BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Istana Kartasura diselimuti suasana kelam. Raja yang menjabat, yang disebut juga Sri Naradipa, telah lama didera penyakit. Di tengah kondisi raja yang kian memburuk, intrik suksesi menjadi bara di dalam istana, sebuah konflik yang ditakdirkan untuk menguji kekuatan Patih dan para bangsawan.
Peristiwa penting yang menandai berakhirnya satu era dan dimulainya era baru ini tercatat mendalam dalam Babad Kartasura. Transisi kekuasaan ini tidak hanya memerlukan legitimasi dari tradisi Jawa, tetapi juga pengakuan dari kekuatan asing yang mulai mencengkeram kedaulatan, yaitu Kompeni Belanda.
Wafatnya Sri Naradipa (Raja Tua) dan Lama Pemerintahan
Dikenal dengan sebutan Raja Tua (Srinarapati), kekuasaan Sri Naradipa mendekati batasnya. Raja telah menderita sakit (nandhang gerah).
Saat ajal tiba, suasananya digambarkan penuh kesedihan di dalam pura. Wafatnya raja tercatat pada hari Sabtu Wage (Setu Wage), tanggal 17 bulan Arwah (Sasi Arwah) tahun Jimakir. Catatan tahunnya diabadikan melalui sengkalan (kronogram) "Sima Tata Rasa Tunggal", yang mengacu pada tahun 1600 AJ atau 1677 AD.
Setelah mangkat, jenazah raja kemudian dibawa dan disemayamkan di Astana Imagiri, Mataram.
Wasiat Raja kepada Pangeran Dipatya Anom Mangkunagara
Sebelum menghembuskan napas terakhir, Sri Naradipa memanggil patih kepercayaannya, Ki Patih Danureja, untuk menyampaikan wasiat terakhir. Ini adalah momen privasi dan otoritas tertinggi raja.
Raja menyadari bahwa waktunya telah tiba (yen wus tekeng ing jangjine). Kepada Patih Danureja, wasiat tersebut disampaikan dengan tegas: "Danureja, sudah dekat waktunya aku akan menghadap Tuhan Yang Mahaesa. Padamu kuperintahkan: putraku Pangeran Adipati Anom Amangkunagara-lah yang kupilih mengganti tahta kerajaan".
Putra mahkota yang ditunjuk ini, Pangeran Adipati Anom Amangkunagara (disebut juga Pangeran Arya Mangkunagari), merupakan putra raja dari garwa kawitan (istri pertama).
Wasiat ini sekaligus menolak putra sulung raja yang lain, Pangeran Adipati, yang lahir dari Kangjeng Ratu Ageng. Raja menegaskan bahwa putra tersebut "sudah menjadi takdirnya tak dapat menggantikan tahtaku. Tuhan, tak mengijinkanNya".
Selain menunjuk pengganti, raja juga memerintahkan Patih Danureja untuk segera mengirim surat kepada Gurnadur Jendral di Batavia (Jakarta) untuk mendapatkan persetujuan dan pengakuan atas penobatan yang akan dilaksanakan. Wasiat ini menjadi dasar hukum sekaligus politis bagi Danureja untuk melaksanakan penobatan.
Penobatan Sunan Amangkubuwana Murti (Sunan Mangkurat) di Kartasura
Setelah urusan pemakaman selesai dan koordinasi politik dilakukan, tibalah saatnya penobatan raja baru. Patih Danureja, sebagai pelaksana wasiat, memastikan semua proses berjalan sesuai legitimasi.
Penobatan dilaksanakan di Keraton Kartasura, tepatnya di Bangsal Pasowanan Ageng. Pada hari Senin (dina Soma), Pangeran Adipati Anom Amangkunagara resmi dinobatkan.
Gelar kebesaran yang disandangnya, sesuai tradisi raja-raja Mataram baru, sangat panjang dan penuh makna keagamaan dan keprajuritan: Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati Nglaga Abdulrahman Sayidin Panatagama. Meskipun subjudul meminta "Sunan Amangkubuwana Murti", gelar resmi yang tercatat dalam sumber yang mengisahkan peristiwa ini adalah Pakubuwana. Pangeran yang dinobatkan ini sering diidentifikasi sebagai Sunan Pakubuwana II.
Peristiwa penobatan ini dicatat dengan sengkalan: "Warsi Tinata Rasa Tunggal", yang menunjukkan tahun 1656 AJ (atau 1731 AD).
Dalam upacara sakral tersebut, Patih Danureja memainkan peran kunci, tidak hanya sebagai pelaksana, tetapi juga sebagai penyaksi otoritas. Raden Ngabehi Tirtawiguna membacakan isi surat keputusan dari Gurnadur Jendral Betawi, yang berisi surat pengangkatan dan perjanjian antara Kompeni Belanda dan raja baru. Keterlibatan ini memastikan legitimasi politik Patih Danureja (sebagai pelaksana EEAT) dan menunjukkan bahwa transisi kekuasaan di Kartasura saat itu tidak terlepas dari restu VOC.
Penobatan tersebut disambut dengan gegap gempita. Dentuman meriam-meriam Kompeni bergema di udara, diikuti tembakan kehormatan dari senjata-senjata, sebagai simbol pengakuan dan dukungan.
Transisi ini, yang lahir dari wasiat seorang raja di ranjang kematian dan ditegaskan melalui upacara meriah dengan restu Kompeni, menandai dimulainya babak baru dalam sejarah Kartasura. Raja baru yang bertahta, Susuhunan Pakubuwana II, kelak akan menghadapi serangkaian pemberontakan besar yang menguji stabilitas kerajaannya.
Daftar Pustaka
Moelyono Sastronaryatmo. (t.t.). Babad Kartasura II.
Moelyono Sastronaryatmo. (t.t.). Babad Kartasura I.
