Gpd6GfWoTSC5TSA9TpCoGUCoBY==
Anda cari apa?

Labels

Tragedi Medan Laga Surabaya: Gugurnya Pahlawan Kumpeni dan Mundurnya Jayapuspita

Dipati Jayapuspita, pemimpin Jawa, duduk tenang di tandu di tengah medan perang berlumuran darah.
Dipati Jayapuspita, pemimpin Jawa, duduk tenang di tandu di tengah medan perang berlumuran darah. (Generatif Gemini)


BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Medan pertempuran Surabaya memanas, mencapai puncaknya dalam sebuah pertarungan brutal yang melibatkan pasukan Surabaya (Surengkewuh) di bawah pimpinan Dipati Jayapuspita melawan kekuatan gabungan Kartasura, yang didukung oleh bala tentara Kumpeni Belanda, Bugis, Makasar, dan Mandura. Pertempuran yang terjadi selama berhari-hari ini tidak hanya menguji ketahanan moral kedua belah pihak, tetapi juga menghasilkan kerugian besar, terutama di pihak Kumpeni.

Prajurit Surabaya, yang dikenal tangguh, berjuang di bawah pengawasan Dipati Jayapuspita yang duduk santai di atas tandu, sebuah pemandangan yang memancing amarah besar dari Kumendur Gobyo. Pertarungan yang intensif ini memaksa Dipati Jayapuspita dan pasukannya untuk membuat keputusan strategis krusial: meninggalkan kubu kota dan mundur ke posisi pertahanan baru di timur.

Deskripsi Mengerikan Medan Perang: Mayat Berserakan dan Darah Seperti Samudra

Pertempuran di Surabaya dicatat sebagai salah satu palagan paling mengerikan, di mana bumi Kartasura dan Kumpeni bergejolak hebat melawan amuk massa Surabaya.

Medan pertempuran menjadi gelap gulita, dipenuhi asap mesiu yang tebal (kukusing sanjata). Suara tembakan senapan yang bertubi-tubi bagaikan guruh seribu. Saking dahsyatnya pertarungan, terjadi fenomena alam yang luar biasa, di mana langit tampak terbelah (akasa kelap-kelap kadi belah) dan bumi berguncang hebat. Mayat-mayat bergelimpangan dalam tumpukan yang tak terhitung jumlahnya, diibaratkan seperti tumpukan babadan pacing (tanaman yang tumbang).

Darah membanjiri seluruh area pertarungan, menciptakan pemandangan yang digambarkan layaknya samodra rah (samudra darah). Bangkai kuda, tameng, dan senjata patah berserakan, memberikan gambaran kekacauan total yang mirip dengan Hari Kiamat (lir kiyamat).

Di tengah kekacauan tersebut, Dipati Jayapuspita menunjukkan sikap yang sangat menantang. Ia duduk di tandunya, sambil merokok dengan santai, bahkan menantang pasukan Kumpeni untuk menghabiskan peluru dan mesiu mereka. Ia berseru kepada musuh: "Ayo, muntahkan segala mesiu dan senjatamu. Inilah Jayapuspita, pantang menyerah. Lebih baik aku gugur daripada tunduk kepada kafir Belanda!”.

Daftar Korban di Pihak Kumpeni: Kapten Krebun dan Dua Litnan Terbunuh

Meskipun pasukan Surabaya mengalami kerugian besar, pihak Kumpeni harus membayar harga yang sangat mahal. Dalam amukan prajurit Surabaya, terutama pasukan Dulangmangap dan Talangpati yang gigih, Kumpeni Belanda menanggung kerugian yang sangat parah.

Dua brigade Kumpeni dilaporkan tumpas habis. Para pemimpin inti Kumpeni yang turun langsung ke medan pertempuran, seperti Kapten Krebun (disebut juga Kapitan Kerbut), gugur di tengah pertempuran sengit. Selain Kapten Krebun, dua perwira Kumpeni lainnya juga tewas:

1. Litnan Pander Leleng.

2. Litnan Pabadhem.

Pasukan pendukung Kumpeni dari Bugis, Makasar, Ambon, Bali, dan Butun juga menderita kerugian yang tak terhitung jumlahnya (tumpes tanpa wilangan).

Di pihak Surabaya sendiri, tragedi terjadi ketika Ngabehi Jayengrana, pemimpin pasukan perisai kanan sekaligus saudara Jayapuspita, tewas setelah dadanya terkena tembakan senapan.

Keputusan Jayapuspita dan Pasukannya untuk Mundur ke Sayatra

Meskipun pertempuran berhenti saat malam tiba, posisi Jayapuspita di dalam kota menjadi genting. Ia telah didesak oleh istri-istrinya agar mundur setelah melihat kakaknya, Ngabehi Jayengrana, gugur.

Melihat situasi ini, Jayapuspita mengadakan perundingan mendesak dengan para prajuritnya. Ia didesak oleh kedua adiknya, Panji Surengrana dan Panji Kartayuda, untuk segera keluar dari kota agar tidak terjebak dalam pengepungan. Kedua adiknya berpendapat bahwa kekuatan musuh terlalu besar, dan lebih baik mencari tempat perlindungan baru yang kuat.

Jayapuspita menyetujui, meskipun awalnya ia berkeinginan untuk tetap bertahan mati-matian di dalam kota. Pasukannya kemudian mundur secara perlahan-lahan ke timur sungai.

Posisinya yang baru adalah di kori Sayatra (Pintu Sayatra). Setelah mundur dari kota, Jayapuspita dan pasukannya kemudian berkumpul di Kapraban selama dua malam. Setelah itu, mereka pindah lagi ke Kaputran untuk mendirikan perbentengan yang lebih kuat, bergabung dengan pasukan Murah Panji Buleleng dari Nusakambangan. Keputusan ini menunjukkan langkah strategis untuk menghindari kehancuran total di tangan musuh yang kini telah menerima bala bantuan dari Jakarta.***

0Komentar

Tambahkan komentar

Info

  • Griya Lestari D3 12A, Ngaliyan, Kota Semarang
  • +628587503514
  • redaksibabad.id@gmail.com