BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Perjanjian Giyanti tahun 1755 adalah tonggak sejarah yang mengakhiri konflik panjang di Mataram, tetapi juga menjadi legalisasi campur tangan asing dalam kedaulatan Jawa. Perjanjian ini secara resmi membagi Kerajaan Mataram Islam menjadi dua entitas utama, Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Babad Mangkubumi sendiri, yang dimulai setelah HB I bertahta, menggambarkan bagaimana bayang-bayang Kompeni (VOC) selalu menyertai dinamika politik internal kerajaan, jauh setelah Giyanti diteken.
Krisis politik Mataram dimulai jauh sebelum Giyanti, sejak Mangku Rat I meminta bantuan VOC setelah Plered jatuh ke tangan Trunojoyo (1677). Dari situlah, kekuatan kolonial (VOC) perlahan-lahan merasuk ke dalam inti kekuasaan pribumi.
Latar Belakang Konflik Internal Mataram Pasca-Perang Suksesi
Konflik Mataram merupakan serangkaian peristiwa yang melibatkan perselisihan antar anggota keluarga kerajaan dan persaingan di tingkat regional. Intrik-intrik internal di keraton seringkali melibatkan permintaan bantuan dari pihak luar, yang menyebabkan keutuhan dan kekuatan negara tergerus. Tokoh-tokoh besar yang terlibat dalam babad ini, meskipun mereka adalah orang-orang yang tindakannya sangat memengaruhi sejarah negara, pada akhirnya menyebabkan pecah dan runtuhnya kekuatan negara.
Pasca Giyanti, masalah perbatasan dan kedaulatan terus menjadi isu sensitif. Raja India Negeri Belanda memiliki titipan pesan yang meminta agar semua Raja di Jawa yang bersahabat dengan Kompeni untuk bertemu dan memeriksa kantor-kantor Kompeni. Hal ini menunjukkan adanya upaya Kompeni untuk memantau dan mengontrol aktivitas kerajaan secara langsung.
Peran Kompeni (VOC) dalam Menentukan Batas Wilayah dan Pengangkatan Raja
Kontrol VOC sangat kentara, bahkan hingga pada masalah teritorial. Komisaris Jenderal, dalam kemarahannya, pernah menyarankan agar perbatasan Sala dan Ngayogya dipertegas dengan menanam tugu negara (Gawenen tugu nagara, wates Sala lan Ngayogya). Lebih lanjut, Raja kedua kerajaan diwajibkan membangun loji (benteng), dan siapa pun yang menolak dianggap sebagai musuh yang nyata.
Campur tangan ini tidak hanya bersifat teritorial, tetapi juga dalam penentuan struktur pemerintahan tertinggi. Dalam Babad Mangkubumi, Oprup (Residen) yang baru, Pandhembereh, yang disukai Sultan, harus menunggu kesepakatan (kuntrak pengangkat) untuk menduduki posisinya. Bahkan Oprup Iseldhik, yang tidak disukai Sultan, berani menendang kasur (kasuran) hingga jatuh di hadapan Sultan. Iseldhik bahkan menyarankan Gubernur di Semarang agar Sultan diganti dengan yang lebih terhormat (respati). Meskipun Oprup Pandhembereh takut (ajrihipun) ketika mendengar ancaman Jenderal, Kangjeng Sultan sendiri tidak menyadari bahwa ia sedang dimusuhi (dipun maha).
Syarat dan Ketentuan Pengangkatan Patih yang Harus Memiliki Persetujuan dari Kompeni (VOC)
Kekuasaan VOC mencapai puncaknya ketika mereka mengatur pengangkatan Patih Dalem. Dalam sistem birokrasi Mataram yang patrimonial, kedudukan pejabat sangat bergantung pada hubungan kekeluargaan dengan Raja. Namun, Kompeni berusaha memaksakan kendali.
Ketika Komisaris Jenderal hendak bertamu, ia meminta para Patih dari kedua kerajaan (Surakarta dan Yogyakarta) untuk datang lebih dahulu ke Semarang (tunjuk muka) agar segala kekhawatiran (sumelang) dapat dibicarakan terlebih dahulu. Patih Danurejo (dari Yogyakarta) datang dalam keadaan marah (rengu) karena membawa banyak permintaan dari Sultan. Akibatnya, Komisaris Jenderal marah kepada Oprup Pandhembereh.
Persetujuan Kompeni terhadap posisi Patih sangat penting. Di era Sultan Hamengkubuwono II, setelah Patih Danurejo yang lama meninggal, penggantinya, Raden Tumenggung Martanagara, yang memiliki watak sombong (gumunggung), memainkan intrik yang merugikan kerabat Sultan, termasuk Pangeran Natakusuma. Patih adalah badan palihan gupremen ratu (badan perantara antara Gupremen dan Ratu), yang menunjukkan bahwa posisi Patih harus tunduk pada dua kepentingan.
Bahkan, setelah Sultan HB II dilengserkan, Minister (pejabat Belanda/Inggris) menambahi bahwa Kasultanan harus dikurangi prajuritnya, benteng Keraton diratakan (radin), meriam dirusak (rumbag), dan senapan Keraton diserahkan kepada Pangeran yang ditunjuk Kompeni. Raja (Ratune) hanya boleh sekadar diukur-ukur (ukur-ukur), menandakan hilangnya kedaulatan penuh. Semua ini adalah konsekuensi dari perjanjian-perjanjian sebelumnya yang membatasi otoritas Raja.***