Gpd6GfWoTSC5TSA9TpCoGUCoBY==
Anda cari apa?

Labels

Semar, Sang Penjaga Keseimbangan Dunia (Dutaning Jagad Raya) di Triloka

Menjelaskan peran Semar sebagai pengontrol Triloka (dewa, raksasa, manusia) dan kekuatannya menstabilkan alam semesta. Tokoh mitologi nusantara.

Ilustrasi Semar, sang penjaga keseimbangan dunia. (Generatif Gemini)
Ilustrasi Semar, sang penjaga keseimbangan dunia. (Generatif Gemini)

BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Di antara deretan wayang purwa, tak ada sosok yang lebih misterius dan kontradiktif selain Semar. Bertubuh bulat, berkepala kecil, bermata rembes, dan secara lahiriah tampak seperti rakyat jelata, ia adalah pengejawantahan dewa agung yang tak terkalahkan. Semar, atau yang dikenal sebagai Juru Dyah Prasanta, adalah tokoh mitologi religius Nusantara yang disayangi dan berharga untuk dipelajari sedalam-dalamnya secara falsafah.

Kisah kelahirannya sendiri diselubungi misteri—ia adalah Sang Hyang Ismaya, putra kedua Sang Hyang Tunggal, yang muncul dari keajaiban telur. Meskipun demikian, kesimpulan para ahli tentang Semar hanyalah bersifat mitologis, simbolis, dan konsepsional, bukan fakta historis yang wadag. Semar adalah simbol kesadaran terdalam manusia (rasa eling), pemimpin yang ada pada diri kita masing-masing. Dengan peran inilah ia menjalankan tugas sucinya: dutaning jagad raya.

Peran Sentral Semar dalam Menjaga Ketertiban Alam Dewa, Raksasa, dan Manusia

Semar memegang peran sentral sebagai duta yang mengemban tugas suci untuk ikut menjaga ketertiban Triloka, yaitu alam dewa, manusia, dan raksasa. Ia tahu betul peta sosio kultural di tiga dunia ini, sebuah kemampuan yang disebut waskitha ngerti sadurunge winarah.

Sebagai penjaga keseimbangan, eksistensi Semar melintasi hierarki sosial dan kosmis. Di Marcapada (dunia manusia), ia menjadi pamong, pendamping, dan penasihat para raja serta satria luhur, termasuk Prabu Kresna dan para Pandawa. Dalam tugasnya, ia adalah kawula pinandhita (kawula yang dianggap sebagai pendeta).

Di alam raksasa (asura), Sang Hyang Ismaya (Semar) ditugasi mengasuh kaum danawa, yaksa, dan raksasa. Sementara di Kahyangan (alam dewa), Semar sangat dihormati, disegani, dan diperhitungkan pendapatnya oleh para dewa. Bahkan, para dewa di Kahyangan takluk total kepada pribadi agung Semar, dan Bathara Kala beserta bala tentara jin pun terlalu kecil keperkasaannya bila berhadapan dengan Sang Pamomong Agung, Kyai Semar. Kehadiran Semar diyakini akan mendatangkan kebenaran dan keberuntungan. Ia adalah penjamin adanya keselarasan harmonis alam semesta.

Mengapa Kekuasaan Bathara Guru Takluk pada Wibawa Semar?

Meskipun Semar tidak memiliki posisi atau jabatan formal di kahyangan, wibawa moral dan spiritualnya melampaui kekuasaan Dewa tertinggi, Bathara Guru. Bathara Guru sebagai raja dewa sekalipun, terhadap Semar tidaklah berani sembarangan.

Semar menjadi penegak etika kosmis. Setiap kali Bathara Guru melakukan kesalahan yang menyimpang dari prosedur wewenangnya, yang mampu mengingatkan dan meluruskan jalan hidupnya hanyalah Semar. Hal ini menunjukkan bahwa Semar mewakili kekuatan yang lebih dalam daripada otoritas institusional. Semar mengatasi semua dewa lain dengan kekuatannya.

Dalam mitologi, Bathara Guru melambangkan angan-angan. Manakala tergoda oleh Kala apalagi diperkuat oleh Durga, maka gonjing-miring-lah jagad raya. Dalam situasi kekuasaan yang korup dan menindas—bahkan jika di belakangnya berdiri para dewa—kekuatan Bathara Guru tak akan berdaya menghadapi Semar. Senjata pamungkas Semar untuk menghalau raja dewa tersebut terlukis jenaka dalam lakon: ia mampu menghalau raja dewa yang masih adiknya itu dengan senjata kentutnya. Kentut Semar bahkan dilambangkan sebagai senjata ampuh, yang dalam konteks Cirebon melambangkan pula kekuasaan tertinggi adalah di tangah rakyat atau suara rakyat adalah suara Tuhan.

Simbolisme Kekacauan (Gara-gara) dan Kemunculan Panakawan

Dunia Semar menjadi penting ketika dunia sosial dan dunia politis sedang mengalami situasi krisis. Ketika jagad raya dilanda gara-gara—simbol kekacauan sosial, ekonomi, dan politik, di mana tindakan manusia banyak yang menyimpang dari norma—tokoh Semar akan muncul secara tiba-tiba.

Adegan gara-gara di dalam pewayangan selalu menampilkan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Keempat tokoh Panakawan ini merupakan ciptaan asli orang Jawa, yang melambangkan empat aspek jiwa manusia: karsa (kehendak), cipta, rasa, dan karya. Mereka berfungsi sebagai pereda ketegangan dan penyampai pesan moral.

Saat gara-gara terjadi, gendhing-gendhing yang dimainkan terasa kacau (sereng), dan Panakawan (Gareng, Petruk, Bagong) muncul untuk bermain-main (gegojegan). Namun, begitu Semar muncul, ketiga panakawan itu menghilang, bahkan suasana menjadi tenang. Bencana alam pun berhenti seiring kehadirannya.

Kehadiran tokoh Semar dalam adegan gara-gara mengandung makna keselarasan, yang dalam falsafah hidup orang Jawa sangat didambakan dan harus diciptakan, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Soetarno, 2002, hlm. 44). Semar hadir bukan hanya untuk meluruskan dan melakukan kritik, tetapi juga untuk menegakkan prinsip-prinsip kekuasaan yang menempatkan kebenaran, moral, dan etika sebagai sumber legitimasi.

Semar adalah simbol yang tidak hanya mewakili orang bijak, tetapi juga idiom kerakyatan dan ketertindasan, sekaligus kekuasaan yang adil dan bijaksana (ambeg parama arta). Ia adalah manifestasi Dewa yang kumawula (mengabdi), mengingatkan kita bahwa yang super itu Semare bukan Gus Dur (Damardjati, 2001, hlm. 79). Sosoknya, yang secara visual serba samar, adalah penjamin bahwa keselarasan (sepi ing pamrih rame ing gawe) akan selalu kembali, menuntun manusia mencari kebenaran dan kedekatan dengan Tuhan.***

0Komentar

Tambahkan komentar

Info

  • Griya Lestari D3 12A, Ngaliyan, Kota Semarang
  • +628587503514
  • redaksibabad.id@gmail.com