Gpd6GfWoTSC5TSA9TpCoGUCoBY==
Anda cari apa?

Labels

Sultan Agung Episode 2: Jalan Berdarah ke Timur: Penaklukan Awal Mataram (1614–1619)

Ekspansi militer Sultan Agung di Jawa Timur (1614–1619). Pertempuran di Sungai Andaka, jatuhnya Wirasaba, dan awal konflik panas Mataram dengan VOC.

Ilustrasi Sultan Agung Hanyakrakusuma membawa Mataram Islam ke masa kejayaan dengan menakklukkan sejumlah kerajaan lain. (Generatif Whisk)
Ilustrasi Sultan Agung Hanyakrakusuma membawa Mataram Islam ke masa kejayaan dengan menakklukkan sejumlah kerajaan lain. (Generatif Whisk)


BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Setelah Panembahan Hanyakrakusuma (Sultan Agung) mengambil alih takhta pada tahun 1613, konsolidasi kekuasaan tidak hanya dilakukan di internal Mataram. Ambisi sang raja muda, yang terekam dalam Serat Kandha dan Babad B.P., segera mengarah ke timur, di mana Kerajaan Surabaya dan sekutu-sekutunya di pesisir utara Jawa masih berdiri tegak.

Periode antara 1614 hingga 1619 adalah fase berdarah di mana Mataram mulai mematahkan satu per satu rantai pertahanan pesisir, meskipun harus dibayar mahal, termasuk dengan gugurnya panglima terkemuka. Ini adalah strategi yang dirancang bukan untuk serangan frontal langsung, tetapi serangkaian serangan terhadap sekutu Surabaya atau aksi perampasan yang berhasil.

Perang Andaka (1614): Gugurnya Tumenggung Surantani

Ekspedisi militer besar pertama di bawah kepemimpinan Panembahan Hanyakrakusuma terjadi pada tahun 1614, yang digambarkan dalam sumber-sumber Jawa sebagai aksi perampokan jauh hingga ke timur.

Raja memberi perintah yang sangat keras kepada Tumenggung Surantani untuk bergerak menuju Jawa Timur. Surantani memimpin pasukan besar, ditemani oleh Raden Jaya Suponta, dengan target awal Pasuruan. Namun, fokus utama peperangan ini tampaknya berada di sekitar Lumajang dan Renong.

Pasukan Mataram menyadari bahwa mereka dikejar oleh koalisi Surabaya dan sekutunya, yang mencakup bupati dari Lasem, Pasuruan, dan Raden Panji Pulang Jiwa dari Madura. Mataram kemudian mengambil posisi di belakang Sungai Andaka, yang dalam Serat Kandha diyakini sebagai Kali Brantas.

Ketika pasukan Surabaya menyerbu menyeberangi sungai, terjadi bentrokan hebat. Dalam kekacauan itu, Tumenggung Surantani, pemimpin pasukan Mataram, tenggelam di sungai. Insiden tragis ini membuat pertempuran dihentikan sementara, dan Sungai Andaka pun diceritakan menyerap darah dan penuh mayat.

Namun, gugurnya Surantani tidak menghentikan Mataram. Keesokan harinya, pasukan Mataram melancarkan serangan balasan yang lebih terencana dan berhasil, menandai penaklukan daerah-daerah di Jawa Timur.

Dinding Terluar Surabaya Runtuh: Jatuhnya Wirasaba (1615)

Setelah Gresik dan pertempuran-pertempuran awal, Mataram mengalihkan perhatiannya ke Wirasaba, sebuah kota yang penting dalam lingkaran sekutu Surabaya.

Penaklukan Wirasaba tercapai pada tahun 1615. Pasukan Mataram yang dipimpin oleh Adipati Martalaya dan Pangeran Purbaya menghadapi pertahanan yang gigih. Mereka melancarkan serangan berulang kali. Untuk mengatasi tembok tebal benteng Wirasaba, pasukan Mataram menggunakan perlengkapan khusus seperti besi pencungkil (besi pencungkil) dan tangga penyebru.

Dalam serangan kedua yang dilakukan dengan lebih teliti dan persiapan yang matang, Wirasaba akhirnya takluk. Patih Rangga gugur, ada yang menyebut ia dipenggal kepalanya. Sementara itu, Bupati Wirasaba ditangkap dan diberi dua pilihan: menyerah atau dibunuh. Ia memilih yang terakhir—sebuah sikap yang menunjukkan kesetiaannya pada Surabaya—dan Mataram pun dapat merampas dan merusak Wirasaba.

Jatuhnya Wirasaba ini mendorong kerja sama yang lebih erat antara anggota persekutuan pesisir, yang kemudian mencoba menyerang Mataram.

Api di Jepara dan Tuban: Menegaskan Hegemoni Laut (1618–1619)

Konflik antara Mataram dan kekuatan dagang Eropa mulai memanas, terutama dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Hubungan ini tegang hingga Mataram melancarkan serangan langsung terhadap VOC di pelabuhan penting.

Pada Agustus 1618, Raja Mataram menunjukkan otoritasnya dengan memerintahkan Koja Hulubalang, Gubernur Jepara, untuk menangkap utusan VOC, Balthasar van Eyndhoven dan Cornelis van Maseyck. Koja Hulubalang, yang disebut-sebut sebagai panglima armada Mataram, melaksanakan perintah Raja. Mereka menjarah dan membawa barang-barang rampasan ke Mataram sebagai tawanan.

Peristiwa ini memicu kemarahan VOC. Sebagai pembalasan, Gubernur Jenderal Jan Pietersz. Coen melancarkan serangan. Pada tahun 1619, VOC menyerang dan membakar loji mereka sendiri di Jepara. Kerugian Mataram dari aksi ini dianggap lebih besar daripada kerugian Belanda, dan Jepara mengalami penderitaan terbesar.

Di tengah ketegangan ini, Sultan Agung fokus pada target strategis berikutnya: Tuban.

Penaklukan kota pelabuhan Tuban terjadi pada tahun 1619. Raja Mataram memerintahkan Tumenggung Martalaya dan Jaya Suponta untuk memimpin serangan. Adipati Tuban meminta bantuan dari Surabaya dan Madura, yang mengirimkan total 3.000 prajurit. Mataram, yang telah bersiap, menggunakan meriam bernama Sitamdhur dan Pun Gelap dalam pertempuran.

Tuban akhirnya takluk, dan Adipati Tuban yang terluka melarikan diri ke Madura. Jatuhnya Tuban sangat penting karena orang Belanda mencatat bahwa kota pelabuhan itu sebelumnya kuat dan mempunyai banyak armada. Dengan jatuhnya Tuban, Mataram telah berhasil menguasai wilayah timur Jawa dan menghancurkan salah satu kekuatan laut utama di sana.

Kemenangan ini adalah penutup dari konsolidasi tahap awal Mataram, menjadikan Surabaya semakin terisolasi dan rentan terhadap pengepungan di masa depan.***

0Komentar

Tambahkan komentar

Info

  • Griya Lestari D3 12A, Ngaliyan, Kota Semarang
  • +628587503514
  • redaksibabad.id@gmail.com