Gpd6GfWoTSC5TSA9TpCoGUCoBY==
Anda cari apa?

Labels

Sultan Agung Episode 1: Kelahiran Raden Mas Rangsang dan Konsolidasi Takhta Mataram (1601–1613)

Menyelami masa muda Raden Mas Rangsang, putra Panembahan Seda Krapyak. Dari intrik suksesi hingga Panembahan Hanyakrakusuma memulai ekspansi Mataram.

Ilustrasi Sultan Agung Hanyakrakusuma. (Generatif Whisk)
Ilustrasi Sultan Agung Hanyakrakusuma. (Generatif Whisk)


BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Abad ke-17 di Jawa adalah panggung bagi seorang pemimpin muda yang kelak akan mengubah peta kekuasaan Nusantara. Di balik tembok keraton Kotagede, seorang pangeran tumbuh besar, mewarisi darah pendiri Mataram sekaligus hasrat untuk menaklukkan. Ia terlahir dengan nama yang menyimpan hasrat besar: Raden Mas Rangsang.

Jalannya menuju takhta pada tahun 1613 tidak hanya menandai pergantian raja, tetapi juga awal dari sebuah periode ekspansi militer yang dahsyat, sebuah proyek ambisius untuk membangun empire yang biaya sosialnya (social cost) sangat tinggi, merenggut sorak-sorai bala tentara dan ratap tangis rakyat jelata.

Garis Darah dan Intrik Suksesi di Kotagede

Sosok yang kelak dikenal sebagai Sultan Agung lahir sebagai Raden Mas Rangsang, putra dari Panembahan Seda Krapyak (dikenal juga sebagai Mas Jolang), yang memerintah dari tahun 1601 hingga 1613. Gelar ayahnya, "Seda Ing Krapyak," merujuk pada tempat pemeliharaan kijang (krapyak) di mana beliau diduga wafat.

Raden Mas Rangsang adalah putra tertua dari istri utama (garwa padmi) ayahnya, Ratu Mas Hadi/Dyah Banawati. Meskipun demikian, sumber Padmasoesastra menyebutkan bahwa ibunya adalah permaisuri dari Pati. Dalam masa kanak-kanak, ia awalnya dikenal dengan nama Raden Mas Jetmiko, sebelum kemudian diberi nama Pangeran Rangsang—sebuah nama yang berarti 'hasrat' atau 'gairah'.

Meskipun ia merupakan ahli waris utama, jalannya menuju takhta penuh ketegangan, mengingat ada keturunan lain yang juga mengincar mahkota. Bahkan, ada yang mempertanyakan gelar 'Susuhunan' yang melekat padanya saat muda (Graaf, 1986, hlm. 13).

Selama masa pemerintahan ayahnya (1601–1613), politik Mataram diwarnai ketidakstabilan. Panembahan Seda Krapyak pernah menunjukkan keonaran di keraton dengan menyamar sebagai raja. Meskipun sempat ada rencana pemindahan ibu kota, ia pada akhirnya tetap tinggal di Kotagede (Babad Momana, 1532 J.). Lingkungan Kotagede inilah yang menjadi saksi bisu masa muda Raden Mas Rangsang.

Panembahan Hanyakrakusuma: Raja Baru Mataram

Kekuasaan Panembahan Seda Krapyak berakhir pada tahun 1613. Pada tahun yang sama, Raden Mas Rangsang resmi mengambil alih kekuasaan.

Ia naik takhta dengan gelar Panembahan Hanyakrakusuma. Gelar ini bukan sekadar identitas politik; ia juga membawa makna spiritual. Dalam tradisi Jawa, nama 'Anyakrakusuma' memiliki arti kerohanian dan disebut pernah digunakan oleh seorang wali, yaitu Sunan Bonang. Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal pemerintahannya, Mataram telah berupaya mengukuhkan otoritasnya tidak hanya secara militer, tetapi juga melalui legitimasi spiritual dan budaya keagamaan.

Pengangkatan ini sering kali dilakukan melalui upacara yang jarang terjadi dan spontan. Pegawai istana memainkan peran yang sangat penting dalam upacara turun-temurun seperti ini.

Kontras Kekuatan: Mataram dan Gresik (1613)

Begitu memegang kekuasaan, Sultan Agung (saat itu Panembahan Hanyakrakusuma) langsung mengawali periode ekspansi militer yang tercatat dalam Bab II sumber sejarah berjudul Penaklukan-penaklukan Pertama Sultan Agung, 1613–1619.

Puncak ambisi pertamanya langsung tertuju pada wilayah pesisir Jawa Timur yang kuat. Pada tanggal 14 September 1613, Gubernur Jenderal VOC, Pieter Both, di Maluku, menerima kabar tentang penaklukan besar Mataram terhadap Kota Gresik. Gresik adalah kota yang penting, dan penaklukan ini terjadi setelah kota itu dikuasai dan dibakar pada tanggal 31 Agustus 1613.

Mataram diketahui telah menyiapkan armada militer yang masif untuk ekspedisi ini. Ada laporan Belanda yang menyebutkan bahwa Raja Mataram memberangkatkan pasukan hingga 150.000 prajurit untuk berbaris melalui pedalaman Mataram menuju Surabaya, yang kemudian berbelok ke Gresik. Penaklukan Gresik yang cepat dan pembakaran kota tersebut (Coen, Bescheiden, jil. I, hlm. 23, 24) menjadi penanda jelas bagi kekuatan-kekuatan di Jawa—termasuk para pedagang Belanda di Gresik—bahwa Mataram kini dipimpin oleh raja muda yang ambisius dan haus kekuasaan. Ini adalah sinyal pertama dari politik ekspansi Sultan Agung yang akan berlangsung selama puluhan tahun berikutnya, dengan sasaran utama menundukkan Surabaya dan daerah-daerah pesisir di sekitarnya.***

0Komentar

Tambahkan komentar

Info

  • Griya Lestari D3 12A, Ngaliyan, Kota Semarang
  • +628587503514
  • redaksibabad.id@gmail.com