Gpd6GfWoTSC5TSA9TpCoGUCoBY==
Anda cari apa?

Labels

Tragédi Runtuhnya Kartasari dan Pengorbanan Pangulu Tangkilan

Kartasari ditinggalkan, Pangulu ditangkap. Kumpeni membakar Pangulu di dalam dalem pura. Sunan Kuning (Arya Mataram) mulai memberontak.

Ki Pangulu yang terikat di hadapan tentara Kumpeni dan Amral Baritman yang menunjuk api, dalam interior istana Jawa yang gelap dan tegang.
Ilustrasi Ki Pangulu yang terikat di hadapan tentara Kumpeni dan Amral Baritman yang menunjuk api, dalam interior istana Jawa yang gelap dan tegang.(generatif Gemini)


BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Intrik kekuasaan di Jawa pada awal abad ke-18 mencapai puncaknya dalam serangkaian pertempuran brutal yang memecah Keraton Kartasura. Dalam narasi sejarah yang dramatis ini, tokoh-tokoh sentral, mulai dari pangeran yang mundur hingga kaum ulama yang berkorban, mencerminkan keruntuhan politik yang dipicu oleh campur tangan asing dan perebutan takhta. Konflik ini, yang terperinci dalam catatan babad, menunjukkan bagaimana kekalahan militer Kartasari-Mataram meninggalkan luka mendalam, puncaknya pada pengorbanan tragis seorang ulama besar.

Pangeran Purbaya dan Sultan Ibnu Mundur dari Kartasari ke Kedu

Ketegangan dimulai ketika Pangeran Purbaya dan Pangeran Balitar (dikenal juga sebagai Sultan Ibnu) bersatu untuk mendirikan pusat kekuasaan tandingan. Setelah mengumpulkan para ulama, kaji, dan pertapa, Pangeran Balitar dinobatkan sebagai raja di Nagari Kartawinatan yang namanya diganti menjadi Nagari Kartasari. Ia menyandang gelar mentereng: Sultán Ibnu Mustapa Pakubuwana Alagan Senapati Abdulrahman Sayid Panatagama.

Namun, keberanian ini segera diuji. Pasukan aliansi Kartasari-Mataram menghadapi tentara Kumpeni Belanda dan pasukan Kartasura di bawah Adipati Mangkupraja. Setelah pertempuran sengit di daerah Tangkisan dan Sanasewu, pasukan Pangeran Balitar dan Purbaya kian terdesak.

Puncaknya terjadi ketika para ulama dan kaji yang dikerahkan untuk bersabilillah tumpas di medan perang. Sultan Balitar—yang dikenal juga sebagai Kangjeng Sultan—terluka, dengan pembawa payungnya gugur terkena tembakan, menyebabkan payung kebesarannya jatuh. Melihat kondisi ini, para nayaka memohon agar Sultan mundur.

Mundurnya Sultan Balitar ini memicu amarah besar dari Pangeran Arya (putra Purbaya) yang datang membantu. Pangeran Arya mencaci Sultan di tengah medan laga, berkata, "Mengapa pula, pamanda Sultan Balitar tak mau kembali. Huh, macam begini kepingin jadi raja. Katanya mau merebut negara, mati perang pun takut". Pangeran Arya menuduh Sultan Balitar berani bertindak tetapi segan bertanggung jawab.

Setelah kekalahan yang tak terhindarkan, Sultan dan Panembahan Purbaya mundur. Mereka hanya berhenti semalam di Kartasari sebelum melanjutkan perjalanan ke Kedu.

Penangkapan, Penggantungan, dan Pembakaran Pangulu Tangkilan oleh Kumpeni

Saat fajar menyingsing, pasukan Kumpeni di bawah pimpinan Amral Baritman dan Adipati Mangkupraja tiba di Kartasari untuk mengejar para pangeran. Namun, mereka hanya menemukan Ratu Mangkurat dan Ki Pangulu Tangkilan.

Nasib Ki Pangulu sungguh menyedihkan. Padahal, sebelumnya Ki Pangulu Tangkilan dari Kartasura telah menyatakan tekadnya untuk turut serta bersama para ulama, haji, ketib, dan modin untuk "mati sabil" dalam pertempuran.

Amral Baritman segera menahan Pangulu tersebut. Menurut Babad Kartasura, Ki Pangulu diikat dan digantung. Ia bahkan ditembaki berulang kali, tetapi peluru tidak mampu menembusnya ("nanging nora pasah" atau tidak mempan).

Melihat kekebalan sang Pangulu, Amral memerintahkan eksekusi dengan cara yang kejam. Amral berkata, "Si Pangulu den aglis. Lebokena aneng jroning prabayeksa wus ingobong tumuli Ki Pangulu lina" (Ki Pangulu segera. Masukkan ke dalam Prabayeksa (rumah pusaka keraton) dan segera dibakar. Ki Pangulu pun meninggal). Pangulu Tangkilan wafat terbakar hangus di dalam Prabayeksa.

Amral Baritman menyaksikan eksekusi tersebut, bahkan menanggapi dengan ejekan: "Hah, apa kataku. Pangulu itu, mati juga, keparat". Setelah kematian Pangulu, Amral dan Mangkupraja melanjutkan perundingan siasat perang di Kartasari.

Kemunculan Sunan Kuning (Pangeran Arya Mataram) sebagai Raja di Pati

Meskipun Pangeran Purbaya dan Sultan Balitar mundur ke Kedu, perlawanan terhadap Kartasura yang didukung Kumpeni tidak padam. Ancaman baru muncul dari utara Jawa.

Saat Pangeran Purbaya dan Sultan Balitar bergerak ke Mataram, salah satu abdinya, Mangunoneng, meminta izin untuk langsung menuju Pati. Mangunoneng berjanji akan menyerang Pati lebih dahulu, dan jika berhasil direbut, ia akan menyusul Purbaya.

Mangunoneng berhasil merebut Pati. Namun, ia mengkhianati janji setianya kepada Purbaya. Ia menyatakan tunduk kepada Kartasura dan menghadap Tumenggung Cakrajaya (Patih yang kelak menjadi Adipati Danureja) serta Amral Baritman.

Sementara itu, Pangeran Arya Mataram—yang belakangan dikenal sebagai Sunan Kuning—melarikan diri dari Kartasura bersama keluarga dan pengikutnya. Ia berniat mendirikan kerajaan di Santenan (wilayah Grobogan). Pangeran Arya Mataram berhasil menaklukkan Grobogan, Warung Balora, dan Sesela.

Sunan Kuning kemudian menugaskan putra-putranya, Raden Suryataruna, Raden Singasari, dan Raden Jayapuspita, untuk menyerbu wilayah mancanegara yang masih berada di bawah kedaulatan Kartasura, termasuk Japara, Kudus, dan Demak. Kemunculan Sunan Kuning di Pati/Santenan ini menjadi masalah besar bagi Patih Cakrajaya dan Amral Baritman, karena ia menjadi ancaman baru di wilayah utara Jawa.***

0Komentar

Tambahkan komentar

Info

  • Griya Lestari D3 12A, Ngaliyan, Kota Semarang
  • +628587503514
  • redaksibabad.id@gmail.com