Gpd6GfWoTSC5TSA9TpCoGUCoBY==
Anda cari apa?

Labels

Perang Tiga Tahun Pangeran Mangkubumi: Jalan Berdarah Menuju Takhta Hamengkubuwono I

Kelahiran Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat bukanlah peristiwa yang terjadi dalam kevakuman politik, melainkan merupakan puncak dari konflik panjang.

BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Kelahiran Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat bukanlah peristiwa yang terjadi dalam kevakuman politik, melainkan merupakan puncak dari serangkaian konflik panjang dan melelahkan yang merobek Kerajaan Mataram Islam dari dalam. Figur sentral yang mengarungi badai ini hingga berhasil mendirikan sebuah dinasti baru di tanah Jawa adalah Kangjeng Pangeran Arya Mangkubumi. Perjalanan Mangkubumi menuju takhta Kasultanan (1755) diabadikan dalam sebuah karya sastra yang amat penting, yaitu Babad Mangkubumi.

Buku ini, yang merupakan milik negara dan diterbitkan ulang oleh Pusat Bahasa, bukanlah sekadar catatan sejarah ilmiah. Penulisannya, seperti babad pada umumnya, kerap dicampur dengan pendapat, penilaian, dan sikap subyektif penulisnya. Namun, terlepas dari sifat subyektifnya, fakta-fakta yang terkandung di dalamnya tetaplah merupakan fakta yang tidak dapat diingkari atau disembunyikan, termasuk akibat-akibat merugikan yang ditimbulkannya.

Babad Mangkubumi adalah kelanjutan (sambetipun) dari Serat Babad Nitik Ngayogya. Bagian yang ada sekarang (bagian II/terakhir) dimulai setelah putra Sri Sultan Hamengkubuwono I, yakni Sri Sultan Hamengkubuwono II, menjadi Sultan di Yogyakarta. Meskipun demikian, konteks pendirian Kasultanan Yogyakarta tak terpisahkan dari narasi pemisahan Pangeran Mangkubumi dari kerajaan Surakarta serta perlawanan gigihnya terhadap Surakarta dan pemerintah Hindia Belanda. Karya ini disalin dari babon sambutan milik Raden Mas Arya Purwadiningrat, Bupati Kaparaktengen.

Perpecahan Mataram dan Tuntutan Kemuliaan 

Intrik dan perselisihan yang terjadi di dalam dan luar keraton Mataram, yang kemudian berujung pada permintaan bantuan kepada pihak luar—digambarkan sebagai pihak asing yang memberikan bantuan dengan perhitungan untung-rugi—merupakan faktor utama yang meruntuhkan kekuatan negara. Sebelum Mangkubumi bertahta, pusaran konflik ini membuat kerajaan yang dulunya meliputi seluruh Jawa (masa Sultan Agung di abad ke-17) menyusut menjadi empat wilayah kecil pada pertengahan abad ke-18.

Dalam konteks Mataram, sejarah mencatat bahwa kehancuran Plered (ibu kota Mataram kedua) pada 1677 oleh pemberontakan Trunojoyo, yang didukung pelaut Makassar (Kraeng Galesong), memaksa Mangku Rat I melarikan diri dan meminta perlindungan Belanda. Peristiwa ini menjadi titik balik masuknya intervensi VOC yang sistematis.

Mangkubumi, yang berjuang demi kemuliaan dan haknya, mendapati dirinya harus bertarung melawan VOC dan Surakarta. Meskipun detail pertempuran tidak eksplisit dalam bagian babad yang tersedia, peran prajurit dan dukungan kerabat sangatlah vital. Pasukan Mataram secara tradisional melakukan pembinaan militer secara kuantitatif (perkawinan politik dan penaklukan) dan kualitatif (latihan teratur setiap Sabtu dan Senin, serta melengkapi senjata). Prajurit Kraton Yogyakarta (Bregada) yang didirikan pada abad ke-18 merupakan kesatuan fungsional yang pada mulanya digunakan sebagai instrumen pertahanan dan keamanan.

Mengukir Sejarah di Tanah Mentawis: Pembangunan Keraton Yogyakarta sebagai "Verbeterde Uitgave" 

Pemilihan lokasi keraton baru di suatu daerah (yang dikenal sebagai Alas Mentaok) dilakukan Hamengkubuwono I dengan perhitungan yang amat cermat. Pertimbangan tersebut meliputi pengetahuan kemiliteran, pengaruh udara, letak tanah, dan potensi perkembangannya. Pendirian bangunan keraton ini dilakukan dengan perencanaan menyeluruh, meliputi wilayah induk (pusat), daerah kelengkapan keraton di sekelilingnya, Tamansari, dan benteng.

Hamengkubuwono I dikenal sebagai ahli strategi ulung dan membangun keratonnya dengan berpedoman pada Keraton Surakarta, namun dengan penyempurnaan yang disebut sebagai Verbeterde Uitgave (edisi yang lebih baik) (Informasi ini diambil dari kerangka artikel sebelumnya dan didukung oleh konteks pembangunan keraton yang cermat).

Dwi Naga Rasa Tunggal: Tanda Berdirinya Nagari 

Setelah pendirian inti, pemerintahan secara resmi dipindahkan ke Keraton Yogyakarta pada Kamis Pon, 17 Oktober 1756. Momen perpindahan ini diabadikan dalam Candra Sengkala Memet yang berwujud Dwi Naga Rasa Tunggal (melambangkan tahun 1682 Saka). Perancangan Keraton ini dibuat secara komprehensif, terikat pada arti filosofis, simbolis, dan fungsional meditatif.

Pada awalnya, bangunan yang didirikan hanya beberapa saja, seperti Ndalem Ageng atau Kraton Kaswargan yang berbentuk Joglo Sinom (Joglo dengan tiga buah emper berkeliling). Arsitektur keraton, seperti yang terlihat pada Bangsal Trajumas yang dicat hijau (simbol sifat bulan/Soma yang menerangi kegelapan) dan Bangsal Srimanganti yang dicat coklat (simbol sifat bumi/Ananta yang sabar dan pemurah), sarat dengan makna simbolis yang mencerminkan kewibawaan raja. Keseimbangan kosmos ini sejalan dengan tugas raja dalam konsep Jawa, yaitu sebagai poros yang menghubungkan manusia dan alam semesta.***

0Komentar

Tambahkan komentar

Info

  • Griya Lestari D3 12A, Ngaliyan, Kota Semarang
  • +628587503514
  • redaksibabad.id@gmail.com