pimpinan Raden Trunajaya (Madura) dan Raden Kajoran. Raden Kajoran, yang disebut sebagai keturunan Kalijaga dan kerabat Mataram, memimpin serangan pada tahun 1677. Setelah jatuhnya Keraton Mataram kepada Raden Kajoran, Sunan Amangkurat I melarikan diri dan wafat di Tegal Arum. Pemberontakan ini menyebabkan Amangkurat II harus meminta bantuan VOC dengan syarat. Akhirnya, Mataram terpecah menjadi empat entitas (Catur Sagotra) melalui Perjanjian Giyanti (1755).
Persekutuan Raden Trunajaya dan Raden Kajoran (1670)
Pada paruh kedua abad ke-17, kekuasaan Mataram Islam, yang saat itu dipimpin oleh Sunan Amangkurat I, diwarnai konflik internal yang tajam dan puncaknya berujung pada keruntuhan istana. Konflik dimulai dari suksesi takhta. Raden Mas Rahmat, yang menjabat sebagai Pangeran Adipati Anom (putra mahkota), merasa keberatan ketika gelar warisnya dialihkan kepada saudara tirinya, Pangeran Singasari.
Rasa tidak puas Pangeran Adipati Anom ini membawanya pada persekutuan politik yang berbahaya. Sekitar tahun 1670, ia mengajak Raden Trunajaya, putra penguasa Madura, untuk bergabung dalam misi merebut kembali takhtanya. Trunajaya menyambut baik ajakan ini, didorong oleh ambisinya memerdekakan Madura dari kekuasaan Amangkurat I.
Persekutuan ini diperkuat dengan adanya hubungan kekerabatan yang strategis. Raden Trunajaya bersekutu erat dengan Raden Kajoran (Panembahan Rama), yang merupakan mertuanya sendiri. Raden Kajoran dikenal sebagai tokoh yang berasal dari garis keturunan para ulama terkemuka, seperti keturunan Sunan Kalijaga. Perjanjian antara Raden Kajoran dan Trunajaya, yang merupakan besan sekaligus sekutu, bahkan diduga telah ada sejak tahun 1670–1671.
Kelompok Kajoran sendiri memiliki pengaruh kuat karena dikelilingi oleh tokoh-tokoh yang memiliki kedudukan tinggi, bahkan di dalam istana Mataram, seperti Pangeran Purbaya dan Tumenggung Suranata dari Demak. Sunan Amangkurat I, yang memiliki sifat curiga terhadap anak cucunya sendiri, telah menyebabkan ketidakstabilan, membuat kelompok-kelompok kerabat ini rentan melakukan perlawanan. Raden Trunajaya, didukung oleh sekutunya, berhasil memperoleh kemenangan di Madura dan mengangkat dirinya sendiri sebagai penguasa.
Serangan Besar Raden Kajoran dan Jatuhnya Keraton Mataram (1676-1677)
Didukung oleh pasukan gabungan dari Madura dan Makassar (yang dipimpin oleh Kraeng Galesong, menantu Trunajaya), Trunajaya semakin kuat dan mulai menumpas wilayah-wilayah kekuasaan Mataram di Jawa Timur dan Pesisir. Berita tentang pemberontakan tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan petinggi Mataram. Pangeran Adipati Anom, yang awalnya mendukung gerakan ini, terpaksa berbalik haluan mendukung ayahnya ketika Trunajaya mengancam akan menyerang keraton Plered. Adipati Anom kemudian melarikan diri ke Tegal.
Puncak serangan terjadi pada April 1677. Raden Kajoran, yang saat itu telah memimpin pergerakan besar-besaran, menyerang Keraton Mataram. Konon, keraton Mataram jatuh ke tangan Raden Kajoran yang disebut sebagai "iblis-iblis sendiri" yang meramalkan raja lain akan memerintah Mataram.
Sunan Amangkurat I dan keluarganya melarikan diri ke barat. Dalam pelariannya, ia sakit dan wafat. Setelah meninggal, Amangkurat I diberi nama anumerta Susuhunan Tegal Arum. Menurut sumber kronik, kematian Amangkurat I terjadi pada 2 Agustus 1677. Kejatuhan istana Mataram ini didukung oleh keterangan Dagregister, yang mencatat bahwa sebagian besar wilayah Mataram telah dihancurkan oleh pemberontak dan Raja Mataram (Amangkurat I) meninggal.
Setelah Keraton Mataram diduduki, Raden Kajoran mundur. Pemberontak yang dipimpin Trunajaya dan Kajoran telah berhasil menghancurkan setengah wilayah Mataram. Dalam upaya pemulihan, Pangeran Adipati Anom (yang menjadi Amangkurat II) kemudian harus menjalin kerja sama dengan VOC, dengan imbalan syarat tertentu, untuk menumpas Trunajaya dan merebut kembali takhta Mataram.
Warisan Mataram dan Pembagian Kekuasaan (Catur Sagotra)
Setelah Keraton Plered jatuh dan Amangkurat I meninggal, Raden Mas Rahmat diangkat menjadi raja dengan gelar Amangkurat II. Untuk memadamkan pemberontakan yang dipimpin Trunajaya, Amangkurat II terpaksa mengandalkan intervensi VOC. Ketergantungan ini, ditambah dengan serangkaian perang perebutan takhta Jawa pada abad ke-18 (Perang Takhta Jawa Pertama hingga Ketiga), mempercepat kemunduran Mataram.
Perang Takhta Jawa Ketiga menghasilkan peristiwa penting yang disebut Palihan Nagari (Pembagian Negara). Proses disintegrasi ini diresmikan melalui Perjanjian Giyanti.
Pada tanggal 13 Februari 1755, Perjanjian Giyanti yang ditandatangani oleh Pangeran Mangkubumi dengan VOC secara de jure menandai berakhirnya Kesultanan Mataram. Perjanjian ini membagi wilayah Mataram menjadi dua kekuasaan:
1. Kesunanan Surakarta (dipimpin oleh Pakubuwana III).
2. Kesultanan Yogyakarta (dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi/Sultan Hamengkubuwono I).
Selanjutnya, wilayah Surakarta terbagi lagi, menghasilkan dua entitas tambahan: Kadipaten Mangkunagaran dan Kadipaten Pakualaman.
Meskipun terpecah, warisan Mataram tetap diakui. Keempat entitas kerajaan penerus dinasti Mataram Islam—Surakarta, Yogyakarta, Mangkunagaran, dan Pakualaman—secara kolektif dikenal sebagai Catur Sagotra (Empat Sekeluarga). Bagi sebagian orang Jawa, Mataram, khususnya di bawah Sultan Agung, dikenang sebagai "kebanggaan masa lalu yang gemilang" dan merupakan kerajaan Islam terbesar terakhir di Jawa. Warisan budaya, mulai dari struktur pemerintahan, seni, hingga tradisi, masih dilestarikan oleh keempat dinasti tersebut.***
