Gpd6GfWoTSC5TSA9TpCoGUCoBY==
Anda cari apa?

Labels

Propaganda, Pemberian Gelar, dan Ramalan Masa Depan Jawa

Pemberian gelar baru kepada para adipati dan punggawa. Ramalan tentang keturunan Purbaya dan perpindahan kraton ke Ngadipala/Sala.

Intrik politik di istana Jawa kuno. Patih Danureja berbisik rahasia tentang takdir kerajaan—runtuhnya Kartasura yang gelap dan ramalan kota baru Sala yang cerah di seberang sungai.
Intrik politik di istana Jawa kuno. Patih Danureja berbisik rahasia tentang takdir kerajaan—runtuhnya Kartasura yang gelap dan ramalan kota baru Sala yang cerah di seberang sungai.(Generatif Gemini)


BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Dalam pusaran konflik dan upaya konsolidasi kekuasaan pasca pemberontakan yang dipimpin Pangeran Purbaya dan Pangeran Balitar, Kangjeng Susuhunan Pakubuwana (PB) mengambil langkah tegas, memadukan imbalan politik dengan penataan ulang gelar dan wilayah. Tindakan ini, yang sarat dengan propaganda, juga diwarnai oleh keyakinan mendalam terhadap ramalan kuno mengenai takdir Kraton Jawa.

Pemberian Gelar Adipati Baru kepada Citrasoma, Wirasantika, dan Jayaningrat

Setelah kemenangan atas Pangeran Balitar dan Purbaya, Susuhunan Pakubuwana bergegas memperkuat barisan pendukungnya dan menyingkirkan elemen yang dianggap tidak setia. Dalam sebuah operasi politik yang cepat, Kangjeng Susuhunan menata ulang struktur punggawa dengan menganugerahkan gelar dan wilayah baru kepada mereka yang dianggap berbakti.

Citrasoma, yang sebelumnya adalah Tumenggung, diangkat menjadi Adipati Citrasoma dan dianugerahi ganjaran Nagari Japara. Jabatan strategis pun diberikan kepadanya, yaitu sebagai pengetua (wadana) Gedhong Kiwa.

Sementara itu, Wirasantika juga mendapat kehormatan. Ia diangkat menjadi bupati dengan ganjaran Nagari Jipang dan diberi sebutan baru Tumenggung Surawijaya di Jipang. Tumenggung Surawijaya juga ditugaskan sebagai kepala mancanagara untuk menertibkan pemerintahan wilayah luar.

Adapun Jayaningrat, yang juga dikenal sebagai Dipati Sampang, diangkat menjadi Adipati Jayaningrat dengan ganjaran wilayah Nagari Pekalongan. Selain itu, Pusparudita dianugerahi pangkat Tumenggung dan diberi ganjaran Nagari Batang, dengan sebutan Tumenggung Pusparudita. Pemberian gelar dan ganjaran ini bertujuan untuk memastikan kesetiaan dan memulihkan tatanan pasca-perang.

Ramalan Mengenai Keturunan Panembahan Purbaya yang Akan Menjadi Raja

Di tengah gejolak penataan ulang kekuasaan, terdapat wirayad (ramalan atau dongengan) yang dipercaya oleh para ahli nujum dan punggawa senior, yang menyatakan bahwa takdir Kraton Kartasura akan berpindah.

Kyai Kanduruan, salah satu ahli nujum, memberikan petunjuk penting kepada Patih Danureja, bahwa cucunda Panembahan Purbaya kelak kemudian hari pasti akan menjadi raja. Ramalan itu menyebutkan bahwa keraton baru tidak lagi berada di Kartasura, melainkan akan pindah ke timur, di daerah yang disebut Ngadipala atau Sala (dikenal juga sebagai desa Semanggi) di sebelah barat Bengawan Solo.

Meskipun pada mulanya cucunda Purbaya akan mengalami "kepahitan dalam kehidupannya", ia diramalkan akan menjadi ratu diraja yang masyhur, mulia, dan berwibawa, yang kekuasaannya tidak ada tandingannya di Tanah Jawa. Pemerintahan cucunda Purbaya diramalkan akan berlangsung selama 60 tahun.

Keyakinan terhadap ramalan ini begitu kuat, sehingga Patih Danureja dan para punggawa menyarankan agar putri Panembahan Purbaya, Raden Ajeng Suwiyah, dijodohkan dengan Ingkang Sinuhun (PB) agar takdir tersebut terpenuhi. Patih Danureja menyetujui, berharap terlahirnya raja besar dari rahim putri Purbaya yang akan memimpin di keraton yang baru. Raden Ajeng Suwiyah kemudian dipinang dan dinobatkan menjadi Ratu Kancana.

Pusaka Kartasura (Tombak, Dhuwung) dan Bendhe Ki Bicak yang Sempat Dibawa ke Selong

Setelah konflik, beberapa pusaka penting Kraton Kartasura ternyata dibawa pergi. Kangjeng Susuhunan Amangkurat Mas (Sunan Kendhang) dan sentana yang diasingkan ke Pulo Selong (Ceylon/Sri Langka) membawa serta pusaka-pusaka Tanah Jawa, termasuk Waos (tombak), keris (dhuwung), rasukan (baju, mungkin Kotang Antakusuma), dan Bendhe Ki Bicak.

Meskipun Pangeran Balitar sempat meminta pusaka tersebut (Waos Kyai Baru dan Rasukan Kyai Gondhil) dari Sunan Kendhang, Sunan Kendhang menolak menyerahkannya, berjanji hanya akan menyerahkan Bendhe Ki Bicak setelah ia tiba di Surabaya dan bertemu dengan kumpeni.

Pangeran Purbaya sendiri, setelah kalah, bersama Pangeran Balitar, Dipati Natapura, Raden Surapati, dan Raden Suradilaga ditangkap dan dibuang ke Pulo Selong.

Menariknya, saat mengetahui pusaka-pusaka fisik tersebut dibawa ke Selong, Susuhunan Pakubuwana (PB) memiliki pandangan yang berbeda mengenai pusaka sejati. Ia berkata kepada Patih Cakrajaya, bahwa pusaka Tanah Jawa yang sesungguhnya bukanlah tombak, keris, atau bende tersebut. Pusaka yang paling penting dan harus tetap ada adalah hamba sahaya di Kadilangu dan Masjid di Demak. Hal ini menunjukkan pergeseran prioritas politik dan spiritual PB, menekankan simbol agama dan kesetiaan dibandingkan artefak fisik semata. PB kemudian mengutus Patih Natakusuma untuk mengambil kembali pusaka-pusaka tersebut dari Jakarta/Selong.***

0Komentar

Tambahkan komentar

Info

  • Griya Lestari D3 12A, Ngaliyan, Kota Semarang
  • +628587503514
  • redaksibabad.id@gmail.com