![]() |
| Ilustrasi Sultan Agung Hanyakrakusuma. (Generatif Whisk) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Setelah menguasai seluruh pesisir, termasuk Madura dan Surabaya pada 1625, langkah Susuhunan Agung Hanyakrakusuma selanjutnya hanya memiliki satu target: menyingkirkan kekuatan asing yang kian mengganggu di pantai barat, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Batavia. Namun, sebelum mengarahkan seluruh kekuatan Mataram ke barat, Raja harus memastikan tidak ada pengkhianatan dari wilayah kekuasaan yang baru dikonsolidasi.
Periode 1627–1629 adalah babak epik, sekaligus tragis, yang akan menentukan batas kekuasaan Mataram.
Pembangkangan di Pati dan Murka Sang Susuhunan (1627)
Mataram Raya, yang dibangun di atas politik ekspansi berbiaya sosial tinggi, rentan terhadap pemberontakan. Pada tahun 1627, Adipati Pragola II dari Pati menunjukkan ketidaksetiaannya.
Menurut catatan Jawa, Pragola II menolak untuk bersumpah setia kepada Mataram dan sibuk mengumpulkan persenjataan perang yang sangat besar. Pemberontakan ini dianggap sebagai ancaman serius. Serat Kandha mencatat bahwa Tumenggung Endranata (seorang adipati di utara) diperintahkan oleh Raja untuk melaporkan situasi tersebut. Endranata melaporkan bahwa Pragola II telah memulai pemberontakan, melibatkan seluruh wilayah utara (tempat-tempat itu), namun Endranata sendiri tetap setia.
Mendengar laporan tersebut, Sultan Agung murka luar biasa. Beliau menyatakan ingin segera berangkat menyerbu Pati dan memerintahkan para abdi menyiapkan segala perlengkapan militer. Kemarahan Sultan ini menunjukkan bahwa toleransi terhadap pembangkangan regional telah habis, terutama menjelang kampanye besar ke Batavia yang membutuhkan konsolidasi total.
Ekspedisi Pertama ke Batavia: Strategi Laut Purbaya (1628)
Pengepungan Batavia adalah proyek politik dan militer paling ambisius Sultan Agung, yang disorot dalam setiap bab sejarah Jawa dan Indonesia.
Serangan pertama terhadap kubu VOC di Batavia terjadi pada tahun 1628. Mataram menggunakan strategi yang hati-hati, mengirimkan pasukan melalui laut dengan cara yang tersembunyi. Panembahan Purbaya, salah satu paman Sultan Agung dan komandan senior, memimpin ekspedisi awal ini. Purbaya menggunakan kapal bernama Kaladuta, yang dibuat dari kayu hutan Pemalang.
Meskipun membawa pasukan, Purbaya bergerak secara rahasia dan berhasil tiba dengan selamat bersama 46 pengikutnya. Di Batavia, Purbaya menghadapi barisan pertahanan VOC yang kuat, yang dikepalai oleh Kapten Jukwes. Pertahanan Belanda ditopang oleh empat baris meriam.
Purbaya tidak gentar; ia dan pasukannya mampu mengalahkan Belanda di laut, bahkan menerima penyerahan diri di dekat sungai (seperti dicatat dalam Babad B.P.). Dalam serangan awal ini, pihak Mataram berhasil merusak benteng Belanda. Keterangan lain menyebutkan pasukan Jawi berhasil merusak tembok-tembok benteng pertahanan VOC, baik melalui darat maupun laut.
Tragedi di Jantung Jawa: Kampanye Mandurareja (1629)
Melihat keberhasilan awal yang sporadis, Sultan Agung memutuskan serangan yang lebih masif dan menentukan. Ekspedisi kedua yang terkenal dipimpin oleh Adipati Mandurareja.
Mandurareja mengumpulkan seluruh pasukan pesisir dan diperintahkan membawa dua meriam besar. Ia memimpin pasukan dalam upaya pengepungan yang panjang, di mana orang-orang Belanda (Kumpeni) yang dipimpin oleh jenderal, kornel, mayor, kapten, dan loperes bertahan mati-matian.
Namun, kampanye ini berujung pada kerugian besar bagi Mataram:
1. Strategi Kelaparan dan Penyakit: Pasukan Mataram menderita kekurangan makanan.
2. Perlawanan VOC yang Ekstrem: VOC menggunakan tembakan meriam yang disebut gurnat dan gurnada dan peluru yang terbuat dari rantai dan besi.
3. Amunisi Menjijikkan: Salah satu momen paling mengejutkan adalah ketika pasukan Mataram di bawah Mandurareja menghadapi serangan yang menggunakan amunisi tidak lazim. Karena kehabisan peluru, VOC dilaporkan mengisi meriam mereka dengan kotoran manusia (tinja). Peluru tinja ini menyebabkan banyak prajurit Mataram sakit, muntah-muntah (muntah-mutah), dan terpaksa mundur.
4. Kegagalan di Lapangan: Meskipun Mandurareja mundur karena serangan penyakit dan kotoran, laporan Belanda mencatat kerugian besar, dengan seribu serdadu VOC tewas dalam tiga pertempuran.
Setelah Mandurareja kembali, ia melaporkan keadaan pertempuran dan penggunaan amunisi kotoran tersebut. Mendengar laporan ini, Sultan Agung membuat keputusan politik yang mengejutkan. Beliau menyatakan niatnya untuk menghentikan peperangan.
Raja berpendapat bahwa kemakmuran kerajaannya kelak akan dicapai melalui perantaraan Belanda (lantaran Belanda), sesuai dengan kehendak Yang Maha Kuasa. Beliau memutuskan untuk membubarkan pasukan yang sedang berperang dan memberikan kelonggaran kepada VOC. Sebagai konsekuensi kegagalan tersebut, Mandurareja dan Baureksa diperintahkan untuk tinggal di Kaliwungu dan tidak kembali ke Mataram.***
.jpeg)