BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Pangeran Mangkubumi dan Mangkunagara menyerbu Mataram/Delanggu, memaksa strategi gerilya baru. Pecah barisan empat pangeran di Lemuru untuk kelangsungan perang jangka panjang.
1. Persiapan Operasi dan Serangan Balik ke Tanah Mataram
Setelah Keraton Surakarta diguncang serangan pembakaran yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi dan aliansi pemberontak (Artikel 4), Kumpeni dan Raja Pakubuwana II segera merespons dengan mengerahkan kekuatan terbesar mereka. Mereka sadar, musuh kini telah bersatu dan terorganisasi.
Bantuan dari Batavia datang, dipimpin oleh Mayor Tenangkus dengan tugas membasmi musuh. Pasukan gabungan Surakarta dan Kumpeni, yang juga melibatkan Mayor Hohendorff dan Adipati Pringgalaya, sepakat memfokuskan serangan ke selatan (Mataram) karena di sana banyak pangeran pemberontak berkumpul. Pasukan ini dipersiapkan secara besar-besaran, mencakup dua Mayor, seratus dragonder, dua ratus serdadu Kumpeni, dan persenjataan berat seperti meriam.
Menghadapi serangan masif dari selatan, Pangeran Mangkubumi, yang kini bergelar Adipati Sukawati Senapatining Prang Pramuka Jayengrat, mengeluarkan strategi responsif:
1. Membagi pasukannya menjadi lima bagian agar musuh tidak dapat mengira-ira keberadaan mereka.
2. Memerintahkan Pangeran Mangkunagara (Mas Said) untuk menyerang dan menghancurkan kota Kaduwang di selatan, untuk mengacaukan konsentrasi musuh.
3. Memimpin pasukan penyusup untuk menyerang langsung ke Surakarta (membakar kediaman Patih Pringgalaya).
Setelah konsolidasi di Sukowati (Gebang), Pangeran Mangkubumi dan pasukannya kemudian bergerak ke selatan menuju Delanggu.
2. Pertempuran Sengit dan Keputusan Mundur di Delanggu
Pasukan pemberontak berusaha menyerang pos-pos Belanda dan Surakarta di Mataram. Salah satu pertempuran terjadi di Majasta, di mana para perwira Pangeran Mangkunagara (seperti Kudanawarsa, Ngabei Kartadirja, dan Jayasimpangan) menyerang Belanda.
Namun, pasukan gabungan Kumpeni adalah kekuatan yang sulit ditembus. Di dekat Delanggu, barisan yang dipimpin Pangeran Pamot (adik Mangkunagara) disergap oleh Kumpeni di bawah pimpinan Letnan Sakeber. Pasukan Pamot diberondong senjata dan hancur berantakan (dhadhal). Istri Pangeran Pamot bahkan terjatuh dari kuda dan ditangkap oleh Sakeber.
Pangeran Mangkunagara yang menyaksikan kehancuran ini segera kembali bergabung dengan Pangeran Mangkubumi. Pertempuran itu berlangsung sengit hingga malam tiba, memaksa kedua belah pihak mundur. Korban jatuh dari pihak Kumpeni (dua prajurit mati, satu orang Sukowati terluka). Dalam kekacauan tersebut, Pangeran Mangkudiningrat (adik Pangeran Pamot) terpisah dan arah larinya tidak diketahui.
Pangeran Mangkunagara menceritakan awal mula kisah pedih yang dialaminya kepada pamannya, termasuk bagaimana pasukannya hancur di Papringan. Senjata, harta, dan perabotan perang mereka dirampas habis tak satupun tersisa. Pangeran Mangkunagara menyatakan:
“...Keinginan hati hamba kemarin sampai sekarang tidak lain hanya ingin berlindung kepada paduka [Mangkubumi].”
3. Keputusan Strategis di Lemuru: Strategi Pemecahan Pasukan
Setelah mundur dari medan pertempuran, Pangeran Mangkubumi dan seluruh pasukannya—termasuk Mangkunagara, dan kemudian Pamot serta Mangkudiningrat (setelah ditemukan kembali)—berkumpul di Desa Lemuru, sebelah barat Delanggu.
Dalam pertemuan strategis yang sangat menentukan ini, Pangeran Mangkubumi memutuskan bahwa strategi lama dengan pasukan besar (yang mudah menjadi sasaran empuk Kumpeni) tidak lagi efektif. Mereka harus berpencar, mengadopsi taktik gerilya untuk perlawanan jangka panjang:
1. Pangeran Mangkunagara diperintahkan untuk kembali ke timur.
2. Pangeran Pamot dan Pangeran Mangkudiningrat diperintahkan untuk kembali ke selatan.
3. Pangeran Mangkubumi sendiri bergerak ke utara bersama pasukannya, melalui jalan besar.
Perintah Pangeran Mangkubumi kepada para pangeran adalah: "Berpisahlah jangan berkumpul. Masing-masing menggelar pasukan sendiri”.
Keputusan memecah barisan ini diambil karena pergerakan pasukan besar tidak leluasa dan Kumpeni/Surakarta dapat dengan mudah melacak keberadaan mereka. Mangkubumi bertekad untuk terus bergerak cepat, menyerang pos-pos musuh di utara Grobogan dan Blora, kemudian segera menghilang setelah menyerang. Strategi ini, yang menantang pola mobilisasi besar-besaran ala Kumpeni, kelak dikenal sebagai cikal bakal taktik gerilya, yang memungkinkan perlawanan berkepanjangan meskipun dalam jumlah yang kecil.
Mereka berpisah ketika matahari terbit (wijiling baskara budhal), menandai babak baru dalam Perang Jawa yang akan berlangsung bertahun-tahun.***
