![]() |
| Ilustrasi wayang Semar, penjelmaan Bathara Ismaya. (Generatif Gemini) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Dalam jagat pewayangan, tak ada tokoh yang menyandang paradoks seberat Semar. Meskipun tampil dengan wujud yang bulat, rembes, dan terkadang menjijikkan, ia adalah figur misterius yang dihormati para dewa dan menjadi penasihat agung bagi ksatria utama. Semar sering ditampilkan sebagai tokoh yang selalu memancarkan nilai-nilai kebijaksanaan hidup. Di tengah keruwetan duniawi, Kyai Semar merupakan pelita yang mampu menerangi sewaktu dirundung kegelapan bagi para Pandawa. Namun, di balik peranannya sebagai kawula alit—seorang abdi yang setia, menjalankan darmanya tanpa pamrih—tersembunyi jati diri dewa yang luhur: Sang Hyang Ismaya, yang turun ke madyapada untuk menjadi pamong satria agung.
Kisah Kelahiran Sang Hyang Antaga, Ismaya, dan Manikmaya
Asal-usul Semar sebagai dewa agung dicatat dalam beberapa pustaka kuno, termasuk Serat Paramayoga karya R. Ng. Ranggawarsita dan Kitab Pustaka Raja Purwa. Menurut versi ini, Semar sebenarnya adalah Sang Hyang Ismaya, anak Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Tunggal sendiri merupakan putra dari Sang Hyang Wenang, raja dewa yang bersemayam di Gunung Mahameru.
Dari pernikahannya dengan Batari Dremani, Sang Hyang Tunggal dikaruniai tiga putra. Mereka adalah Sang Hyang Antaga, Sang Hyang Ismaya, dan si bungsu Sang Hyang Manikmaya. Masing-masing memiliki aura berbeda sesuai dzat-nya sebagai dewa: Sang Antaga bersinar putih, Sang Hyang Ismaya bersinar hitam, dan Sang Hyang Manikmaya bersinar kuning. Ketiga bersaudara ini diberi tugas berbeda untuk membangun peradaban di dunia. Sang Hyang Manikmaya diangkat menjadi raja dewa-dewi, Sang Hyang Ismaya ditugasi mengasuh manusia, khususnya para satria utama, dan Sang Hyang Antaga mengasuh kaum asura (raksasa dan danawa).
Simbolisme Ujian Menelan Gunung Mahameru: Mengapa Semar Berwujud Buruk?
Penugasan yang memberikan keuntungan tertinggi kepada Manikmaya (Bathara Guru) ini justru memicu kecemburuan di hati kedua kakaknya, Antaga dan Ismaya. Iri hati tersebut memicu perkelahian hebat yang akhirnya dilerai oleh Sang Hyang Tunggal melalui sebuah sayembara ekstrem. Sayembara tersebut adalah barang siapa mampu menelan Gunung Mahameru dan memuntahkannya kembali, dialah yang akan menjadi raja para dewa.
Manikmaya berhasil memenangkan sayembara itu. Namun, Sang Antaga dan Ismaya, meskipun mampu menelan Gunung Mahameru, tidak mampu memuntahkannya kembali. Kegagalan ini membawa konsekuensi fisik yang drastis; paras mereka menjadi rusak, tubuh mereka membengkak menjadi tambun, dan mereka berwujud buruk rupa.
Namun, cerita ini sarat makna simbolis. Kisah Ismaya menelan Gunung Mahameru dan tidak dapat memuntahkannya kembali sebenarnya merupakan simbolik. Tindakan menelan gunung yang tertinggi dan terbesar ini kemudian manunggal (menyatu) dengan dirinya, menunjukkan keberhasilannya menyerap hakikat tertinggi, bukan kegagalan. Dari peristiwa ini, Ismaya menyadari bahwa keberuntungan hidup tidak diukur dari enak dan tingginya status kehidupan duniawi, namun terletak dari keberhasilan dalam melaksanakan tugas. Maka, Sang Hyang Ismaya kemudian turun ke Marcapada dan dengan tulus ikhlas menjadi pamomong satria utama dalam wujud Kyai Semar.
Jati Diri Semar: Manifestasi Hyang Wenang dan Makna Kata "Samar"
Jati diri Semar melampaui sekadar wujud fisik. Setelah rangkaian persatuan spiritual, Hyang Wenang berkenan bersatu dengan Hyang Tunggal, dan Hyang Tunggal bersatu dengan Hyang Ismaya. Konsekuensinya, Semar sesungguhnya merupakan manifestasi dari Hyang Wenang, Hyang Tunggal dan Hyang Ismaya. Ia adalah Yang Maha Wisesa, Wenang dan Wening.
Eksistensi Semar yang serba misterius ini, baik dalam narasi maupun kepustakaan yang sering senantiasa bertentangan, menjelaskan mengapa namanya sendiri bermakna samar atau samar-samar (tidak jelas). Ia adalah sosok yang tak dapat dilihat dengan mata, tak dapat dirupakan (tan kasat mata).
Meskipun dalam wujud kawula alit (rakyat biasa), di Kahyangan Semar sangat dihormati, disegani, dan Bathara Guru sekalipun tidak berani bersikap sembarangan terhadapnya. Ia adalah kawula pinandhita—hamba yang dianggap sebagai pendeta. Semar dilukiskan sebagai tokoh yang waskitha ngerti sadurunge winarah (bijaksana, tahu sebelum diberitahu).
Dalam budaya Jawa, kawula (umat manusia) dan Gusti (Tuhan) dilambangkan oleh hubungan Semar dan Pandawa. Kehadiran Semar sangat dinantikan di saat-saat krisis, atau yang disebut adegan gara-gara. Gara-gara yang berupa bencana alam berhenti bersamaan dengan kehadiran Panakawan. Semar tidak hanya berfungsi sebagai abdi; ia adalah penunjuk jalan yang benar dan simbol kearifan yang selalu memayu hayuning bawana (menjaga keindahan dan keseimbangan dunia).
Pengejawantahan Abadi Sang Pamomong
Kekuatan Semar tidak berasal dari kesaktian lahiriah, melainkan dari kedalaman batin dan kepatuhannya pada hukum kebenaran. Ia mengajarkan Pancawisaya—lima penghalang hidup—kepada Arjuna, yang intinya mengajarkan ketabahan, penerimaan, dan kepercayaan penuh kepada panguwaosipun Sang Hyang Sukma Kawekas (kekuasaan Tuhan). Semar adalah simbol kesadaran kita paling dalam (sejati), yang orang Jawa mengatakan rasa eling.
Meskipun ia adalah penjelmaan dewa, Semar memilih untuk berada di tengah rakyat, menjunjung tinggi keadilan dan kemanusiaan. Kehadirannya memastikan bahwa yang super itu Semare bukan kekuasaan yang fana. "Wujud lahiriah Semar tidak menunjukkan keindahan, ia suka melepaskan angin-angin, namun batinnya amat halus, lebih peka, lebih baik dan lebih mulia dari ksatria-ksatria yang tampan itu" (Magnis Suseno, 1996: 54). Semar adalah pengingat abadi bahwa derajat kemanusiaan terletak pada sikap batin, bukan pada rupa, kekayaan, atau kedudukan. Wujudnya yang kasar namun berhati mulia menjadi lambang bahwa suara rakyat (kawula) adalah suara Tuhan (vox Dei atau vox populi).***
