![]() |
| Ilustrasi Sultan Agung Hanyakrakusuma. (Generatif Whisk) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Setelah mengkonsolidasikan wilayah dan hukum, serta menorehkan ajaran mistik yang mendalam, fokus Susuhunan Agung Hanyakrakusuma di tahun-tahun terakhir pemerintahannya beralih sepenuhnya ke akhirat. Raja, yang telah memegang gelar spiritual tinggi Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami dari Mekkah, kini merencanakan perjalanan terakhirnya, bukan untuk berperang, melainkan untuk keabadian.
Proyek ambisius terakhirnya adalah menyiapkan tempat peristirahatan yang bukan hanya megah, tetapi juga suci, seolah-olah dia telah dimakamkan di Mekkah sendiri.
Pencarian Tanah Suci dan Pembangunan Imagiri
Niat Sultan Agung untuk menyiapkan pemakaman yang suci disingkapkan melalui sebuah kisah spiritual. Ia melakukan perjalanan untuk menemui seorang wiku (pertapa) di Ketangga, yang bernama Dayaningrat.
Sang Wiku Dayaningrat, yang disangka Sultan Agung sebagai sosok yang bijaksana dan memiliki kemampuan tapa, memberikan petunjuk penting. Wiku tersebut menyatakan bahwa Ketangga kelak akan menjadi negeri suci.
Namun, nasihat yang paling krusial adalah tentang takdir akhir Sang Raja:
"Engkau ditakdirkan untuk meninggal di Mekkah. Di sana kamu diberi segumpal tanah sisa pada waktu mengubur Kanjeng Rasul. Pergunakanlah itu untuk memulai membabat hutan Imagiri".
Menindaklanjuti ilham dari Wiku Dayaningrat, Raja Mataram segera memerintahkan proyek pembangunan pemakaman agung di Imagiri (Imogiri). Pembangunan ini melibatkan banyak punggawa, termasuk Wiraguna, Kyai Penghulu, Haji Temenan, Ketib, Modin, Mertalulut, Singanagara, dan Surananta. Para pekerja yang membangun makam tersebut ditempatkan sementara di Wanakrama.
Raja mengawasi langsung pekerjaan ini. Uniknya, prosesnya mencakup menyatukan tanah yang dibawanya (yang diklaim berasal dari Mekkah) dengan tanah di Imagiri. Setelah proses tersebut, pemakaman itu diyakini menyamai keindahan dan kesucian Madinah atau Mekkah.
Puncak Ma’rifat: Konsep Kematian Sempurna
Pembangunan Imogiri adalah manifestasi fisik dari persiapan spiritual Sultan Agung. Dalam ajarannya, yang tertuang dalam Serat Kekiyasaning Pangracutan, Raja mengajarkan pentingnya Ma’rifat. Ilmu ini bertujuan agar seseorang dapat mengetahui kehidupan hingga kematian tanpa keraguan.
Puncak latihan spiritual yang diajarkannya adalah Pati Raga atau Mati di dalam Hidup (pejah salebeting gesang). Jika latihan spiritual ini dilakukan dengan gigih, jasad seseorang dapat menjadi mulia sempurna, dan rohnya akan mencapai penyatuan:
"nunggil kaliyan Dzat ing Pangeran Kang Agung, Kang Murba Amisesa..." (bersatu dengan Dzat Pangeran Yang Agung, Yang Maha Kuasa).
Sultan Agung juga menjelaskan berbagai tingkatan kematian. Bagi mereka yang mencapai tingkat tertinggi, kematian disebut Purbaning Pati; di mana rohnya sudah diakui sebagai rahasia Dzat dan berada dalam petunjuk Tuhan (hidayatullahu), serta langgeng tanpa mengalami perubahan di kemudian hari. Keberadaan jenazah setelah kematian pun bervariasi, mulai dari menjadi busuk hingga menjadi mustika, tergantung pada kesungguhan orang tersebut dalam menjalankan tapa dan menahan nafsu.
Wafat dan Warisan Abadi
Meskipun sumber-sumber tidak secara eksplisit mencatat tanggal pasti wafatnya, mereka mencatat fase-fase akhir kekuasaannya. Sultan Agung, yang telah dikaruniai ilham dari Yang Maha Suci, menggunakan kemampuannya untuk bergerak secara spiritual. Diceritakan ia pernah bepergian ke luar istana tanpa diketahui abdi. Ia juga pernah bepergian dengan menunggangi Juru Taman, melesat ke udara, dan tiba di Banten dalam waktu singkat.
Setelah perjalanan spiritual ini, Jeng Sultan kembali ke keraton. Ketika ia tiba di keraton, para garwa dan selir terkejut dan terheran-heran karena kemunculannya yang tiba-tiba (dene jleg tanpa sangkan).
Warisan terbesar Sultan Agung adalah integrasinya sebagai penguasa yang paripurna:
1. Penguasa Agama (Sayidin Panatagama): Gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami yang diperolehnya mengukuhkan otoritas keagamaan di atas otoritas wali, mengakhiri dualisme kekuasaan.
2. Pencipta Hukum: Ia menyusun pedoman pemerintahan dan hukum yang menyelaraskan Islam dan adat (Niti Praja).
3. Filosof dan Mistikus: Karyanya seperti Serat Kekiyasaning Pangracutan dan Sastra Gending menjadi pedoman spiritual yang abadi bagi generasi penerus.
Melalui pembangunan Imogiri, Sultan Agung tidak hanya menciptakan makam, tetapi juga sebuah simbol permanen dari persatuan takhta Mataram dengan otoritas spiritual tertinggi di Jawa.***
.jpeg)