Gpd6GfWoTSC5TSA9TpCoGUCoBY==
Anda cari apa?

Labels

Pusaran Intrik Keraton: Dramatika Perebutan Pengaruh di Masa Sultan Hamengkubuwono II

Mengupas intrik-intrik tajam di dalam dan luar Keraton Yogyakarta yang melibatkan tokoh besar dan melemahkan keutuhan negara.

Ilustrasi Sultan Hamengkubuwono II. (Generatif Gemini)
Ilustrasi Sultan Hamengkubuwono II. (Generatif Gemini)


BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Setelah perjanjian yang memecah Jawa, Babad Mangkubumi memulai narasinya di tengah gejolak internal Kasultanan Yogyakarta. Bagian terakhir dari karya sastra ini, yang disajikan dalam bentuk prosa atau gancaran, mengambil latar ketika Sri Sultan Hamengkubuwono II—yang kemudian dikenal sebagai Sultan Sepuh—telah menduduki takhta di Yogyakarta, menggantikan ayahandanya.

Pada periode ini, Babad Mangkubumi menyajikan gambaran yang jelas mengenai segala macam dan bentuk intrik di dalam maupun di luar keraton. Perpecahan dan persaingan kekuasaan ini, menurut sumber, sangat tragis karena merugikan keutuhan dan kekuatan negara.

Konflik Darah Biru: Sultan Sepuh Melawan Putra Mahkota

Intrik terpusat pada persaingan antara Sultan Sepuh dan pewaris takhta, Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (yang kelak menjadi Sultan Hamengkubuwono III atau Sultan Raja). Meskipun Sultan Sepuh sendiri memperlakukan tiga menantunya—yang disebut ipe tetiga—yaitu Raden Tumenggung Sumodiningrat, Raden Ronggo, dan Raden Patih Renggengkoro, layaknya putranya sendiri, Pangeran Adipati Anom justru merasakan sugun-sugun (kecemasan mendalam) terhadap keberadaan ketiga iparnya itu.

Ironisnya, Babad Mangkubumi mengisahkan bahwa para ipar tersebut justru menunjukkan kesetiaan kepada Pangeran Dipati Anom, sampai-sampai mereka bersujud di hadapan calon Sultan itu. Sikap para menantu Sultan yang berpihak pada putra mahkota inilah yang membuat Sultan Sepuh merasa mengkak (marah atau tidak senang). Akibatnya, Sultan Sepuh sering menghalangi kehendak Pangeran Adipati. Bahkan, kemarahan Sultan Sepuh terwujud dalam denda uang (picis) yang sering dijatuhkan kepada Raden Ronggo dan Raden Sumodiningrat.

Patih Danurejo: Senjata Fitnah dan Kekuatan Gaib

Dalam konflik antara ayah dan anak ini, Patih Danurejo memegang peranan kunci. Menurut sumber, Raden Patih adalah sosok yang cerdik mencari muka dan berhasil memenangkan kasih sayang Pangeran Dipati Anom.

Untuk memperkuat pengaruhnya di lingkaran kekuasaan, Babad Mangkubumi mencatat bahwa Patih Danurejo menggunakan cara-cara kebatinan dan dukun serta segala cara yang dianggap tidak wajar. Keberhasilan taktik ini membuat Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom menyayangi Patih Danurejo.

Patih Danurejo juga dikenal lihai melancarkan fitnah dan muslihat. Salah satu sasarannya adalah Kangjeng Pangeran Notokusumo (adik Sultan Sepuh, yang kemudian menjadi Kangjeng Pangeran Pakualam). Raden Patih (beserta ayahandanya, Raden Danukusumo) dianggap pandai mendalihkan cerita sehingga Kangjeng Sultan mudah dipengaruhi. Fitnah lain juga diarahkan kepada bupati dalam bernama Raden Aryo Sindurejo.

Karena khawatir menjadi korban fitnah Raden Patih, Pangeran Notokusumo sempat menemui Pangeran Adipati Anom untuk meminta perlindungan secara halus. Pangeran Notokusumo bahkan meminta Pangeran Adipati Anom untuk menjamin kedudukan putranya, Raden Tumenggung Natadiningrat, karena ia merasa kawatir ada ancaman. Pangeran Dipati Anom menyanggupi untuk membuat sesuatunya menjadi bersih.

Konsekuensi Keutuhan Negara

Tekanan intrik dan fitnah ini terasa sangat berat bagi Pangeran Notokusumo. Dalam Babad Mangkubumi, ia menggambarkan penderitaan batinnya seolah-olah berjalan di tengah kegelapan, di mana ia merasa hidupnya seperti perahu yang layarnya putus dan kompasnya rusak. Ia bahkan merasa sangat prihatin dan kehilangan arah setelah meninggalnya Tumenggung Natayuda.

Pada akhirnya, intrik dan perpecahan yang dipertontonkan oleh para elit Jawa di Keraton Yogyakarta—mulai dari Sultan, putra mahkota, hingga patih yang ambisius—membuka pintu lebar bagi dominasi pihak asing. Sumber menegaskan bahwa menghayati cermin peristiwa sejarah dalam babad ini sangat penting, karena perpecahan internal yang disebabkan oleh kepentingan pribadi atau kelompok inilah yang membuat keutuhan negara runtuh, memungkinkan kelihaian orang asing mencaplok wilayah. Akibatnya, dari kerajaan besar, Jawa hanya tinggal empat keping wilayah kecil kerajaan pada pertengahan abad ke-18.

Situasi di Keraton Yogyakarta, di mana konflik antara Sultan Sepuh dan Pangeran Dipati semakin memanas di bawah kendali Danurejo, ibarat sebuah benteng kokoh yang dindingnya dirapuhkan dari dalam. Ketika tembok itu rapuh, mustahil menahan hantaman kekuatan dari luar. Ini adalah pelajaran pahit mengenai harga dari ambisi pribadi yang dibayar mahal dengan kedaulatan negara.***

0Komentar

Tambahkan komentar

Info

  • Griya Lestari D3 12A, Ngaliyan, Kota Semarang
  • +628587503514
  • redaksibabad.id@gmail.com