![]() |
| Ilustrasi Negosiasi Rahasia di Loji. Pertemuan empat mata antara Raja Pakubuwana II dan Gubernur Jenderal Baron van Imhoff, di mana Van Imhoff menuntut penyerahan tanah pesisir.(Generatif Gemini) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Setelah Keraton Mataram berhasil dipindahkan dari Kartasura ke ibukota baru, Surakarta Adiningrat, Susuhunan Pakubuwana II belum dapat bernapas lega. Setelah kurang lebih tiga bulan Keraton pindah, datanglah kabar yang dinantikan sekaligus ditakuti: Gubernur Jenderal Belanda dari Batavia, Baron van Imhoff, akan berkunjung.
Kunjungan ini secara diplomatis diumumkan sebagai bentuk perhatian seorang sahabat setelah Raja mengalami musibah huru-hara dan perpindahan Kerajaan. Namun, para pakar meyakini bahwa alasan resmi ini hanyalah basa-basi; tujuan sebenarnya adalah merealisasikan Perjanjian Ponorogo, yang diteken ketika Kumpeni membantu Raja kembali ke takhtanya.
Raja, yang menyebut Gubernur Jenderal sebagai “eyang”, sangat gembira menyambut kedatangan tamu agung tersebut. Ia segera memerintahkan persiapan pondokan mewah (suyasa) dan mengizinkan Mayor Hohendorff—komandan garnisun Kumpeni di Kartasura yang ia anggap “adik”—untuk menyusun rencana penyambutan, berapa pun biayanya.
Untuk menyambut eyang dari Batavia, Raja Pakubuwana II menggelar arak-arakan kolosal yang menunjukkan kebesaran Surakarta. Rombongan Raja bergerak lambat menuju Semarang, diiringi oleh para bupati pesisir utara dan bupati mancanegara. Sumber mencatat bahwa pasukan berkuda yang ikut dalam prosesi itu berjumlah lebih dari dua puluh ribu. Prosesi yang penuh warna, umbul-umbul, dan bendera ini digambarkan bagaikan "festival yang meriah".
Di Lampor, rombongan Raja disambut oleh 200 pasukan kavaleri dragonder Kumpeni yang dipimpin oleh Commandeur Tuan Teling (Jan Herman Theling), pemimpin Loji Semarang. Para bupati pesisir membantu Raja turun dari tandunya.
Setelah tiba, van Imhoff menyatakan kunjungannya semata-mata karena perhatiannya yang besar terhadap Raja Jawa. Raja Pakubuwana II pun membalas dengan ungkapan diplomatis, menyatakan bahwa Kumpeni sudah seperti kulit dan dagingnya sendiri, sebuah kesadaran bahwa kekuasaannya berada dalam genggaman Kumpeni. Setelah tujuh hari bersuka ria di Semarang, barulah Raja dan Jenderal melanjutkan perjalanan bersama ke Surakarta.
Tuntutan Kumpeni atas Tanah Pesisir Jawa dan Keraguan Raja
Setelah tiba di Surakarta, agenda sesungguhnya terungkap. Pada hari keempat kunjungan Jenderal, setelah Raja sendiri sudah tiga kali mengunjungi Loji, Van Imhoff mengajak Raja berbicara empat mata.
Dalam pertemuan pribadi tersebut, Jenderal van Imhoff memulai negosiasi untuk penguasaan wilayah pesisir. Ia mengklaim bahwa jika Kumpeni mengelola tanah pesisir (tanah pasisir), hal itu justru akan membawa kesejahteraan bagi kerajaan, tanpa mengubah adat Jawa. Hasil bumi dari daerah tersebut tetap akan diserahkan kepada Raja dalam bentuk pajak atau uang sewa yang telah ditetapkan.
Raja Pakubuwana II, yang tidak menyangka tuntutan itu akan datang secepat dan sebesar itu, terkejut (langkung kagyat ing wardaya). Ia mencoba menunda dan mencari strategi mengelak dengan meminta waktu untuk berunding dengan para punggawa dan pejabat kerajaan (nayaka praja).
Namun, Van Imhoff dengan tegas menolak ide konsultasi tersebut, beralasan bahwa para punggawa hanya akan menyarankan hal-hal buruk. Jenderal kemudian menggunakan kartu truf politiknya:
“Tanda-tandanya belum lama ini, paduka Raja ikut berperang hendak mengusir bangsa Belanda, itu juga dari saran para adipati.”.
Jenderal merujuk pada peristiwa Geger Pacina di mana Pakubuwana II sempat bersekutu dengan pemberontak Cina untuk menyerang Belanda. Pengkhianatan ini adalah dosa besar Raja kepada Kumpeni, dan kini van Imhoff memanfaatkannya untuk menekan Raja.
Merasa terdesak dalam perundingan (kadhêsêk ing wuwus) dan sadar posisinya sangat lemah untuk mempertahankan takhta, Raja Pakubuwana II akhirnya pasrah dan mengizinkan Kumpeni mengambil alih pengelolaan seluruh tanah pesisir utara Jawa. Setelah penyerahan wilayah disetujui, Raja hanya bisa berupaya menegosiasikan besaran uang sewa tahunan.
Kekecewaan Pangeran Mangkubumi atas Keputusan Raja dan Protesnya
Setelah terpaksa menyerahkan tanah pesisir, Raja Pakubuwana II segera memanggil kedua Patih (mantrimuka), Adipati Pringgalaya dan Sindureja, serta adiknya, Kangjeng Pangeran Mangkubumi, untuk membahas besaran uang sewa yang akan diminta dari Kumpeni.
Kedua patih memberikan saran yang sangat rendah: Sindureja mengusulkan 20.000 Real, sementara Pringgalaya mengusulkan 40.000 Real setahun.
Ketika Pangeran Mangkubumi datang, ia diberitahu bahwa Raja sudah telanjur mengizinkan permintaan Kumpeni. Mangkubumi menyampaikan kekecewaan mendalam (menyayangkan), mempertanyakan mengapa Raja mengambil keputusan sepenting itu seorang diri tanpa berkonsultasi dengan patih dan kerabat.
Pangeran Mangkubumi bahkan melontarkan kritik tajam kepada kakaknya:
“Jenderal sejatinya juga manusia, bukan raksasa, apa mungkin akan menelan mentah-mentah?”.
Mangkubumi berargumen bahwa mustahil Kumpeni berani memaksa Raja, dan menuduh Raja tergesa-gesa tanpa masukan dari bawahan.
Mengenai besaran sewa, Mangkubumi memberi saran yang sangat berbeda dari kedua Patih. Ia menjelaskan bahwa wilayah pesisir utara adalah sumber pendapatan terbesar negara, bukan hanya dari hasil buminya tetapi juga dari bandar pelabuhan. Mangkubumi menyarankan agar Raja meminta sewa 100.000 Real per tahun. Jika tidak, seluruh anggaran negara Mataram (termasuk urusan harta dan tenaga) akan dipikul oleh daerah-daerah pertanian yang kurang produktif seperti Pajang, Mataram, Bagelen, dan Kedu.
Raja menjadi bingung oleh perbedaan usulan yang drastis ini. Ketika Raja meminta pendapat kedua Patih mengenai usulan Mangkubumi, mereka hanya terdiam dan menunduk (dhêlêg-dhêlêg duk ngrungu pitutur). Akhirnya, Raja hanya menyuruh mereka semua keluar dan berpikir lagi.***
