![]() |
| Ilustrasi Sultan Agung Hanyakrakusuma bersama prameswari. (Generatif Whisk) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Setelah berhasil merobohkan satu per satu benteng di Jawa Tengah dan Jawa Timur, ambisi Panembahan Hanyakrakusuma (Sultan Agung) memasuki babak penentuan. Surabaya, pusat kekuatan pesisir yang tersisa, kini terisolasi. Namun, sebelum ibu kota itu dapat ditaklukkan, Mataram harus menghancurkan sekutu terpentingnya yang tersisa: Madura.
Periode 1624–1625 bukan hanya tentang kemenangan militer; ini adalah penegasan otoritas spiritual dan politik Mataram, yang diakhiri dengan pengukuhan gelar yang jauh lebih tinggi bagi sang raja muda.
Penaklukan Madura dan Perubahan Gelar Raja (1624)
Madura, yang berbatasan langsung dengan Surabaya, adalah kekuatan terakhir yang harus diatasi Mataram untuk menguasai seluruh pesisir timur Jawa. Ekspedisi militer besar-besaran Mataram berhasil menundukkan Madura.
Mengenai kapan tepatnya penaklukan ini terjadi, terdapat sedikit perbedaan dalam sumber tradisional Jawa. Serat Kandha menyebut tahun Jawa 1544 (1622 Masehi), sementara Babad B.P. lebih spesifik mencatat tahun Jawa 1546 (1624 Masehi). Apapun tanggal pastinya, berita kemenangan ini segera menyebar hingga ke Batavia. Pada 9 Oktober 1624, utusan Belanda, Jan Vos, melaporkan bahwa Mataram sedang merayakan kemenangan mereka atas Madura.
Kemenangan strategis ini menjadi momen krusial yang mengukuhkan status Raja Mataram di mata kerajaan lain, baik di dalam maupun luar Jawa. Sebagai respons terhadap kemenangannya, Panembahan Hanyakrakusuma mengubah gelar kebesarannya. Gelar lamanya yang bernuansa 'Panembahan' (pemimpin spiritual) ditinggalkan. Ia kini mengambil gelar Susuhunan Agung Hanyakrakusuma. Perubahan gelar ini secara efektif mengangkat martabatnya, memberinya legitimasi yang lebih tinggi dan menempatkannya sejajar dengan penguasa besar Nusantara.
Strategi Blokade dan Jatuhnya Surabaya (1625)
Setelah Madura jatuh, Surabaya tak lagi memiliki harapan. Mataram telah mengepung kota itu melalui darat selama bertahun-tahun, menyulitkan pasokan makanan dan bala bantuan. Penaklukan-penaklukan sebelumnya terhadap Gresik (1613), Wirasaba (1615), dan Tuban (1619) telah mengikis daya tahan Surabaya.
Pada tahun 1625, Surabaya akhirnya menyerah kepada Mataram. Penguasa Surabaya menunjukkan penyerahan diri dengan cara yang khas: mereka mengirimkan seorang keturunan wali yang dihormati, Pangeran Pekik, kepada Susuhunan Mataram sebagai tanda takluk. Pangeran Pekik (juga disebut Pangeran Pekik Muda) dikenal sebagai fakih, seorang ahli hukum Islam.
Penyerahan diri ini memastikan Surabaya sepenuhnya terintegrasi ke dalam kekuasaan Mataram. Pangeran Pekik kemudian diperintahkan oleh Susuhunan untuk tinggal di luar wilayah Surabaya, tepatnya di Ampel, sebuah tempat keramat karena merupakan kediaman keturunan wali. Tindakan ini bukan hanya politik, tetapi juga strategis, memungkinkan Mataram mengontrol jaringan spiritual di pesisir.
Dengan penaklukan Surabaya, Mataram berhasil menguasai hampir seluruh Jawa, sebuah pencapaian yang melampaui leluhurnya. Surabaya pun kehilangan salah satu pangkalannya di luar daerahnya, seperti Landak dan Banjarmasin, yang kini terancam jatuh ke tangan Mataram.
Simbol Kekuatan Militer dan Keterlibatan Kaum Santri
Ekspansi Mataram di periode ini tidak lepas dari kekuatan militer yang dibangun secara masif. Bukti kemakmuran dan kekuatan ini terlihat dari upeti dan pisungsung (persembahan) yang diterima Mataram dari daerah taklukan, yang sering kali berbentuk persenjataan.
Setelah kemenangan-kemenangan besar ini, para penguasa bawahan, termasuk dari Cirebon, Banten, dan Jepara, mengirimkan persembahan kepada Mataram. Misalnya, Jepara mengirimkan meriam-meriam besar, Cirebon mengirimkan lima set meriam, dan Banten mengirimkan banyak harta. Meriam ini, seperti Sitamdhur dan Pun Gelap yang telah digunakan dalam pertempuran sebelumnya, menjadi simbol nyata superioritas militer Mataram.
Namun, di tengah supremasi militer ini, Sultan Agung juga harus menyeimbangkan kekuasaan agama. Meskipun ia adalah raja muslim, Sultan Agung memiliki cita-cita politik untuk membangun otoritas tunggal tanpa campur tangan kaum santri dalam ranah politik.
Kasus Pangeran Pekik menjadi contoh ideal. Walaupun Pekik adalah keturunan wali (Sunan Ampel) dan ahli hukum Islam (fakih), ia hanya diizinkan tinggal di wilayah yang keramat dan terpisah dari pusat kekuasaan Surabaya. Ini menunjukkan bahwa Sultan Agung memanfaatkan legitimasi spiritual kaum santri untuk memenangkan peperangan, namun pada saat yang sama, membatasi peran politik mereka agar otoritas keraton tetap tak tertandingi.***
.jpeg)