Gpd6GfWoTSC5TSA9TpCoGUCoBY==
Anda cari apa?

Labels

Sultan Agung Episode 7: Sang Seniman Agung di Takhta: Jalan Ma'rifat dan Serat Kekiyasaning Pangracutan

Menyelami ajaran mistik Islam-Jawa Sultan Agung dalam Serat Kekiyasaning Pangracutan. Dari teknik Pati Raga hingga takdir akhir jasad dan sukma.

Ilustrasi Sultan Agung Hanyakrakusuma membaca serat. (Generatif Whisk)
Ilustrasi Sultan Agung Hanyakrakusuma membaca serat. (Generatif Whisk)


BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Bagi Susuhunan Agung Hanyakrakusuma, menguasai Jawa hanyalah separuh pertarungan. Kemenangan sejati terletak pada penaklukan diri dan persiapan menuju kekekalan. Setelah kegagalan di Batavia dan konsolidasi politik internal, energi Raja Mataram ini dialihkan ke alam spiritual, menghasilkan karya-karya mistik yang menjadi pondasi spiritual keraton.

Sultan Agung dikenal sebagai raja yang sungguh-sungguh menaati peraturan agama Islam, bahkan menerapkan ajaran ini dengan keras pada dirinya sendiri dan lingkungan keraton. Proyek spiritualnya mencapai puncak dalam bentuk ajaran Wirid Ngelmu Ma'rifat, yang tujuannya adalah mengetahui kehidupan hingga kematian tanpa keraguan (ngawruhana ing ngagesang dumugining pati sampun ngantos tundha bema dunungipun).

Puncak Ilham Raja: Serat Kekiyasaning Pangracutan

Serat utama yang memuat ajaran mistik mendalam Sultan Agung adalah Serat Kekiyasaning Pangracutan. Sumber tradisi menyebutkan bahwa Sultan Agung tidak hanya menyusun hukum negara (Niti Praja) dan filsafat seni (Sastra Gending), tetapi juga panduan spiritual ini [Episode 5].

Penyusunan ajaran-ajaran Mataram ini, termasuk filsafat kepemimpinan dan spiritual, didasarkan pada empat pilar: Dalil (persamaan Tuhan), Hadits (petunjuk Rasulullah), Ijmak (kesepakatan ajaran para Wali di Tanah Jawa), dan Kiyas (perkataan para wra padhilan). Sultan Agung sendiri diyakini menerima ilham langsung dari Yang Maha Suci, memberinya hak untuk menjadi pembimbing spiritual di Tanah Jawa (ambaboni ing Tanah Jawi).

Serat Kekiyasaning Pangracutan ini mengajarkan tentang hakikat ilmu, yaitu Ma'rifat, yang memberikan keyakinan penuh akan Dzat Yang Maha Suci.

Pati Raga: Seni Mencapai Kesempurnaan

Untuk mencapai ma’rifat (pengetahuan sejati) dan penyatuan (campurnya yang baru dan yang terdahulu) yang diajarkan dalam Sastra Gending, seorang penganut harus melatih diri melalui praktik pati raga, yaitu mati di dalam hidup (pejah salebeting gesang). Praktik ini adalah kunci untuk memahami perpisahan dan persatuan antara Hamba (Kawula) dan Tuhan (Gusti).

Persyaratan utama bagi yang ingin mencapai pati raga adalah:

1. Mengendalikan diri (sumedya sabar darana).

2. Mampu menahan nafsu (saget amekak nafsu hawa).

3. Berani menjalani mati di dalam hidup (wani dhateng lampah brata pejah salebeting gesang).

Latihan fisik dan mental yang mendalam, atau Pejah Raga (menghentikan jasad), dilakukan dalam posisi meditasi spesifik:

• Sidhakep Suku Tunggal.

• Menutup sembilan lubang nafsu (babahan nawasanga).

• Jasad tidak bergerak sama sekali (boten ebah boten mosik).

• Satu-satunya gerakan yang tersisa hanyalah kedipan mata (kajeping tingal) dan detak napas yang lembut.

Sultan Agung mengajarkan bahwa melalui praktik pati raga yang dilakukan dengan kesungguhan, jasad akan menjadi mulia dan sempurna, dan rohnya akan bersatu dengan Dzat Pangeran Kang Agung (nunggil kaliyan Dzating Pangeran Kang Agung).

Takdir Jasad dan Klasifikasi Kematian

Ajaran Sultan Agung sangat detail dalam menggambarkan takdir akhir jasad (jisim) dan roh (sukma) seseorang, tergantung pada perilaku hidup mereka. Melalui pertanyaan Sultan kepada Kyai Penghulu Akhmad Kategan, berbagai jenis keadaan setelah kematian dipaparkan.

Kondisi jasad setelah kematian sangat bervariasi:

1. Menjadi busuk dan tanah lempung.

2. Jasad tetap utuh (margegeg wetah).

3. Menghilang (ical wujudipun).

4. Menjadi air (luluh dados toya).

5. Menjadi mustika (batu permata).

6. Menjadi memedi (hantu).

7. Menjadi binatang (sato kewan).

Kondisi ini terkait erat dengan kualitas spiritual individu saat hidup:

• Jika seseorang rakus (ajibar-jibur) dan menghindari mati raga (lumuh dhateng kasutapan): Jasadnya akan membusuk menjadi tanah lempung, dan sukma halusnya akan anglambra (terbang tanpa arah), diumpamakan seperti capung tanpa mata (kinjeng tanpa soca).

• Jika seseorang gigih berpuasa dan bertapa keras (anggentur siyam miwah sesirih): Jasadnya bisa menjadi batu (sela) yang menyangari sifat, sementara sukma halusnya menjadi Dang Hyang Semorobumi.

• Jika seseorang menjalankan pati raga (seperti yang dijelaskan di atas), maka jasadnya akan mulia sempurna dan bersatu dengan Dzat Tuhan.

Sultan Agung juga mengajukan pertanyaan mengenai keadaan Kematian (keadaan pati) bagi mereka yang selalu berbuat dosa. Salah satu keadaan yang disebutkan adalah Rowanging Pati (Rekan Kematian), yaitu kematian yang disertai anugerah kasih sayang Tuhan (sih nugrahaning Pangeran), yang berbuah nikmatnya Dzatullah tanpa sia-sia (ni’mating Dzatullah boten nama siya-siya). Sementara itu, Purbaning Pati adalah kematian di mana roh sudah diakui sebagai rahasia Dzat, berada dalam petunjuk Tuhan, dan kekal tanpa perubahan.

Ajaran-ajaran mistik ini menggarisbawahi upaya Sultan Agung untuk menjustifikasi peran sentralnya sebagai penguasa yang paripurna, tidak hanya mengurus dunia (Niti Praja) tetapi juga menguasai jalur spiritual menuju Tuhan.***

0Komentar

Tambahkan komentar

Info

  • Griya Lestari D3 12A, Ngaliyan, Kota Semarang
  • +628587503514
  • redaksibabad.id@gmail.com